usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 02 Mei 2016


Sekarang, narasi sudah menjadi bagian penting dari jurnalisme. Ia sudah menjadi sebuah cara menyampaikan fakta kepada pembaca. Akibatnya,  ia akan ikut menentukan apakah sebuah berita akan terus dibaca atau segera ditinggalkan. 
          Sebagai sebuah cara untuk menyampaikan fakta, tentu saja narasi boleh puitis, sepanjang ia menyangkut fakta. Namun, tidak berarti bahwa setiap prosa puitis merupakan narasi. Biasanya narasi dalam jurnalisme malah tidak puitis.
          Bertolak dari posisi narasi sebagai cara untuk menyampaikan fakta, muncul pertanyaan, mengapa tidak banyak media pers yang mengoptimalkan potensi narasi jurnalisme? Pertanyaan ini logis mengingat tidak muncul kekhawatiran dalam diri masyarakat tentang pelaksanaan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) setelah membaca berita tentang MEA di Indonesia. Padahal MEA, yang berlaku sejak 1 Januari 2016, menjadikan lapangan pekerjaan di Indonesia bisa direbut oleh ahli dari negara-negara ASEAN dan barang-barang dari negara-negara ASEAN akan membanjiri Indonesia! MEA juga akan menggerus eksistensi para ahli Indonesia di tanah air mereka sendiri.
          Bila diskenariokan, sesungguhnya narasi hanya sebuah alat untuk menyampaikan ekspresi. Tanpa ekspresi, narasi tidak berdaya guna. Jadi, pemilihan narasi sangat ditentukan oleh ekspresi.
Dalam jurnalisme, ekspresi itu dibangun oleh framing. Ketika sebuah berita sudah memperoleh framing, sebenarnya ia sudah memiliki ekspresi. Tinggal sekarang bagaimana penulisnya memilih narasi yang pas untuk framing seperti itu. 
 Seorang wartawan tidak mungkin memilih narasi yang tepat tanpa pemahaman yang akurat tentang khalayak yang akan membaca beritanya kelak. Untuk bisa memahami khalayak, dia harus menyelami dan merasakan perkembangan psikologis dan sosiologis khalayak. Dia harus berinteraksi dengan khalayak seluas-luasnya. Dia, bahkan, harus bisa mengeja kebutuhan emosional khalayak. 
Persoalannya, tidak banyak wartawan yang betul-betul peduli dengan kondisi khalayak. Tidak jarang wartawan hanya peduli dengan credo media pers tempat mereka  bekerja. Mereka lupa membayangkan dampak negatif berita yang mereka tulis pada pembaca. Yang mereka siarkan adalah berita yang benar-benar menarik, tanpa mempertimbangkan nilai penting buat khalayak.
Dari sikap seperti ini, bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan lahir kreativitas tentang narasi dalam jurnalisme Indonesia. Dengan terus mengeja kepentingan media pers tempat mereka bekerja, para wartawan terjebak dalam narasi yang itu ke itu saja. Mereka tidak tertantang untuk mengoptimalkan potensi narasi dalam jurnalisme.***
Surabaya, 30 April 2016


1 komentar:

  1. Lucky 15 Casino - Mapyro
    › lucky15 양주 출장마사지 › Lucky 천안 출장샵 › lucky15 › 용인 출장샵 Lucky Lucky Lucky 15 Casino is a hotel in San Jose, California 군산 출장안마 and is open daily 24 hours. 상주 출장샵 The casino is part of the Funeral Home Care Group.

    BalasHapus

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.