usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 19 April 2016



Ada banyak tumpang tindih peraturan.


Jakarta—Dua kementerian saling melempar kewenangan menghentikan reklamasi Teluk Jakarta. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, reklamasi menjadi kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sedangkan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti belum bisa mengeluarkan aturan moratorium jika izin lingkungan belum dikeluarkan Siti.
Siti menyitir Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. “Di situ disebutkan semua izin terkait reklamasi itu kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan,” ujar Siti, kemarin.
Dengan aturan reklamasi ini, menurut Siti, izin pengerukan laut tak lagi di tangan Gubernur seperti diatur dalam Keputusan Presiden No. 52/1995. Pasal 4 aturan itu dipakai Gubernur Jakarta menerbitkan izin bagi tujuh perusahaan untuk menguruk Teluk Jakarta membuat 17 pulau sejak 2010.
Menurut Siti, dengan aturan baru itu, meski izin di tangan gubernur, reklamasi baru sah setelah ada rekomendasi Menteri Kelautan. Siti setuju dengan rencana Susi menghentikan sementara reklamasi sampai urusan izin dan aturan beres, apalagi analisis mengenai dampak lingkungan belum seluruhnya selesai.
Soal lain adalah definisi “kawasan strategis nasional tertentu.” Dalam Peraturan Pemerintah 26/2008 disebutkan bahwa kewenangan mengatur kawasan strategis nasional tertentu berada di tangan menteri. Pemerintah Jakarta mengabaikannya karena pasal lain mnyebutkan Jakarta, sebagai Ibu Kota, hanya masuk kawasan strategis nasional. “Bukan kawasan strategis nasional tertentu,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tuty Kusumawati.
Meski ada rekomendasi DPR untuk mengehentikan reklamasi, kedua menteri belum mengeluarkan aturan penghentian itu. Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah Kementerian Lingkungan, Laksmi Wijayanti, mengatakan belum bisa menentukan dimulainya moratorium. Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bramantya Setyamurti Poerwadi, juga berdalih tak bisa memutuskan sendiri. “Kami perlu membicarakannya dengan pemerintah Jakarta,” ujar Bramantya.
Guru besar tata negara dari Universitas Bengkulu, Juanda, menyarankan agar pemerintah membentuk tim khusus untuk meneliti regulasi, syarat reklamasi, serta dampak sosial-ekonominya. Juga kemungkinan gugatan pengembang jika moratorium jadi disahkan lewat aturan. Namun dia menegaskan pemerintah tak perlu takut menghentikannya jika proyek tak menguntungkan. “Jika semua kajian oke dan tak ada pelanggaran hukum, reklamasi bisa dilanjutkan,” tuturnya.
Wakil Gubernur Jakarta Djarot Syaiful Hidayat juga menanti keputusan pemerintah pusat. Dia meminta agar pembahasannya dipercepat supaya ada kepastian hukum. “Biar enggak gaduh.” (Devy Ernis/Diko Oktara/Avit Hidayat/Amirullah/Praga Utama/Larissa Huda).

Demikian berita yang disiarkan, Koran Tempo, Senin, 18 April 2016. Berita yang menunjukkan bahwa Menteri Siti dan Menteri Susi sangat berhati-hati dalam memberikan perintah untuk menyetop reklamasi teluk Jakarta. Hati-hati tentu saja tidak dilarang. Namun, kehati-hatian itu jangan sampai mengorbankan kepentingan rakyat. Kehati-hatian tersebut jangan pula sampai menghalangi menteri untuk mengambil keputusan yang prioritas.
Sekarang keputusan untuk menghentikan reklamasi teluk Jakarta tersebut sudah mendesak. Siapapun menteri yang berwenang harus mengambil keputusan untuk menyetopnya. Sepanjang keputusan tersebut sudah mengutamakan keselamatan, keadilan, dan kepentingan publik, tidak akan ada masalah. Sepanjang keputusan itu transparan dan bertanggung jawab, hasilnya tentu akan diapresiasi masyarakat. Namun, jangan-jangan menterinya enggan bertanggung jawab. Kalau sudah begini, memang repot. Rakyat akan selalu menjadi korban. Menteri hanya ingin mempertahankan jabatannya.
Namun, masyarakat bisa melihat menteri mana yang perlu diapresiasi dan menteri mana yang “gila” jabatan. Menteri yang terakhir ini akan mengutamakan prosedur sehingga tanpa sadar terperangkap dalam prosedur yang berbelit. Dia tidak mau membuat terobosan yang bisa mengutamakan kepentingan rakyat. Jadi, jangan dikira rakyat tidak paham dengan makna di balik sikap menteri di atas.***
Jayapura, 19 April 2016


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.