usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 19 April 2016


 Dalam tulisan berjudul “Berkas Panama dan Jurnalisme Investigasi”, Wijayanto menyarankan agar media pers menggunakan jurnalisme investigasi untuk membongkar perbuatan jahat yang dilakukan pengusaha dan pejabat Indonesia yang namanya tercantum dalam Berkas Panama (Panama Papers).  Selain itu, pada akhir tulisan yang disiarkan Koran Tempo, 18 April 2016 tersebut, dia menulis: “Semoga skandal Panama menyentak kesadaran para jurnalis Indonesia, dan juga para perusahaan media, untuk memulai tradisi baru jurnalisme investigasi”.

Ide ini tentu saja baik. Namun, tidak mudah untuk menjadikan praktik jurnalisme investigasi sebagai sebuah tradisi. Soalnya, tradisi itu berkaitan dengan cita rasa wartawan tentang sebuah berita. Cita rasa itu bertolak dari kepuasan yang terbentuk di kalangan wartawan terhadap berita yang ditulisnya. Kalau seorang wartawan sudah merasa puas dengan berita yang ditulisnya, dia tidak akan mempersoalkan teka-teki atau misteri tentang topik yang terkandung dalam berita yang ditulisnya. Kalau sudah begini, sesungguhnya praktik jurnalisme investigasi sudah berhenti.

Memang tidak mudah memperoleh informasi yang bisa menjawab sebuah teka-teki atau membongkar sebuah misteri. Soalnya, tidak jarang informasi tersebut bersifat rahasia. Untuk itu, diperlukan teknik mengumpulkan fakta yang canggih. Teknik mengumpulkan fakta seperti ini, dalam jurnalisme, biasa disebut investigasi. Lalu, fakta yang diperoleh dengan menggunakan investigasi, disebut jurnalisme investigasi.

Sesungguhnya jurnalisme investigasi adalah jenis jurnalisme berdasarkan teknik mengumpulkan fakta. Jurnalisme ini menggunakan seluruh teknik mengumpulkan fakta yang biasa dipakai dalam jurnalisme, mulai dari press release, konperensi pers, wawancara dan dokumen. Khusus yang dua terakhir ini, biasanya wawancara dengan narasumber rahasia dan menelusuri dokumen rahasia. Yang namanya rahasia, tentu posisinya tersembunyi. Karena tersembunyi, usaha untuk menemukannya sangat sulit. Itulah sebabnya tidak banyak wartawan yang bersedia mempraktikkan jurnalisme investigasi.

Praktik jurnalisme investigasi tidak hanya perlu dalam mengungkapkan korupsi, tetapi juga mengungkapkan perjalanan tokoh yang dikisahakan dalam sebuah biografi. Soalnya, tokoh yang dikisahkan dalam biografi memiliki ego yang besar. Ego di sini, hendaklah dipahami sebagai perasaan, pikiran, dan kesadaran bahwa di berbeda dengan yang lain. Dengan karakteristik seperti ini, dia kadang-kadang tampil sebagai pribadi yang paling pintar, paling benar dan paling hebat. Tegasnya, dia lebih superior daripada tokoh lain. 

Tentu saja tidak ada yang salah dengan sikap tokoh yang seperti ini. Justru sikap ini perlu dalam kehidupannya agar bisa mengembangkan dirinya secara optimal. Yang tidak boleh tentu saja bila sikap ini meluncur pada egoisme atau self importance.

Namun, semua perasaan superior ini harus punya bukti keras (hard evidence). Ia harus didukung fakta yang lengkap dan bisa diterima akal sehat. Ia juga harus memenuhi tuntutan verifikasi dan konfirmasi. Nah, semua ini hanya bisa ditemukan lewat praktik jurnalisme investigasi. Dengan kata lain, praktik jurnalisme investigasi akan mampu menjawab teka-teki seorang tokoh yang dikisahkan dalam sebuah biografi.

Pada titik inilah kita mengatakan bahwa jurnalisme investigasi membantu wartawan dan biograf dalam menghadirkan jawaban dari misteri atau teka-teki yang terkandung dalam kehidupan seorang tokoh. Pemahanam ini diperlukan justru pada kondisi sekarang ini: di saat banyaknya tokoh yang ingin terjun ke dalam dunia politik dan menerbitkan biografinya.***
Jayapura, 19 April 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.