usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 29 Maret 2016



Menghubungkan Provinsi Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah

Retno Sulistyowati
retno_s@tempo.co.id

Pontianak—Jembatan Tayan di Kabupaten Sangau, Pontianak, Kalimantan Barat, resmi digunakan. Jalan penghubung Provinsi Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah sepanjang 1.650 meter itu dibangun dengan biaya mencapai Rp 1 triliun.
“Saya sampaikan kepada seluruh menteri, pembangunan harus dimulai dari pinggir ke tengah, bukan Jawa-sentris lagi. Harus Indonesia-sentris,” kata Presiden Joko Widodo saat meresmikan infrastruktur tersebut, kemarin.
Jembatan Tayan merupakan bagian dari Jalan Trans Kalimantan poros selatan. Dengan terkoneksinya kedua provinsi itu, pemerintah berharap pergerakan ekonomi di kawasan tersebut semakin meningkat.
Jokowi mengawali kunjungannya ke Kalimantan, pada 22-24 Maret 2016, dengan meresmikan penggunaan Jembatan Tayan. Berikutnya, Presiden akan meninjau sejumlah proyek di Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur.
Presiden juga dijadwalkan menuju Kecamatan Entikong, Kalimantan Barat, untuk meninjau lokasi Pos Batas Lintas Negara. Kemudian, bertolak ke Kota Tarakan, Kalimantan Utara, untuk meresmikan Bandar Udara Internasional Juwata. Pada hari ketiga, Jokowi akan melakukan ground-breaking pembangunan jalan tol ruas Balikpapan-Samarinda.
Jokowi mengatakan percepatan pembangunan infrastruktur harus dilakukan untuk mendorong mobilitas barang dan jasa. Ia menjanjikan pembangunan jalan lintas paralel (pinggir garis batas) perbatasan Kalimantan dengan Malaysia sepanjang 1.900 kilometer akan rampung paling lambat pada 2019. “Harus diprioritaskan luar Jawa, termasuk wilayah perbatasan,” kata dia.
Kepala Satuan Kerja Pelaksana Jembatan Tayan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum, Yudha Handita, mengatakan uji coba penggunaan jembatan telah dilakukan sejak 19 Februari lalu. “Trial dilakukan selama dua pekan dan tidak ditemukan masalah,” ujar Yudha dalam keterangan pers.
Yudha menjelaskan, sebelum Jembatan Tayan dibangun, penyeberangan orang dan sepeda motor menggunakan motor tambang dengan waktu tempuh lebih dari 10 menit, belum termasuk waktu antre. Sedangkan penyeberangan kendaraan roda empat atau truk menggunakan kapal feri dengan waktu tempuh 20 menit, belum termasuk waktu antre.
Sebanyak 90 persen biaya pembangunan jembatan berasal dari pinjaman pemerintah Cina dan sisanya dari anggaran negara. Pemerintah kini sedang mengerjakan jalan akses Jembatan Tayan sepanjang 3,4 kilometer senilai Rp 134 miliar. (Aseanty Pahlevi/Bagus Prasetyo).

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 23 Maret 2016. Sebuah berita yang menggembirakan, terutama bagi masyarakat yang berdomisili di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Jembatan itu akan memberikan efisiensi bagi mereka yang akan menyeberang dari Kalimantan Tengah ke Kalimantan Barat atau sebaliknya. Mobilitas barang dan jasa dari dan ke kedua provinsi tersebut akan makin lancer, yang pada gilirannya bisa menekan harganya.

Namun, di akhir berita ada informasi yang menyebutkan bahwa 90% dari biaya pembuatan jembatan atau Rp 900 milyar merupakan hutang Indonesia kepada pemerintah Cina. Tidak disebutkan bunga dan tenggang waktunya. Namun, tetap saja masyarakat ingin tahu, apakah Indonesia sudah menyadari makna hutang ini? Selama ini, dalam posisi tidak banyak memberi hutang kepada Indonesia, Cina sudah mentang-mentang terhadap Indonesia. Barang dan orang Cina sudah masuk ke Indonesia secara massal. Apalagi dalam posisi Cina sebagai pemberi hutang. Bukan mustahil Cina akan semakin merajalela di Indonesia.

Kita tidak tahu persis perhitungan neraca rugi-laba berhutang kepada Cina. Namun, kita berharap pemerintah Indonesia waspada terhadap makna di balik pemberian hutang Cina kepada Indonesia.***

Rejodani, 29 Maret 2016.

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.