usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 29 Maret 2016

       Sebagai bagian dari sejarah, biografi mencoba menghadirkan masa lalu pada masa kini. Ketika menghadirkan masa lalu itu, biograf, kata Kuntowijoyo, dalam buku Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, perlu menjelaskan (i) kepribadian tokohnya, (ii) kekuatan sosial yang mendukung, (iii) lukisan sejarah zamannya, dan (iv) keberuntungan dan kesempatan yang datang (hal. 206). Dengan memenuhi penjelasan ini, tokoh yang dikisahkan dalam biografi bisa tampil lebih penting daripada yang dikenal khalayak. Pada saat yang bersamaan lahir jawaban mengapa tokoh itu eksis pada suatu masa, bukan pada masa yang lain.
          Contoh tentang hal ini bisa disimak dalam buku Bagaimana Menulis Biografi: Perspektif Jurnalisme karya Ana Nadhya Abrar yang terbit tahun 2010. Di dalam buku tersebut, pada halaman 42-43, antara lain tertulis:
Sebuah contoh tentang hal ini bisa kita simak dalam biografi Abdul Malik Fadjar yang berjudul Darah Guru Darah Muhammadiyah: Perjalanan Hidup Abdul Malik Fadjar. Biografi itu memuat antara lain: (i) arti penting rumah Abdul Malik Fadjar di Jalan Indramayu 14, Jakarta, sebelum lengsernya Presiden Soeharto. Rumah ini menjadi markas reformasi. Di rumah inilah diadakan berbagai rencana untuk melengserkan Presiden Soeharto; (ii) usaha Abdul Malik Fadjar menyelamatkan Amien Rais dari penangkapan rezim Presiden Soeharto; dan (iii)  usaha Abdul Malik Fadjar mencegah people’s power. Mengenai yang terakhir ini, simaklah kisah berikut:

Malik tiba kembali ke rumahnya tanggal 20 Mei sekitar pukul 01.00 dini hari. Ia langsung menemui Amien Rais yang ternyata belum juga tidur. “Mas, baru saja aku pulang dari melihat keadaan. Kondisinya gawat. Tidak mungkin acara diteruskan. Selamatkan anak-anak, Mas.”

“Saat saya di rumah Akbar Tandjung, ada yang menyampaikan pesan Bambang Trihatmojo (anak kedua Soeharto) kepada Akbar Tandjung bahwa kalau ayahnya ditekan-tekan bisa jadi pertumpahan darah,” kata Malik.

Amien yang tidak lepas munajat kepada Allah, ternyata merespons dengan positif. Ia tahu, Soeharto dan ABRI kini dalam kondisi tersudut dan putus asa. Sehingga bukan mustahil akan melakukan tindakan nekad. Sejak awal Amien tidak ingin militer berhadapan dengan rakyat. Dia tidak ingin tragedi Tiananmen, China, di mana mahasiswa dan kekuatan demonstran disapu oleh militer, terjadi di Indonesia.

“Baiklah, Mas Malik, kalau begitu saya umumkan pembatalan long march dan doa bersama sekarang juga,” jawab Amien Rais (Hudijono dan Anshari, 2006:179-180).

Kutipan ini memperlihatkan betapa besarnya peran Abdul Malik Fadjar dalam mengantar reformasi di Indonesia. Berbarengan dengan kenyataan ini, kita juga mengerti bahwa Abdul Malik Fadjar bukan hanya seorang dari sepuluh tokoh yang diundang Presiden Soeharto untuk datang ke Cendana 19 Mei 1998. Dia ternyata seorang tokoh yang berperan penting dalam melengserkan Presiden Soeharto. Ini jelas di luar pengetahuan kolektif khalayak selama ini.

          Kutipan yang agak panjang ini menunjukkan bahwa dua orang penulis biografi Abdul Malik Fadjar menyajikan fakta tentang peran Abdul Malik Fadjar dalam melindungi Amien Rais. Penyajian fakta tersebut sudah melewati berbagai seleksi. Dalam sejarah, dasar yang menentukan seleksi, kata W. Poespoprodjo, dalam buku Subyektivitas Dalam Historiografi, adalah kepentingan (hal. 54).
          Dalam jurnalisme, seleksi fakta tersebut, disebut framing. Apa itu framing? Simaklah pendapat Ashadi Siregar dalam buku  Politik Editorial Media Indonesia: Analisis Tajuk Rencana 1998-2001 berikut:  
Framing memiliki dua sisi tujuan, pertama bersifat internal yaitu sebagai perangkat dalam mengorganisasikan bahan yang diperoleh dari fakta agar dapat direkonstruksikan sebagai teks yang terstruktur. Kedua, framing merupakan cara untuk menghadirkan makna implisit (tersirat) (hal. xxx).

          Penjelasan ini menunjukkan bahwa “kepentingan” yang mendasari seleksi fakta dalam penulisan biografi mirip dengan “makna tersirat” yang ingin dihadirkan dalam sebuah berita. Sampai di sini tentu muncul persoalan, apakah biografi bisa disebut sebagai sebuah berita? Sebelum menjawab pertanyaan ini, simaklah format berita yang tertulis dalam Politik Redaksional Surabaya Post: Produk Informasi. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa format berita terdiri atas: (i) hard news /straight news (berita langsung), (ii) soft news (berita ringan), (iii) feature (berita kisah), dan (iv) indepth report (laporan mendalam) (1992:26-34). Setiap format berita memiliki ciri khas. Khusus mengenai feature (berita kisah), buku yang sama menulis sebagai berikut:
Features sering dianggap sebagai karya puncak jurnalisme, karena untuk meliput features dibutuhkan kepekaan dan ketajaman menangkap fenomena dalam realitas sosial melalui pengamatan dan wawancara mendalam, serta riset dokumentasi yang cermat (1992:30).

          Kutipan ini menggambarkan bahwa tidak semua wartawan bisa menulis feature. Hanya wartawan yang berpengalaman yang mampu melakukannya. Kalau seorang wartawan sudah berhasil menulis feature, sesungguhnya dia sudah punya karya puncak jurnalisme. Lalu, seperti apa sesungguhnya feature itu? Simaklah penjelasan buku Politik Redaksional Surabaya Post: Produk Informasi berikut:
Features ditulis penuh warna, nuansa, deskripsi, kronologis, penjabaran logis secara analitis, yang kesemuanya ditulis berdasarkan fakta. Dalam penulisan features perlu diperhatikan juga newspeg serta angle-nya, agar memiliki aktualitas, dan relevan dengan apa yang sedang menjadi perhatian pembaca (1992:30).

          Kutipan ini menunjukkan bahwa feature bukan merupakan karangan penulisnya. Ia merupakan narasi tentang fakta yang mampu menjelaskan apa yang sedang aktual dalam ingatan pembaca. Dari narasi itu bisa ditangkap wacana atau makna tersirat yang diungkapkan penulisnya. 
          Salah satu jenis feature, tambah buku Politik Redaksional Surabaya Post: Produk Informasi, adalah profil individu, yang sering juga disebut personality features.  Selanjutnya buku ini mendeskripsikan feature ini sebagai berikut:
Memperkenalkan ketermukaan seorang tokoh atau sekelompok orang. Pembaca bisa mengetahui sepak terjang tokoh tersebut, motivasinya, pandangannya, wawasan serta kerangka berpikirnya. Meski tidak selalu, penulisan profil biasanya dibuat berkaitan dengan peristiwa yang dilakukan/melibatkan tokoh (hal. 31).

          Kutipan ini memperlihatkan bahwa muatan personality features mirip dengan muatan biografi yang disarankan oleh Kuntowijoyo di atas. Yang berbeda, agaknya soal panjang tulisannya. Biografi biasanya lebih panjang daripada personality features. Namun, soal panjang personality features sangat ditentukan oleh jumlah makna tersirat yang ingin disampaikan penulisnya tentang tokoh yang dikisahkan. Kalau jumlah makna itu sangat banyak, panjang personality features bisa sama panjang dengan biografi.***

Rejodani, 29 Maret 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.