usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 16 Maret 2016



“Jangan jual Bali untuk kepentingan tertentu.”

SURABAYA—Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) menolak tawaran untuk menyusun dokumen rencana pelaksanaan reklamasi Teluk Benoa, Bali. Alasannya, proyek reklamasi tidak hanya menyangkut persoalan ilmiah akademik.
“Kami putuskan menolak. Saya sudah tanda tangan surat penolakan sebulan yang lalu,” ujar Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITS Surabaya, Adi Soeprajitno, saat dihubungi kemarin.
Adi mengatakan ITS memutuskan tidak menerima tawaran dari PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) tersebut lantaran masyarakat Bali menolak reklamasi. Menurut dia, masalah sosial dan budaya masyarakat juga harus diperhitungkan. “Terlebih menyangkut kepercayaan masyarakat Bali, sehingga kami memutuskan untuk cenderung tidak menerima penawaran tersebut.”
Dia menuturkan, sebulan sebelum proposal permintaan sebagai konsultan dari PT TWBI diterima, perusahaan tersebut telah melakukan sejumlah pendekatan.  Saat itu pula, Adi menambahkan LPPM ITS melakukan koordinasi. “Sebelum memutuskan menerima, kami terlebih dulu melakukan rapat, meninjau dari berbagai sisi, baru kami menentukan sikap,” ujarnya.
Penolakan atas rencana reklamasi itu memang terus bergulir. Warga Desa Pakraman Lebih, Gianyar, Bali, mendeklarasikan penolakan rencana reklamasi pantai seluas 700 hektare di wilayah desanya itu, sehari setelah Nyepi, Kamis lalu. Warga bersama berbagai elemen masyarakat Bali lainnya sebelumnya juga telah menemui Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk menyampaikan penolakan rencana reklamasi tersebut, akhir Februari lalu.
“Sudah dua bulan hasil paruman (rapat) kami yang secara tegas menolak reklamasi Teluk Benoa,” kata Jero Bandesa Adat Lebih, Wayan Wisma, saat itu.
Wayan cemas akan dampak dari reklamasi nanti terhadap desa dan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir. Dia menunjuk reklamasi di Pulau Serangan yang disebutnya menyebabkan puluhan hektare sawah di pantai menjadi korban terjangan arus laut. Belum lagi naiknya permukaan air laut dan abrasi pantai. “Jangan jual Bali untuk kepentingan tertentu,” katanya.
Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI), I Wayan “Gendo” Suardana, mengatakan gelombang perlawanan reklamasi Teluk Benoa yang membesar menegaskan bahwa rencana reklamasi di Teluk Benoa sangat tidak layak. “Ini menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tidak dikehendaki rakyat,” katanya.
Adapun Direktur Utama PTTWBI Heru Budi Wasesa pernah menilai penolakan besar-besaran terhadap reklamasi Teluk Benoa yang sudah berjalan selama tiga tahun itu sebatas keraguan terhadap proyek PT TWBI. Menurut dia, kajian analisis mengenai dampak lingkungan yang akan menentukan. “Kalau pemerintah mengizinkan, ya kami jalan terus,” kata dia, dua pekan lalu.
Pada masa yang sama, Gubernur Bali Made Mangku Pastika mempersilakan kelompok masyarakat mengungkapkan penolakannya itu. Made Pastika menolak menanggapi lebih jauh karena, menurut dia, izin reklamasi berasal dari pemerintah pusat lewat mekanisme dalam Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014.
Adapun Menteri Susi menyatakan menghargai kepedulian masyarakat Bali akan lingkungan terkait dengan proyek reklamasi di Teluk Benoa. “Saya berharap, apapun pembangunannya nanti, semestinya tidak merugikan lingkungan dan masyarakat,” ujar Susi setelah menerima perwakilan dari berbagai elemen masyarakat di Bali, di kantornya, akhir Februari lalu. (Artika Rachmi/Bram Setiawan).
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 14 Maret 2016. Berita yang memberikan inspirasi bagi perguruan tinggi lain untuk bersikap tegas dalam menerima sebuah proyek. Soalnya, bagi ITS, proyek reklamasi Teluk Benoa, Bali, bukan semata-mata urusan ilmiah akademik, tetapi juga menyangkut masalah sosial dan budaya masyarakat Bali.
Penolakan ITS ini bisa menjadi rujukan bagi perguruan tinggi lain ketika harus menghadapi masalah yang mirip. ITS telah dengan cerdas melihat bahwa posisi perguruan tinggi tidak hanya memberikan justifikasi sebuah proyek dari sisi ilmiah akademik, melainkan juga memberikan pertanggungjawaban moral kepada masyarakat. ITS melihat bahwa proyek reklamasi Teluk Benoa hanya akan menyengsarakan masyarakat di masa mendatang. 
Memang Gubernur Bali “bermain” aman. Menteri Susi pun bersikap normatif. Sehingga keduanya tidak memperlihatkan keberpihakan yang tegas kepada masyarakat. Tetapi, ITS tidak ikut-ikutan “bermain” aman dan bersikap normatif. Ia menghadirkan kepedulian yang besar terhadap nasib rakyat. Dengan begitu, ITS tidak menjadi alat legitimasi kebijakan lembaga swasta. Semoga ITS tetap istiqomah. Aamiin.***
Rejodani, 15 Maret 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.