usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 16 Maret 2016


Dalam kehidupan profesional, setiap kegiatan perlu didasari etika. Tanpa etika, kegiatan itu akan meluncur pada radikalisme. Ia akan meninggalkan kesan tidak baik di kalangan orang yang menjadi penikmat hasil kegiatan itu. Sekalipun kegiatan bersangkutan dianggap berhasil, tetap saja ia meninggalkan cacat. Cacat ini, kalau sampai meninggalkan luka, akan berbekas. Tidak jarang, bahkan, pelaku kegiatan tersebut disebut tidak etis.
Etika adalah semacam peraturan, prinsip, nilai, dan idealisme yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang menjadi panduan agar kegiatannya bisa dipercaya. Ini menunjukkan bahwa etika media adalah prinsip, nilai, dan idealisme yang dimiliki oleh sekumpulan orang yang bekerja di dunia media yang menjadi panduan agar kegiatan dan hasil kegiatannya bisa dipercaya. Semua itu bisa saja tertulis, tetapi bisa juga dalam bentuk konvensi yang sudah disepakati bersama.
Kepercayaan dan kebenaran menjadi kata kunci dalam kegiatan media massa. Bila media massa tidak dipercaya oleh khalayak, mustahil media massa itu akan diakses oleh khalayak. Bila berita yang disiarkan sebuah media massa tidak mengandung kebenaran, mustahil pula berita itu akan dijadikan khalayak sebagai referensi yang akan memandu tingkah laku mereka.
Dengan begitu, sikap etis media massa bisa mempertahankan khalayaknya. Ia bisa mendukung perkembangan media massa bersangkutan. Bukankah kehidupan media massa secara tidak langsung tergantung kepada jumlah khalayak setianya?
Pada saat yang bersamaan, sikap etis media massa akan menentukan apakah berita yang disiarkannya bermanfaat bagi khalayak atau tidak. Kalau khalayak menganggap berita itu tidak benar, mereka akan melupakan berita itu. Mereka akan beralih kepada berita lain, atau, bahkan, media massa lain. 
          Salah satu sikap yang bisa ditempuh media massa agar dinilai etis adalah jujur. Dalam tingkat praktis, ini bermakna bahwa orang media, terutama wartawan, tidak boleh berbohong. Namun, sikap ini mendapat ujian berat ketika seorang wartawan harus berhadapan dengan deadline dan melindungi narasumber rahasia. Tidak jarang wartawan gagal dalam ujian ini. Mereka tidak jujur.
Sikap tidak jujur ini kadang-kadang bisa diterima. Dengan alasan bahwa wartawan adalah juga manusia, wartawan bersangkutan dimaafkan dengan catatan mereka harus meralat berita yang keliru kemarin secepatnya dalam jumlah lahan yang sama. Asumsinya, kalau si wartawan punya waktu yang lebih panjang, dia akan bersikap jujur.
          Dalam pada itu, William L. Rivers dan Cleve Mathews, dalam buku Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya mengakui bahwa tidak mudah bagi wartawan untuk menyajikan kebenaran kepada khalayak. Namun mereka memberikan kesempatan kepada khalayak untuk menilai informasi tersebut. Selanjutnya mereka menulis:
Bagaimanapun, para wartawan tahu lebih dulu kebenaran sukar dipahami dan obyektivitas mungkin cuma ilusi. Reporter dan redaktur menyaring berbagai fakta dari berbagai sumber dan menghasilkan suatu campuran; atau, dengan kata lain, mereka menunjukkan sumber informasi yang mereka peroleh sehingga para pembaca atau pemirsa dapat menilai sendiri informasi tersebut (hal. 52).

          Kutipan ini menunjukkan bahwa misi jurnalisme yang ideal itu (menyajikan kebenaran) itu tidak selalu bisa terwujud. Akibatnya, khalayak harus memahami berita yang disiarkan media pers secara sendiri-sendiri. Maka diperlukan keterampilan khalayak untuk menilai berita yang sampai kepada mereka. Apa bentuk keterampilan itu?
          Tentu saja keterampilan untuk menentukan kebenaran. Bagaimana caranya? Kalau untuk menemukan kebenaran sebuah ilmu, seperti kata Darji Darmodiharjo, dalam tulisannya yang berjudul “Konsep Nilai dan Kebenaran Relatif-Proporsional”, “Kebenaran ilmu dinilai melalui rasionalitas dan bukti-bukti empirisnya, yang dapat dicari dan diukur hubungan kausalitas antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya” (hal. 612).
Namun, kebenaran berita diukur dari empat kebenaran, yakni: (i) benar secara ontologis, artinya ada sumber beritanya. Indikatornya, empiris, (ii) benar dalam konteks hukum formal, maknanya proses jurnalismenya tidak melanggar Undang-Undang. Indikatornya: legalitas, (iii) benar dalam konteks universal, maknanya proses jurnalismenya tidak melanggar hak asasi manusia. Indikatornya: pantas/adil, dan (iv) benar berkonteks “dianggap benar oleh masyarakat”, maknanya faktanya tidak bertentangan dengan pendapat orang banyak. Indikatornya: ada wacana seperti itu dalam kehidupan masyarakat. 
          Cara yang juga bisa digunakan adalah mengkonfirmasikan berita yang ditulis wartawan bisnis kepada kode etik jurnalistik (KEJ). KEJ berbeda dengan etika. Namun, ia bagian dari etika. Ia merupakan peraturan tertulis yang sudah disahkan oleh Dewan Pers berdasarkan kesepakatan semua asosiasi profesi wartawan di Indonesia. Ia terdiri atas 11 Pasal. Bagi siapa saja yang melanggar KEJ ini, mereka akan memperoleh sanksi dari asosiasi profesi wartawan tempat mereka bernaung.
Ketika seorang wartawan menjadikan KEJ sebagai norma yang memandu keterampilannya menulis berita bisnis, sebenarnya dia disebut bersikap etis. Dia, bahkan, dinilai sebagai seorang yang bermoral. Tidak mudah memang menjadi seorang wartawan yang bermoral. Apalagi pada saat sekarang, ketika banyak orang lebih memilih sikap pragmatis dalam menjalani kehidupan ini. 
Namun, bagi wartawan yang mau berpikir, mempraktikkan etika jurnalisme merupakan perjuangan manusia melawan hawa nafsu dan naluri. Ketika mereka mempraktikkan etika jurnalisme, sebenarnya mereka membebaskan diri mereka dari cengkeraman dorongan-dorongan yang merugikan kemanusiaannya. Pada saat yang bersamaan, mereka membangun kehalusan rohani mereka. Mereka pun memiliki martabat dan kehormatan yang tinggi. Pada titik inilah sebenarnya muncul penilaian bahwa etika jurnalisme itu indah.***
Rejodani, 15 Maret 2016.

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.