usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 02 Mei 2016

 
Menatap Masa Depan Jurnalisme Indonesia
Penulis: Ana Nadhya Abrar
Penerbit: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
             Tahun Terbit: 2016
228 halaman + xiv







Jurnalisme Indonesia sudah ada sejak akhir abad ke-19. Simaklah, data yang tercatat dalam buku Jernih Melihat, Cermat Mencatat karya Marthias Dusky Pandu berikut:
Surat kabar pertama yang hadir di Padang, Sumatra Barat, tahun 1882, bernama Pelita Kecil. Pemimpin Redaksinya Moss. Tidak lama dia diganti oleh B.A. Dosseau. Salah seorang anggota redaksi surat kabarnya, Mahjoeddin, putra negeri Sulit Air, Solok (1858-1921) (hal. 17).
Lalu simaklah pula data yang tercatat dalam buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer berikut:
Ia mulai membantu Chabar Hindia Olanda (terbit: Batavia, 1888-1897), yang dipimpin oleh Alex Regensburg, selama dua tahun. Dengan matinya surat kabar tersebut, ia kemudian menjadi pembantu Pembrita Betawi (terbit: Batavia, 1884-1916), sebuah berkala bergambar pimpinan Overbeek Bloem. Tidak lama. Kemudian menjadi pembantu tetap Pewarta Priangan, terbitan Bandung. Karena yang belakangan ini pendek ia kembali membentu harian Pembrita Betawi. (hal. 23).

Ia yang dimaksud dalam kutipan di atas adalah R.M. Tirto Adhi Soerjo.

Kedua kutipan di atas memperlihatkan bahwa perjalanan jurnalisme Indonesia sudah panjang. Dalam menapaki perjalanan itu, tentu saja terdapat hambatan, halangan dan persoalan. Betapapun hebatnya semua rintangan itu, toh jurnalisme Indonesia tetap eksis sampai sekarang.
Kalau kemudian muncul sebuah buku berjudul Keruntuhan Jurnalisme, karya  Dudi Sabil Iskandar dan diterbitkan oleh  Lentera Ilmu Cendekia tahun 2015, tidak berarti bahwa jurnalisme Indonesia telah habis. Buku tersebut hanya mengingatkan para wartawan dan media pers bahwa jurnalisme Indonesia menghadapi persoalan yang tidak sepele. Kalau persoalan ini tidak diselesaikan, bukan mustahil jurnalisme Indonesia akan terpuruk.
Lalu, bagaimana menyelesaikan persoalan jurnalisme Indonesia tersebut? Jawabannya bisa dilihat dalam buku Menatap Masa Depan Jurnalisme Indonesia bab IV. Bab ini bertajuk “Membangun Masa Depan Jurnalisme Indonesia”. Di dalam bab ini, tertulis dua resep untuk membangun masa depan jurnalisme Indonesia, yakni: (i) meningkatkan kualitas jurnalisme Indonesia, dan (ii) meningkatkan martabat jurnalisme Indonesia. Bab ini merupakan “gong” dari buku ini.
Sebelum sampai kepada “gong” ini, buku ini berturut-turut memaparkan “Pendahuluan” dalam bab I,  “Gambaran Jurnalisme Kontemporer Indonesia” dalam Bab II, dan “Dari Kancah Perkembangan Jurnalisme” dalam bab III. Dengan kata lain, uraian dalam Bab IV ini tidak asal tulis, melainkan bertolak dari Bab II dan Bab III. Jadi, usulan ini tidak sekadar usulan saja.***
Surabaya, 30 April 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.