usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 17 Mei 2016




Kini, setiap orang bisa dengan mudah menghasilkan content di media sosial. Sepanjang ada keinginan untuk berpartisipasi dan punya informasi yang akan disampaikan, setiap individu bebas mempostingkan informasi tersebut. Dalam keadaan begini, bukan mustahil seorang warga menyiarkan gosip, rumor, dan hoax tentang seorang tokoh teriring harapan agar reputasi seorang tokoh hancur.

Kalau reputasi sang tokoh memang hancur gara-gara informasi di media sosial yang sudah dibroadcast sampai jauh, berarti media sosial sudah dimanfaatkan untuk keburukan. Kasihan sang tokoh dan kasihan pula media sosialnya. Lalu, bagaimana cara menghindari kehancuran reputasi sang tokoh yang sudah dibangun bertahun-tahun itu? Jawabannya ada dua, yakni, pertama, pengawasan pelaksanaan regulasi tentang berkomunikasi lewat media sosial diperketat. Kedua, menyiarkan profil sang tokoh lewat media pers. Yang terakhir ini berurusan dengan jurnalisme.

Profil sang tokoh, biasanya ditulis dalam feature (berita kisah). Tentang ini, St. Sularto, dalam menyambut kehadiran buku Menulis Sosok, menulis antara lain:
 

Ada yang menerjemahkannya sebagai karangan khas—sejalan dengan jati diri media yang menyampaikan informasi, hiburan, dan pendidikan bagi pembaca—yang berbeda (khas) dalam mkendekati persoalan dibandingkan dengan berita. Ada yang mendistingsikan feature sebagai softnews, berbeda dengan berita sebagai hardnews. Tetapi, apa pun sebutan dan definisinya, feature lebih rinci dan lebih mendalam, lebih memberi latar belakang serta nuansa disbanding berita (hal. ix).


          Kutipan ini menunjukkan dalam sebuah feature, penulisnya bisa memperlihatkan sosok tokoh yang diceritakannya secara lengkap. Bisa saja ia merupakan pelengkap dari berita yang disiarkan. Namun, ia bisa pula berdiri sendiri.

          Biasanya feature tentang sosok tokoh meliputi biodata, pengalaman dan ide sang tokoh. Untuk itu,  penulisnya harus bekerja keras mengumpulkan fakta yang bisa memperlihatkan ketiga unsur itu. Dia tidak cukup hanya mewawancarai sang tokoh saja. Dia perlu juga memanfaatkan kepustakaan, merujuk kepada sumber tertulis lain, dan mengumpulkan data dari sumber lain. Dia, bahkan, perlu mewawancarai orang lain, baik yang pro maupun yang kontra dengan tokoh tersebut. Wajar bila informasi yang terkandung dalam feature bersangkutan merupakan informasi yang lengkap.

          Dalam keadaan begini, feature tentang tokoh bisa menjadi tempat konfirmasi bagi informasi yang disiarkan oleh media sosial yang mengandung niat untuk menghancurkan reputasi sang tokoh. Tidak terlalu berlebih-lebihan rasanya bila jurnalisme—yang menghasilkan feature tersebut—bisa menjaga reputasi tokoh.***

Rejodani, 15 Mei 2016



0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.