usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 15 Februari 2016


Damaskus—Konflik di Suriah terus menelan ribuan nyawa warga sipil. Laporan terbaru dari lembaga nirlaba Syrian Center for Policy Research (SCPR) menunjukkan, perang saudara di negara itu telah merenggut 470 ribu korban jiwa.
Dari jumlah itu, 400 ribu orang tewas akibat dampak langsung konflik. Sedangkan 70 ribu orang kehilangan nyawa karena tidak dapat menjangkau makanan, air minum, perubahan, sanitasi, dan perawatan kesehatan.
“Sekitar 11,5 persen dari penduduk Suriah telah tewas atau terluka sejak konflik dimulai pada Maret 2011,” demikian laporan SCPR, seperti diberitakan VoA, kemarin.
Angka temuan lembaga ini jauh di atas hitungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selama ini badan dunia itu memperkirakan konflik di Suriah mengakibatkan 250 ribu orang meninggal dan membuat 12 juta lainnya mengungsi.
Menurut seorang peneliti SCPR, laporan ini didasarkan pada survei populasi terhadap 2.100 informan kunci dari 700 wilayah di berbagai penjuru Suriah. Lembaga ini kemudian mengecek silang data dari berbagai sumber dengan data sekunder dan penelitian pihak ketiga.
Di Munich, Jerman, kekuatan utama dunia telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan mengehentikan permusuhan di Suriah. Mereka setuju untuk berfokus pada penyerahan bantuan kemanusiaan kepada korban perang. “Di atas kertas, kami sudah sepakat. Apa yang harus dilakukan dalam beberapa hari ke depan adalah tindakan nyata di lapangan,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, seperti dikutip CNN, kemarin.
Diplomat dari 17 negara anggota International Syria Support Group (ISSG) menuntaskan kesepakatan damai di Munich. ISSG berisi negara-negara yang membahas perundingan damai Suriah, antara lain Amerika dan Rusia.
ISSG membahas gencatan senjata menyusul peningkatan serangan pasukan pemerintah Suriah, yang dibeking Rusia, di Provinsi Aleppo di utara Suriah. Serangan sejak pekan lalu itu telah memicu gelombang puluhan ribu pengungsi ke Turki.
Pemerintah Bashar al Assad belum merespons sikap sepihak ISSG. Namun koalisi oposisi Suriah menyambut positif. “Bila terbukti di lapangan, kami akan segera ke (perundingan damai) Jenewa,” kata Salim al-Mursalat, juru bicara High Negotiations Committee, kelompok utama oposisi Suriah. (VOA/CNN/BBC NEWS/AL JAZEERA/MAHARDIKA).
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, 13-14 Februari 2016. Mengerikan! Hanya kata yang terucap dari mulut kita menyadari kenyataan ini. Demi memperebutkan pengaruh di Suriah, negara-negara besar tidak peduli dengan korban rakyat Suriah yang begitu banyak?
Mengapa negara besar? Karena, bertolak dari sejarah, kekaisaran Ottoman menguasai wilayah Timur Tengah selama 600 tahun. Kekaisaran Ottoman ini hancur dalam perang dunia I karena dihancurkan sekutu (Inggris dan Perancis) dengan bantuan Arab Saudi. Setelah kekaisaran Ottoman hancur, sekutu membagi-bagi wilayah Timur Tengah dalam sebuah perjanjian. Libanon dan Suriah sekarang berada di bawah Perancis. Jordania dan Irak berada di bawah Inggris.
Lewat perjalanan waktu, semua negara itu memang menjadi negara merdeka. Namun, negara-negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Rusia ingin punya pengaruh di sana. Mereka tidak mau “tidak kebagian”. Dengan segala cara mereka menanamkan pengaruh itu. Ketika mereka masuk, negara lain, seperti Iran, Turki, dan Arab Saudi juga tak mau kalah. Semuanya seakan-akan mengerahkan segala sumber daya mereka untuk berebut pengaruh di Suriah. 
Jumlah korban sebanyak yang dicatat berita di atas seharusnya menjadi alarm buat negara besar dan sekutunya untuk melepaskan pengaruhnya di Suriah. Mereka harus membiarkan Suriah menjadi negara otonom. Kalau tidak, mereka akan dicatat sebagai negara modern yang kejam, menjadi penghancur kemanusiaan yang tidak beradab.***
Rejodani, 15 Februari 2016.


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.