usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 15 Februari 2016



       Seperti sudah menjadi kelaziman di zaman sekarang, para wirausahawan mengabsolutkan keuntungan materi yang sebanyak-banyaknya. Salah satu buktinya adalah, mereka menggunakan segala jenis cara untuk memperoleh keuntungan. Mereka, bahkan, menghalalkan segala cara demi mencapai target perusahaan. Dalam keadaan begini, pembeli atau pasar hanya sebagai komoditas atau objek semata.
          Penempatan manusia pada posisi objek ini, tanpa sadar, sudah menjalar kepada media pers. Lihatlah, media pers begitu asyiknya dengan dunianya sendiri, meliput semua peristiwa dengan mendulukan nilai menarik daripada penting. Dari sini jelas media pers ingin mengejar jumlah khalayak. Dari jumlah ini, bisa dipastikan, mereka mengejar pemasukan dari iklan yang sebanyak-banyaknya. Dalam bingkai pola pikir ini media pers tidak lagi menganggap khalayak sebagai manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Media pers sudah menganggap khalayaknya sebagai komoditas semata.
          Tentu saja kedua kenyataan ini menjadi persoalan yang harus segera dicarikan solusinya. Soalnya, dengan perlakuan semacam itu manusia sudah kehilangan kemanusiaannya. Padahal kemanusiaan ini sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengembangkan diri mereka, paling tidak untuk menghargai keberadaan mereka sebagai manusia.
          Pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah, upaya apa yang dibutuhkan untuk mengatasi persoalan kemanusiaan yang makin lama bisa makin memprihatinkan itu? Tentu saja tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Yang jelas perjuangan itu akan panjang dan terus-menerus. Dalam keadaan begini, semua pihak yang punya kaitan dengan ini idealnya bisa mengusulkan solusi.
Karena penulis menekuni jurnalisme dan menjadi pengajar jurnalisme, penulis ingin ikut memberikan solusi melalui jurnalisme. Apa solusinya? Menjadikan jurnalisme mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Bagaimana persisnya? Setidaknya ada tiga petuah yang bisa dipakai sebagai solusi untuk menjadikan jurnalisme sebagai elemen yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, yakni: (i) memberikan kebebasan kepada khalayak untuk mengambil keputusan, (ii) mengungkapkan masa depan sebagai konteks, dan (iii) menulis berita dengan empati yang tinggi.
1. Memberikan kebebasan kepada khalayak untuk mengambil keputusan.
Banyak orang mempersoalkan kebebasan berekspresi seiring dengan  menyempitnya ruang khalayak yang tersedia. Padahal kesadaran tentang kebebasan berekspresi itu makin meningkat menyusul perkembangan demokrasi yang makin bagus. Akibatnya, mereka yang ingin mengekspresikan dirinya tidak punya wadah yang memadai. Tegasnya, ekspresi mereka tidak sampai kepada khalayak.
Kenyataan ini, menurut Marco Kusumawijaya dan Mujtaba Hamdi, dalam tulisannya yang berjudul Merawat Khalayak dan Ruang Khalayak, kalau tidak diselesaikan, bisa menciptakan kekacauan. Simaklah komentar mereka berikut:
Kebebasan bereskpresi itu ibarat ruh, sedangkan ruang khalayak adalah raganya. Tanpa raga, ruh akan ‘gentayangan’. Ruh akan resah, bahkan frustasi, dan dampak lebih luasnya adalah chaos, kekacauan. Sungguh tak salah mengatakan bahwa inilah yang terjadi hari ini: betapa semangat, kesadaran, dan dorongan kebebasan berekspresi meningkat begitu tinggi, sementara ruang khalayak yang mewadahinya terus menyempit (hal. 58).

          Kutipan ini menunjukkan bahwa ruang khalayak itu sangat penting untuk ekspresi khalayak. Ruang khalayak ini juga tersedia di media pers. Namun, ia tidak sepenuhnya bisa dipakai oleh khalayak untuk berekspresi. Ia malah dimanfaatkan oleh pemilik media pers untuk berekspresi. Akibatnya, media pers tidak bisa menampung ekspresi khalayak secara menyeluruh.
          Suasana seperti ini bukan mustahil menjadikan berita sebagai sesuatu yang mendikte khalayak untuk berbuat atau tidak berbuat. Secara praktis, wartawan sudah menutup kesempatan bagi khalayak untuk memutuskan sesuatu di luar yang terkandung dalam berita. Dalam keadaan begini, informasi yang terkandung dalam berita tersebut sudah menjadi harga mati. Tidak ada lagi pilihan lain yang bisa dipilih oleh khalayak.
          Melihat kenyataan ini dari sisi berita, berita tersebut tidak memberi alternatif pilihan kepada khalayak. Ini yang harus dihindari. Persoalannya lantas, bagaimana cara menghindarinya?
Agaknya wartawan perlu memberikan penjelasan tentang kebutuhan yang diperlukan khalayak untuk membangun, katakanlah, bisnis. Salah satu contoh adalah menyebutkan lanskap bisnis masa sekarang. Mungkin dulu orang berusaha bisa hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman. Namun, sekarang syarat itu tidak cukup lagi. Masih diperlukan pengetahuan yang lain. 
2. Mengungkapkan masa depan sebagai konteks.
Kenyataan menunjukkan bahwa globalisasi sudah merobek-robek batas negara. Ia sudah menjadi “kekuatan” yang bisa mengubah ekonomi sebuah negara. Di Indonesia misalnya, globalisasi menyebabkan sekian bank dilikuidasi. Wajar bila globalisasi sering kali menjadi konteks masa depan ekonomi Indonesia.
Namun, globalisasi bukan merupakan satu-satunya konteks ekonomi Indonesia. Sesungguhnya masih ada konteks yang lain, misalnya pelemahan nilai rupiah.
          Kalau masa depan dipakai sebagai konteks berita bisnis, sebenarnya berita tersebut berhadapan dengan masalah yang meliputi bisnis. Khalayak akan memperolah gambaran tentang arah perkembangan bisnis secara umum. Dari sini, mereka bisa menyusun pertimbangan tentang banyak hal, mulai dari membeli barang, menjual barang, memperluas pasar, melakukan reinvestasi, dan sebagainya.
          Persoalan yang kemudian muncul adalah, kemampuan seperti apa yang harus dimiliki oleh wartawan  agar mampu menghadirkan konteks masa depan terhadap berita yang ditulisnya? Tentu saja wartawan harus memiliki beberapa kemampuan. Semua kemampuan ini dijelaskan secara umum oleh John Gallagher, dalam tulisannya yang berjudul “Not Just Bussiness as Usual”, dalam tiga kata: menjadi seorang ahli. “Dia harus membaca buku apa saja yang berkaitan dengan bidangnya dan bisa hadir dalam berbagai brifing tentang hal yang diliput.” (hal. 233).
          Mungkin wartawan akan mengalami tekanan bila disuruh menjadi ahli. Mungkin juga mereka akan keberatan menjadi ahli dengan alasan lebih baik menjadi pengamat saja daripada menjadi wartawan. Mungkin, bahkan, mereka tidak akan merasa tidak nyaman menjalani pekerjaannya. Namun, itulah risiko menjadi wartawan yang bisa mengungkapkan konteks masa depan. Mereka harus tidak pernah berhenti belajar.
          Dalam bahasa lain, wartawan bisnis harus keluar dari comfort zone. Mereka harus mengejar keterampilan tertinggi yang mungkin mereka capai. Perkara apakah kelak media tempat mereka bekerja akan menghargainya atau tidak, itu perkara lain. Mereka tidak perlu membayangkannya. Urusan mereka adalah memiliki keterampilan tertinggi sebagai wartawan.  Sisanya serahkan saja kepada media pers tempat mereka bekerja.
          Menilik kenyataan di Indonesia, memang tidak mudah bagi profesi apa saja untuk keluar dari comfort zone-nya. Kenyataan ini pernah disinyalir oleh Rhenald Kasali dalam buku Self Driving: Menjadi Driver atau Passanger? sebagai berikut: “Salah satu persoalan berat yang dihadapi bangsa ini dalam menghadapi perubahan adalah rendahnya kemampuan kita untuk keluar dari comfort zone” (hal 23). Pertanyaanya lantas, apakah wartawan bisnis hanya ingin meniru orang yang tidak bersemangat untuk keluar dari comfort zone? Tidak, bukan. 
3. Menulis berita dengan empati yang tinggi.
Secara umum empati bermakna keadaan mental yang membuat seorang individu  mengidentifikasikan dirinya sama dengan orang atau kelompok lain. Seorang wartawan disebut mampu menulis berita dengan empati yang tinggi kalau dia bisa menulis berita yang sesuai dengan perasaan dan pikiran khalayaknya. Pengertian ini menjadikan wartawan bisnis harus tahu persis perasaan dan pikiran khalayaknya.
Betapapun dekatnya wartawan dengan khalayaknya dan betapapun mereka  menggali informasi dari khalayaknya, akan tetap saja ada yang tidak akan tertangkap. Soalnya, dalam praktik, empati itu berurusan dengan keinginan yang tidak terucap. Itulah sebabnya kita tidak akan menuntut wartawan untuk tahu persis keinginan khalayaknya. Yang perlu mereka usahakan adalah mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang masalah yang dihadapi khalayak. Bertolak dari pemahaman inilah kemudian mereka mengumpulkan informasi yang kira-kira bisa menyelesaikan masalah tersebut. Kalau seorang wartawan belum bisa mengumpulkan informasi yang bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi khalayak, sesungguhnya empatinya belum lengkap. Mereka baru sampai pada tingkat simpati saja.***
          Rejodani, 15 Februari 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.