usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 01 Februari 2016




            Setiap agama mengajarkan umatnya untuk meminta pertolongan kepada Allah. Islam misalnya, mendidik umatnya untuk tidak bersedih karena Allah akan menolong mereka. Kenyataan ini tertulis dalam Al Qur’an, Surah Al Baraah, Ayat 40:


 Kalau kamu tidak menolongnya, sesungguhnya Allah telah menolongnya (Muhammad) ketika dia diusir oleh orang-orang kafir, berdua dengan orang kedua, ketika itu keduanya dalam gua. Diwaktu itu dia mengatakan kepada kawannya: Jangan engkau berduka cita; sesungguhnya Allah itu bersama kita. Lalu Allah menurunkan ketenangan kepadanya, dan dikuatkan-Nya dengan tentara yang tidak kamu lihat. Dan Tuhan menjadikan perkataan orang-orang yang kafir itu paling rendah dan perkataan Allah itu yang amat tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.


          Kutipan firman Tuhan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak perlu berkecil hati dengan kondisi ekonomi Indonesia sekarang. Sepanjang mereka mau bekerja keras, selalu mencari peluang bisnis dan jujur, Tuhan akan membantu mereka. Tuhan tidak akan membiarkan mereka menderita. Sebaliknya, Tuhan akan mendampingi mereka.
          Petuah ini tentu juga berlaku pada diri wartawan. Mereka tidak perlu berkecil hati melihat kondisi jurnalisme sekarang, misalnya banyaknya berita yang berisi pesan pemilik media pers. Sepanjang mereka bersedia bekerja keras mengumpulkan fakta dan menyajikan berita yang berkaitan dengan persoalan masyarakat, selalu mengolah topik berita yang mendorong lahirnya bisnis masyarakat dan selalu jujur dalam mengungkapkan fakta, Tuhan akan memberi mereka inspirasi tentang penulisan berita  yang bermanfaat untuk khalayak. Tuhan akan membimbing mereka menemukan fakta yang sangat penting dan menarik. Tegasnya, Tuhan akan mendampingi mereka.
Memang ide wartawan untuk menyajikan berita semacam itu lahir dari akal budi. Namun, setiap wartawan memiliki akal budi yang berbeda. Dari akal budi yang berbeda itu, muncul ide yang berbeda pula. Akibatnya, ide setiap wartawan itu merupakan perwujudan pribadi dia. 
Bila dilihat lebih jauh, sesungguhnya akal budi itu tidak berdiri sendiri. Ia diarahkan oleh petunjuk Allah. Petunjuk Allah,  dalam ajaran agama, sering disebut hidayah. Nah, hidayah ini hanya milik Allah. Namun, Allah akan memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an, Surah Al Qashash, Ayat 56: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”
Persoalan yang kemudian muncul adalah, wartawan seperti apa yang bakal memperoleh petunjuk Allah? Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tetapi, bercermin kepada tulisan Dewi Yana, di Facebook, yang berjudul “Hidayah”, seperti termuat dalam https://id-id.facebook.com/notes/jalan-dakwah-bersama-dewi-yana/hidayah/231585690184882/, diakses 19 Januari 2016, paling tidak terdapat empat ciri orang yang akan memperoleh petunjuk Tuhan, yakni: (i) bersungguh-sungguh dalam mengerjakan pekerjannya, (ii) berniat mengerjakan pekerjaannya sebagai usaha berbuat baik, (iii) selalu berdoa sebelum mengerjakan pekerjaan, dan (iv) memperbanyak berbuat baik.
Khusus mengenai yang terakhir ini, wartawan tidak melakukan tugasnya atas bayaran narasumber tertentu. Mereka tidak menuangkan kebohongan pada berita yang ditulisnya. Mereka tidak terganggu sama sekali dengan permintaan yang aneh-aneh dari pihak yang akan memperoleh keuntungan dari berita yang ditulisnya. Tegasnya, mereka selalu menjadikan batas pemberitaan yang universal dalam menulis berita.
Kendati begitu, mereka tidak tetap bertekad untuk menyajikan berita yang terbaik untuk khalayak. Mereka tidak hanya berhenti pada “sekadar memenuhi kewajiban” saja. Mereka selalu mengorientasikan beritanya untuk kepentingan khalayak.
Tentu saja petuah mendapat petunjuk Tuhan ini tidak ada dalam buku pintar tentang jurnalisme. Namun, dalam praktik hidup sehari-hari petunjuk Tuhan itu riil dan konkret. Itulah sebabnya wartawan memerlukannya. Bagaimanapun wartawan adalah manusia juga. Sebagai manusia, mereka butuh petunjuk Tuhan dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. 
       Namun, persoalan muncul, apakah cara kerja wartawan seperti ini bisa menjadi pengetahuan buat khalayak? Kalau jawabannya ya, apa buktinya? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini tanpa data yang akurat dan komprehensif. Yang jelas, informasi yang tersaji dalam berita bisa menjadi pengetahuan bagi khalayak. Menurut Kasdin Sihotang dalam buku Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme, terdapat empat ciri pengetahuan manusia yang berpeluang bisa diterapkan dalam kehidupannya, yakni: (i) imanen, (ii) intensional, (iii) relasional, dan (iv) progresif (hal. 91).
          Sebuah pengetahuan disebut imanen kalau pengetahuan itu melekat pada diri pemiliknya dan digunakan sebagai sarana untuk menyempurnakan dirinya. Pengetahuan itu tidak hanya sekadar tahu saja dan dibiarkan hilang begitu saja. Sebaliknya, pengetahuan itu dikuasai betul dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun pemiliknya tidak mempraktikkannya untuk dirinya, mungkin dia bisa membagikannya kepada orang lain.
          Ciri intensional pengetahuan ditunjukkan oleh kesadaran pemiliknya tentang arah pengetahuan itu. Dia merasa bahwa pengetahuannya itu terarah dan sudah disiapkan oleh “dunia di luar dirinya”. Dari kesadaran inilah dia, kemudian, mempertahankan pengetahuannya itu.
          Makna keterarahan ini, pada gilirannya, melahirkan ciri yang ketiga, relasional. Ia berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar pemiliknya. Dia merasa pengetahuan itu menyebabkan dia bisa keluar dari segala keterbatasannya. Dia, bahkan, yakin pengetahuan itu bisa menyebabkan terjadinya proses trans subyektif pada dirinya.
          Ciri dinamis tentu saja ditunjukkan oleh berkembangnya pengetahuan itu. Artinya, pengetahuan itu tidak hanya berhenti sampai di itu. Ia berkembang sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman. Bersamaan dengan itu, pemiliknya juga merasa bahwa dia harus mengetahui perkembangan mutakhir dari pengetahuan yang dimilikinya.
          Semua penjelasan ini mendidik wartawan untuk menjadikan berita yang ditulisnya sebagai pengetahuan yang memiliki keempat ciri di atas. Artinya, wartawan perlu membayangkan khalayak yang membaca beritanya memiliki niat untuk mengembangkan diri mereka. Dari bayangan itu, dia merencanakan berita seperti apa yang kelak bisa menjadikan pengetahuan mereka tentang berbagai hal. Kalau beritanya kelak memang memenuhi kriteria itu, dia bisa disebut sebagai wartawan yang “memajukan” beritanya. Pada titik inilah kita bisa menyebut bahwa menjadikan informasi yang terkandung dalam berita sebagai pengetahuan merupakan cara untuk memajukan jurnalisme.***
Rejodani, 31 Januari 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.