usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 01 Februari 2016


Jakarta—Setelah perjanjian gagal diteken, kisruh proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menjalar ke soal peraturan presiden yang saling bertabrakan. Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional berbenturan dengan Perpres No. 107 Tahun 2015 mengenai Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung.
Perpres No. 3/2016 yang menjadi payung hukum bagi 225 proyek strategis itu mengizinkan negara memberi jaminan terhadap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sedangkan Perpres No. 107/2015, yang diterbitkan khusus untuk proyek kereta dengan panjang rel 142 kilometer tersebut, memastikan pemerintah tidak memberikan jaminan. Presiden Joko Widodo diminta mengkaji Perpres No. 3/2016 yang diteken pada 8 Januari lalu itu.
“Saya tidak ingin presiden keliru,” kata Ajiep Padindang, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulawesi Selatan, dalam rapat paripurna luar biasa di Jakarta, kemarin. Dalam rapat yang digelar khusus untuk meminta konfirmasi mengenai proyek bernilai Rp 74,2 triliun itu, DPD mengundang Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, dan hadir pula Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC) Hanggoro Budi Wiryawan.
Menurut Ajiep, dalam Pasal 4 ayat 2 Perpres No. 107/2015 dijelaskan proyek yang dikerjakan bersama antara konsorsium BUMN Cina dan konsorsium BUMN Indonesia (Pilar Sinergi BUMN Indonesia) tidak menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara. “Kajian tersebut dibutuhkan supaya ada kejelasan. Saya tidak ingin mengatakan Presiden melanggar.”
Menanggapi hal itu, Rini meyakinkan bahwa proyek kereta cepat memiliki payung hukum khusus, tidak mengikuti Perpres No. 3/2016. “Enggak, beda. Kereta cepat punya perpres sendiri, dan tidak ada jaminan negara di situ.” Isi Pasal 25 Perpres No. 3/2016 yang baru tidak melonggarkan pemerintah untuk memberi jaminan. “Dikatakan ‘boleh’. Kalau boleh, bukan keharusan. Jadi, di luar itu, bisa dilakukan,” kata Rini.
Presiden Joko Widodo berjanji segera melaksanakan polemik ini. “Semua akan disampaikan secara rinci, dari awal sampai akhir. Prosesnya dan rapat-rapatnya berapa kali. Kemudian mengenai biaya, semuanya,” kata Jokowi setelah meresmikan Masjid Fatahillah di Balai Kota, Jakarta, kemarin.” Biar semuanya terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi.”
Direktur Utama PT KCIC, Hanggoro, membenarkan bahwa perusahaannya meminta jaminan kepada pemerintah. Jaminan yang dimaksud adalah kepastian hukum apabila proyek default atau gagal. Hanggoro menambahkan bahwa sudah ada perpres yang memungkinkan untuk itu. “Kami minta dituangkan secara jelas dalam konsesi dengan Kementerian Perhubungan.”
Kamis lalu, Kementerian Perhubungan semestinya menerbitkan izin usaha penyelenggarakan prasarana perkeretaapian kepada PT KCIC. Namun izin itu gagal diterbitkan karena perjanjian antara Kementerian Perhubungan dan PT KCIC urung diteken. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menegaskan, pemerintah tak akan memberikan jaminan buat PT KCIC. “Pokoknya, tidak boleh ada duit negara berupa jaminan atau pembiayaan lainnya,” kata Jonan. (Khairul Anam/Devy Ernis/Ananda Teresia/Maya Ayu Puspitasari/Retno S.

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo 30-31 Januari 2016. Berita ini menggambarkan kurangnya koordinasi dalam penyusunan Peraturan Presiden (Perpres). Ini tantangan yang dihadapi oleh Presiden Joko Widodo. Kalau ini tidak diperhatikan, bukan mustahil masyarakat akan menganggap pemerintah mengeluarkan Perpres untuk keperluan sesaat saja. Padahal Perpres itu bukan lahir begitu saja, melainkan mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP). Peraturan Pemerintah pun lahir untuk menjalankan Undang-Undang. Dengan kata lain, posisi Perpres sangat penting dalam hirarki perundang-undangan Indonesia.  

Kecuali itu, Perpres di atas menyangkut kondisi yang sangat penting, yakni jaminan pemerintah terhadap proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Entah dengan alasan apa, Perpres yang baru, Perpres  No. 3/2016 malah memberikan jaminan itu. Padahal, semula pemerintah menerima proposal proyek itu karena tidak meminta jaminan pemerintah. Sekarang, ternyata perusahaan pemenang tender meminta jaminan pemerintah. Melalui Perpres itu, pemerintah sepertinya bersedia. Maka pemerintah terkesan plin-plan! Pada titik ini masyarakat akan bertanya, ada apa dengan pemerintah?    

Berita tersebut menyarankan agar pemerintah meninjau kembali Perpres No.3/2016. Usul yang bagus. Namun, akan lebih bagus lagi bila pemerintah meningkatkan koordinasi pembuatan Perpres. Paling tidak agar masyarakat tidak curiga dengan proses pembuatan kebijakan publik. ***

Rejodani, 31 Januari 2016.

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.