Belasan
anak di Cinangka, Bogor, mengidap cacat mental. Terkontaminasi limbah peleburan
aki bekas.
Sepanjang hari remaja yang satu ini hanya
duduk berpangku tangan. Tidak, ia tidak duduk, tapi terkulai di sebuah bangku
hijau di rumahnya di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.
Tangan Flo—panggil saja begitu,
kini 17 tahun—selalu terkepal. Ia juga susah berkomunikasi, sulit menatap mata
lawan bicaranya. Kedua bola matanya tak dapat memandang ke satu titik: biji
mata kanannya melihat ke atas, sedangkan yang kiri bertahan di sudut kiri
bawah.
“Kata dokter, anak saya kena
radang otak,” ujar Nani, ibunya, awal Februari lalu. Ketika berusia 40 hari,
menurut sang ibu, Flo mengalami demam dan kalau buang air besar berdarah.
Keluarga Flo bekerja di pabrik pembakaran aki bekas di desa tetangga, dan
terlalu berat bagi mereka mengeluarkan Rp 200 ribu untuk obat si kecil waktu
itu.
Di Desa Cinangka, ada belasan
anak yang nasibnya seperti Flo—termasuk mereka yang autis dan mengalami cacat
mental. Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel
(KPBB), menduga biang keladinya cemaran logam berat dari pembakaran aki yang
biasa dilakukan warga Cinangka. Mereka, “Tercemar melalui udara, tanah, dan air
baku yang digunakan untuk minum,” kata Safrudin.
KPBB merupakan lembaga swadaya
masyarakat di Indonesia yang berkonsentrasi pada pengurangan limbah logam
berat, seperti timbel (Pb). Penelitian yang dilakukan KPBB menunjukkan bahwa
kadar timbel di tanah Desa Cinangka mencapai 270 ribu parts per million (ppm).
Padahal standar baku yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) hanya 400 ppm.
Hamper 70 kali di atas normal. Artinya, kualitas tanah di Desa Cinangka sudah
sangat buruk. “Tak cocok ditanami tumbuhan untuk pangan,” ucap Safrudin.
“Airnya juga tidak laik konsumsi.”
Budi Haryanto, ahli kesehatan
lingkungan dari Fakultas Kesehatan MAsyarakat Universitas Indonesia,
mengingatkan kondisi itu bisa memicu anak mengalami cacat fisik sejak lahir dan
keterbelakangan mental serta membuat IQ anak “Jongkok”. Sedangkan pada orang
dewasa, paparan timbale berlebih akan mengakibatkan tremor, sesak napas, anemia,
dan gangguan fungsi saraf. “Paling parah, ya, memicu kematian,” ujar Budi.
Anak-anak yang terpapar timbel
biasanya diturunkan dari ibu. Proses tersebut terjadi saat bayi masih dalam
janin. Dalam hal ini, timbel biasanya mengendap dalam plasenta ibu, lalu
terserap ke janin. Imbasnya, janin akan lahir dengan kondisi tubuh tidak
lengkap. Kalaupun lengkap, terbuka kemungkinan si anak mengalami cacat mental.
Dua kondisi yang sama-sama tak enak bagi keluarga.
Selain melalui plasenta dari
ibunya, anak-anak bisa terpapar timbel dari udara dan air. Menurut Budi, tubuh
anak paling rentan terkontaminasi logam berat. Pendapat Budi dikuatkan oleh
kebiasaan anak-anak Cinangka yang sering yang sering mandi di sungai yang
airnya sudah tercemar timbel.
Petaka lingkungan di Cinangka
tidak terjadi dengan serta-merta. Proses panjang itu bermula pada 1978, saat
desa tersebut menjadi tempat peleburan aki bekas. Adalah Dadang, warga
setempat, yang memulai usaha peleburan aki bekas di kawasan yang berjarak lima
kilometer dari Institut Pertanian Bogor ini.
Semula Dadang membuka usahanya di
Tanah Abang, Jakarta. Namun, lantaran keterbatasan lahan, ia memindahkan
usahanya ke Cinangka. Saat ditemui, ia ogah berbicara panjang-lebar ihwal usaha
yang dirintisnya itu. Yang jelas, dia mengaku menghentikan usahanya pada 2010,
saat tangannya mulai mengidap tremor.
Menurut Titin Sukanta, istri
Kepala Desa Cinangka pada 1978, peleburan aki di desanya sangat membantu
perekonomian warga yang sebagian hanya tamat sekolah dasar. “Warga kami bisa makan
dari peleburan itu,” kata perempuan 64 tahun ini sambil menunjukkan lahan
peleburan aki bekas di depan rumahnya.
Lahan yang ditunjuk Titin bukan
miliknya. Bahkan, ia mengaku tak tahu siapa pemilik tanah itu sekarang. Dulu
tempat itu milik Dadang. Namun, yang jelas, lahan pembakaran aki bekas tersebut
hanya berjarak 30 meter dari pemukiman padat warga Cinangka.
Hingga saat ini, peleburan aki
bekas di depan rumah Titin masih beroperasi. Di tempat itulah pelat timbel
dikeluarkan dari wadah plastik aki-aki bekas. Pelat timbel tersebut kemudian
dicairkan selama 10 menit di tungku pembakaran, yang sebelumnya sudah
dipanaskan 900 derajat Celcius. “Dari sini, pencemaran dimulai,” ucap Safrudin.
Asap pembakaran timbel membuat
daun-daun pohon mangga di atasnya terlihat menguning dan mengering. Kontras
dengan pohon mangga yang terletak sekitar 50 meter dari tungku yang rimbun
menghijau. Udara terkontaminasi timbel juga membahayakan paru-paru orang yang
mengisapnya.
Setelah cair, timbel dicetak
menjadi batangan dengan berat 10 dan 25 kilogram. Batangan timbel ini laku
dijual dengan harga Rp 25 ribu per kilogram. Sisa-sisa pembakaran aki bekas
alias ampas yang terkontaminasi timbel ditumpuk sambil menunggu untuk diolah
kembali. Menurut Safrudin, di ampas tersebut masih ada timbel dengan kadar
sekitar 7 persen.
Ampas berwarna hitam pekat bak
arang itu terserak di berbagai penjuru Desa Cinangka. Salah satunya ditumpuk di
depan rumah Titin. Tinggi tumpukannya mencapai sekitar satu meter. Selain itu,
ada ampas yang dibungkus menggunakan karung bekas ukuran 50 kilogram. Ada
sekitar 60 karung berisi ampas pembakaran aku bekas yang siap diambil
timbelnya.
Jaji, salah seorang buruh di
tempat peleburan aki, menyatakan ampas yang biasa disebut slag itu bisa
dilebur kembali. Sebelum dilebur, ampas tersebut dicuci dikolam berukuran 2 x 2
meter, yang terletak 10 meter di samping tungku pembakaran. Air bekas mencuci
yang terkontaminasi timbel kemudian dibuang begitu saja, dibiarkan meresap ke
dalam tanah. Atau, jika tanah tak lagi mampu menyerap, air limbah tersebut
mengalir bebas menuju sungai yang jaraknya sekitar 15 meter dari kolam
pencucian.
Pria 37 tahun ini tahu bahwa
peleburan aki seperti tempatnya bekerja sudah dilarang oleh Kementerian
Lingkungan Hidup. Toh, larangan itu tak digubris si empunya peleburan aki.
Jaji sudah bekerja lebih dari
setahun di tempat peleburan aki bekas di Cinangka. Sebelumnya, ia bekerja di
tempat peleburan aki bekas di daerah Jasinga dan Cigudeg, Kabupaten Bogor.
Sehari-hari bergelut dengan urusan peleburan aki bekas, kini Jaji terkena
dampaknya. Tangan Jaji mengalami tremor saat mengangkat sekarung karaha—bahasa
setempat untuk ampas aki bekas.
Sejak Juni 2014, Kementerian
Lingkungan Hidup memang melarang peleburan aki bekas di Cinangka. Tujuannya jelas:
untuk mengurangi pencemaran lingkungan plus mencegah polutan timbel masuk ke
tubuh warga setempat. Namun larangan itu tak bertaji. Nilai ekonomi yang cukup
tinggi dan pasokan aki bekas yang terus masuk ke Cinangka membuat warga desa
abai menjaga kesehatan mereka sendiri.
Soal banyaknya anak Cinangka yang
mengalami cacat mental dan berkebutuhan khusus, mereka menolak disangkutpautkan
dengan peleburan aki bekas. Parjo, misalnya. Pada 1987, ia mengikuti jejak
Dadang membuka peleburan aki bekas tepat di depan rumahnya. Pabriknya berdiri
di atas lahan 700 meter, lokasinya diselubungi pagar setinggi 3 meter. Cerobong
asap setinggi 10 meter dari tungku pembakaran aki bekas meninju langit.
“Sudahlah, itu dari yang Maha
Kuasa,” ujar Parjo, yang memimiliki dua anak bekebutuhan khusus. Dia berdalih
usaha peleburan aki bekas dilakukan karena ingin memberi rezeki yang halal buat
anak-istrinya.
Selain di depan rumah Titin dan
pabrik milik Parjo, masih ada dua tempat peleburan aki bekas lain di Cinangka.
Tempatnya berjarak sekitar 500 meter dari tempat Parjo. Namun, keduanya tak
sedang melakukan peleburan saat Tempo ke lokasi.
Akhir januari lalu, Menteri
Kesehatan, Nila Djuwita F. Moeloek berjanji akan menindaklanjuti dugaan
pencemaran timbel akibat peleburan aki bekas di Cinangka. Kementerian Kesehatan
akan menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan pemerintah daerah Bogor untuk
membahas masalah ini.
Adapun bagi anak-anak yang sudah
terlanjur terkontaminasi timbel dan mengalami gangguan, Nila akan memasukkan
mereka ke program penyandang masalah kesejahteraan sosial. “Yang belum terlalu
parah akan dicoba diobati,” katanya.
*AMRI MAHBUB
Demikian berita yang disiarkan Majalah Tempo, edisi 16-22
Februari 2015. Berita yang membuat kita terguncang. Ternyata pertimbangan ekonomis
telah mengundang pencemaran timbel terhadap tanah, air, dan udara di Cinangka.
Pencemaran timbel itu, selanjutnya, menyebabkan banyak anak-anak mengalami
cacat mental. Begitu besarnya dampak negatif pencemaran tersebut, sehingga Tempo menilai sudah terjadi petaka di
sana.
Dalam kaitan ini, usaha peleburan aki bekas
menjadi penyebab semuanya. Pemerintah telah melarang usaha peleburan aki bekas
itu. Namun, kita tidak memperoleh informasi tentang instrumen yang dipakai
untuk pendukung pelarangan itu. Kita juga tidak memperoleh informasi tentang
instrumen untuk membina pengusaha peleburan aki bekas itu. Bahkan, kita tidak
memperoleh informasi tentang instrumen yang dipakai untuk pemantauan.
Akibatnya, kita sadar bahwa larangan pemerintah untuk melebur aki bekas tidak
diindahkan pengusaha peleburan aki bekas di Cinangka.
Pencemaran timbel yang peleburan aki bekas
yang mengalir ke sungai dan meresap ke tanah sudah terjadi sejak tahun 1978. Sekalipun
usaha peleburan aki bekas tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam industri,
tetap saja mereka harus menjalankan prinsip-prinsip ramah lingkungan. Dalam
konteks ini, diperlukan pembinaan terhadap para pengusaha peleburan aki bekas
itu. Sayang, pemerintah tidak terlihat melakukan pembinaan ini. Padahal tanpa
pembinaan ini ikut menentukan seberapa besar peranan pemerintah dalam membina
industri hijau di Indonesia.
Tidaklah kebetulan Tempo menyajikan berita di atas. Para wartawan Tempo sudah lama concern dengan
persoalan pencemaran, mulai dari pencemaran udara, air, hingga suara. Mereka
juga punya komitmen untuk meningkatkan kesadaran lingkungan hidup masyarakat.
Semoga Tempo tidak patah semangat dengan keadaan abainya masyarakat dengan
kerusakan lingkungan dan abainya pemerintah dengan berbagai instrumen untuk
membina, memantau dan mengawasi usaha yang mencemari lingkungan. Terima kasih
Amri Mahbub.***
Rejodani, 28 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar