usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 04 Maret 2015


 Belasan anak di Cinangka, Bogor, mengidap cacat mental. Terkontaminasi limbah peleburan aki bekas.



Sepanjang hari remaja yang satu ini hanya duduk berpangku tangan. Tidak, ia tidak duduk, tapi terkulai di sebuah bangku hijau di rumahnya di Desa Cinangka, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

Tangan Flo—panggil saja begitu, kini 17 tahun—selalu terkepal. Ia juga susah berkomunikasi, sulit menatap mata lawan bicaranya. Kedua bola matanya tak dapat memandang ke satu titik: biji mata kanannya melihat ke atas, sedangkan yang kiri bertahan di sudut kiri bawah.

“Kata dokter, anak saya kena radang otak,” ujar Nani, ibunya, awal Februari lalu. Ketika berusia 40 hari, menurut sang ibu, Flo mengalami demam dan kalau buang air besar berdarah. Keluarga Flo bekerja di pabrik pembakaran aki bekas di desa tetangga, dan terlalu berat bagi mereka mengeluarkan Rp 200 ribu untuk obat si kecil waktu itu.

Di Desa Cinangka, ada belasan anak yang nasibnya seperti Flo—termasuk mereka yang autis dan mengalami cacat mental. Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB), menduga biang keladinya cemaran logam berat dari pembakaran aki yang biasa dilakukan warga Cinangka. Mereka, “Tercemar melalui udara, tanah, dan air baku yang digunakan untuk minum,” kata Safrudin.

KPBB merupakan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang berkonsentrasi pada pengurangan limbah logam berat, seperti timbel (Pb). Penelitian yang dilakukan KPBB menunjukkan bahwa kadar timbel di tanah Desa Cinangka mencapai 270 ribu parts per million (ppm). Padahal standar baku yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) hanya 400 ppm. Hamper 70 kali di atas normal. Artinya, kualitas tanah di Desa Cinangka sudah sangat buruk. “Tak cocok ditanami tumbuhan untuk pangan,” ucap Safrudin. “Airnya juga tidak laik konsumsi.”

Budi Haryanto, ahli kesehatan lingkungan dari Fakultas Kesehatan MAsyarakat Universitas Indonesia, mengingatkan kondisi itu bisa memicu anak mengalami cacat fisik sejak lahir dan keterbelakangan mental serta membuat IQ anak “Jongkok”. Sedangkan pada orang dewasa, paparan timbale berlebih akan mengakibatkan tremor, sesak napas, anemia, dan gangguan fungsi saraf. “Paling parah, ya, memicu kematian,” ujar Budi.

Anak-anak yang terpapar timbel biasanya diturunkan dari ibu. Proses tersebut terjadi saat bayi masih dalam janin. Dalam hal ini, timbel biasanya mengendap dalam plasenta ibu, lalu terserap ke janin. Imbasnya, janin akan lahir dengan kondisi tubuh tidak lengkap. Kalaupun lengkap, terbuka kemungkinan si anak mengalami cacat mental. Dua kondisi yang sama-sama tak enak bagi keluarga.

Selain melalui plasenta dari ibunya, anak-anak bisa terpapar timbel dari udara dan air. Menurut Budi, tubuh anak paling rentan terkontaminasi logam berat. Pendapat Budi dikuatkan oleh kebiasaan anak-anak Cinangka yang sering yang sering mandi di sungai yang airnya sudah tercemar timbel.

Petaka lingkungan di Cinangka tidak terjadi dengan serta-merta. Proses panjang itu bermula pada 1978, saat desa tersebut menjadi tempat peleburan aki bekas. Adalah Dadang, warga setempat, yang memulai usaha peleburan aki bekas di kawasan yang berjarak lima kilometer dari Institut Pertanian Bogor ini.

Semula Dadang membuka usahanya di Tanah Abang, Jakarta. Namun, lantaran keterbatasan lahan, ia memindahkan usahanya ke Cinangka. Saat ditemui, ia ogah berbicara panjang-lebar ihwal usaha yang dirintisnya itu. Yang jelas, dia mengaku menghentikan usahanya pada 2010, saat tangannya mulai mengidap tremor.

Menurut Titin Sukanta, istri Kepala Desa Cinangka pada 1978, peleburan aki di desanya sangat membantu perekonomian warga yang sebagian hanya tamat sekolah dasar. “Warga kami bisa makan dari peleburan itu,” kata perempuan 64 tahun ini sambil menunjukkan lahan peleburan aki bekas di depan rumahnya.

Lahan yang ditunjuk Titin bukan miliknya. Bahkan, ia mengaku tak tahu siapa pemilik tanah itu sekarang. Dulu tempat itu milik Dadang. Namun, yang jelas, lahan pembakaran aki bekas tersebut hanya berjarak 30 meter dari pemukiman padat warga Cinangka.

Hingga saat ini, peleburan aki bekas di depan rumah Titin masih beroperasi. Di tempat itulah pelat timbel dikeluarkan dari wadah plastik aki-aki bekas. Pelat timbel tersebut kemudian dicairkan selama 10 menit di tungku pembakaran, yang sebelumnya sudah dipanaskan 900 derajat Celcius. “Dari sini, pencemaran dimulai,” ucap Safrudin.

Asap pembakaran timbel membuat daun-daun pohon mangga di atasnya terlihat menguning dan mengering. Kontras dengan pohon mangga yang terletak sekitar 50 meter dari tungku yang rimbun menghijau. Udara terkontaminasi timbel juga membahayakan paru-paru orang yang mengisapnya.

Setelah cair, timbel dicetak menjadi batangan dengan berat 10 dan 25 kilogram. Batangan timbel ini laku dijual dengan harga Rp 25 ribu per kilogram. Sisa-sisa pembakaran aki bekas alias ampas yang terkontaminasi timbel ditumpuk sambil menunggu untuk diolah kembali. Menurut Safrudin, di ampas tersebut masih ada timbel dengan kadar sekitar 7 persen.

Ampas berwarna hitam pekat bak arang itu terserak di berbagai penjuru Desa Cinangka. Salah satunya ditumpuk di depan rumah Titin. Tinggi tumpukannya mencapai sekitar satu meter. Selain itu, ada ampas yang dibungkus menggunakan karung bekas ukuran 50 kilogram. Ada sekitar 60 karung berisi ampas pembakaran aku bekas yang siap diambil timbelnya.

Jaji, salah seorang buruh di tempat peleburan aki, menyatakan ampas yang biasa disebut slag itu bisa dilebur kembali. Sebelum dilebur, ampas tersebut dicuci dikolam berukuran 2 x 2 meter, yang terletak 10 meter di samping tungku pembakaran. Air bekas mencuci yang terkontaminasi timbel kemudian dibuang begitu saja, dibiarkan meresap ke dalam tanah. Atau, jika tanah tak lagi mampu menyerap, air limbah tersebut mengalir bebas menuju sungai yang jaraknya sekitar 15 meter dari kolam pencucian.

Pria 37 tahun ini tahu bahwa peleburan aki seperti tempatnya bekerja sudah dilarang oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Toh, larangan itu tak digubris si empunya peleburan aki.

Jaji sudah bekerja lebih dari setahun di tempat peleburan aki bekas di Cinangka. Sebelumnya, ia bekerja di tempat peleburan aki bekas di daerah Jasinga dan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Sehari-hari bergelut dengan urusan peleburan aki bekas, kini Jaji terkena dampaknya. Tangan Jaji mengalami tremor saat mengangkat sekarung karaha—bahasa setempat untuk ampas aki bekas.

Sejak Juni 2014, Kementerian Lingkungan Hidup memang melarang peleburan aki bekas di Cinangka. Tujuannya jelas: untuk mengurangi pencemaran lingkungan plus mencegah polutan timbel masuk ke tubuh warga setempat. Namun larangan itu tak bertaji. Nilai ekonomi yang cukup tinggi dan pasokan aki bekas yang terus masuk ke Cinangka membuat warga desa abai menjaga kesehatan mereka sendiri.

Soal banyaknya anak Cinangka yang mengalami cacat mental dan berkebutuhan khusus, mereka menolak disangkutpautkan dengan peleburan aki bekas. Parjo, misalnya. Pada 1987, ia mengikuti jejak Dadang membuka peleburan aki bekas tepat di depan rumahnya. Pabriknya berdiri di atas lahan 700 meter, lokasinya diselubungi pagar setinggi 3 meter. Cerobong asap setinggi 10 meter dari tungku pembakaran aki bekas meninju langit.

“Sudahlah, itu dari yang Maha Kuasa,” ujar Parjo, yang memimiliki dua anak bekebutuhan khusus. Dia berdalih usaha peleburan aki bekas dilakukan karena ingin memberi rezeki yang halal buat anak-istrinya.

Selain di depan rumah Titin dan pabrik milik Parjo, masih ada dua tempat peleburan aki bekas lain di Cinangka. Tempatnya berjarak sekitar 500 meter dari tempat Parjo. Namun, keduanya tak sedang melakukan peleburan saat Tempo ke lokasi.

Akhir januari lalu, Menteri Kesehatan, Nila Djuwita F. Moeloek berjanji akan menindaklanjuti dugaan pencemaran timbel akibat peleburan aki bekas di Cinangka. Kementerian Kesehatan akan menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan pemerintah daerah Bogor untuk membahas masalah ini.

Adapun bagi anak-anak yang sudah terlanjur terkontaminasi timbel dan mengalami gangguan, Nila akan memasukkan mereka ke program penyandang masalah kesejahteraan sosial. “Yang belum terlalu parah akan dicoba diobati,” katanya.

*AMRI MAHBUB

Demikian berita yang disiarkan Majalah Tempo, edisi 16-22 Februari 2015. Berita yang membuat kita terguncang. Ternyata pertimbangan ekonomis telah mengundang pencemaran timbel terhadap tanah, air, dan udara di Cinangka. Pencemaran timbel itu, selanjutnya, menyebabkan banyak anak-anak mengalami cacat mental. Begitu besarnya dampak negatif pencemaran tersebut, sehingga Tempo menilai sudah terjadi petaka di sana. 

Dalam kaitan ini, usaha peleburan aki bekas menjadi penyebab semuanya. Pemerintah telah melarang usaha peleburan aki bekas itu. Namun, kita tidak memperoleh informasi tentang instrumen yang dipakai untuk pendukung pelarangan itu. Kita juga tidak memperoleh informasi tentang instrumen untuk membina pengusaha peleburan aki bekas itu. Bahkan, kita tidak memperoleh informasi tentang instrumen yang dipakai untuk pemantauan. Akibatnya, kita sadar bahwa larangan pemerintah untuk melebur aki bekas tidak diindahkan pengusaha peleburan aki bekas di Cinangka.

Pencemaran timbel yang peleburan aki bekas yang mengalir ke sungai dan meresap ke tanah sudah terjadi sejak tahun 1978. Sekalipun usaha peleburan aki bekas tersebut tidak bisa digolongkan ke dalam industri, tetap saja mereka harus menjalankan prinsip-prinsip ramah lingkungan. Dalam konteks ini, diperlukan pembinaan terhadap para pengusaha peleburan aki bekas itu. Sayang, pemerintah tidak terlihat melakukan pembinaan ini. Padahal tanpa pembinaan ini ikut menentukan seberapa besar peranan pemerintah dalam membina industri hijau di Indonesia.

   Tidaklah kebetulan Tempo menyajikan berita di atas. Para wartawan Tempo sudah lama concern dengan persoalan pencemaran, mulai dari pencemaran udara, air, hingga suara. Mereka juga punya komitmen untuk meningkatkan kesadaran lingkungan hidup masyarakat. Semoga Tempo tidak patah semangat dengan keadaan abainya masyarakat dengan kerusakan lingkungan dan abainya pemerintah dengan berbagai instrumen untuk membina, memantau dan mengawasi usaha yang mencemari lingkungan. Terima kasih Amri Mahbub.***

Rejodani, 28 Februari 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.