Setiap media pers punya empat
posisi, yakni sebagai media komunikasi, lembaga sosial, produk informasi, dan
lembaga ekonomi (Abrar, 2011:8). Setiap posisi akan menentukan aktivitas,
fungsi, tujuan, kewajiban, dan muatan isi media pers bersangkutan. Dalam
posisinya sebagai lembaga sosial, salah satu fungsi media pers adalah memimpin
opini publik. Fungsi memimpin opini publik ini dilakukan media pers melalui
berita yang disiarkannya.
Secara praktis, setiap media pers memiliki cara untuk
mengemas berita yang akan disiarkannya. Cara mengemas berita inilah yang
kemudian dikenal sebagai kemasan jurnalisme. Kemasan jurnalisme ini akan
menentukan apakah berita yang dihasilkannya akan mempengaruhi khalayak atau
tidak.
Kemasan jurnalisme, secara
konseptual, kata Sam Abede Pareno (2005:142), dibentuk oleh: (i) bagaimana
berita itu disajikan, dan (ii) siapa yang menjadi narasumber beritanya. Dari
sini, muncul pikiran bahwa setiap media pers akan mengoptimalkan cara terbaik
dalam menyajikan berita dan menjadikan intelektual atau praktisi yang berkompeten
sebagai narasumber berita.
Cara penyajian berita, kata
Toety Azis (1992:36), memang perlu dipertimbangkan mengingat pembaca media
pers: (i) tidak punya waktu yang relatif sedikit untuk membaca berita, dan (ii)
bisa menangkap pesan yang disampaikan berita secara cepat. Sampai di sini,
muncul persoalan, apa ukuran yang bisa dipakai untuk menentukan apakah cara
penyajian berita sudah menghasilkan pesan yang mudah ditangkap?
Jawabannya berkaitan dengan
teknis jurnalisme, yakni menyangkut judul dan framing. Soal judul, menurut teknis jurnalisme, ia harus memenuhi
beberapa syarat, antara lain: (i)
merupakan intisari berita, (ii) memuat informasi penting, (iii) panjang judul
maksimal 11 kata, (iv) judul tidak dimulai dengan angka, dan (v) judul tidak
bersifat bombastis, tetapi tetap menarik. Sedangkan soal framing, sesungguhnya terdapat empat teknik framing, yakni, (i) defining
problem, (ii) diagnosing causes, (iii) making moral judgement, dan (iv) suggesting remedies (Abrar, 2005:36).
Pemakaian teknik framing ini tidak
bisa dilakukan begitu saja. Namun, kata Ashadi Siregar (2002:xxx), harus
berkonteks pada kepentingan publik atau nilai (value) dan cita-cita sosial yang dipandang luhur. Dengan begitu,
sebenarnya kita bisa mengidentifikasi apa framing
sebuah berita dan apa pula teknik framing
yang dipakai.
Menyangkut narasumber berita,
media pers perlu berhati-hati memilihnya. Soalnya, banyak narasumber yang tidak
netral alias berpihak kepada kelompok atau golongan tertentu. Tidak jarang,
bahkan, narasumber tersebut menjadi corong perusahaan atau partai politik.
Wajar bila beberapa ahli menggunakan metafor: jangan hanya mendengar lagunya, tapi lihat juga siapa penyanyinya.
Nah, dari usaha melihat
“penyanyi” inilah kita bisa membayangkan siapa sesungguhnya narasumber itu.
Secara umum, narasumber itu bisa digolongkan menjadi: (i) intelektual, (ii)
praktisi, dan (iii) masyarakat awam. Dengan mengidentifikasi narasumber ini
kita bisa melihat siapa sesungguhnya dia dan keberpihakannya dalam menyampaikan
informasi.***
Rejodani,
15 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar