Pemerintah mengajukan revisi UU Penyiaran.
Devy Ernis
Jakarta—Menteri
Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan belum memutuskan akan
mengajukan permohonan banding atau tidak atas pembatalan Peraturan Menteri
tentang Penyelenggaraan Televisi Digital oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
“Saya belum menerima salinan putusan,” ujar Rudi kemarin.
Rudi
menilai putusan PTUN akan berimbas pada multiplexing yang sudah
berinvestasi. Namun ia mengaku belum tahu siapa saja dan berapa banyak
kerugiannya.
Selain
memikirkan upaya banding, menurut Rudi, langkah lain yang akan diambil
pemerintah adalah mengajukan revisi Undang-Undang Penyiaran ke DPR RI agar
digitalisasi televisi dapat berjalan. Revisi Undang-Undang itu akan mengatur
digitalisasi TV sehingga dasar hukumnya kuat. “Sudah termasuk prolegnas
(program legislasi nasional) tahun ini,” kata dia.
Pemerintah
menargetkan digitalisasi televisi pada 2018. Saat itu, seluruh televisi analog
harus sudah switch off dan pindah ke digital. Rudi menilai langkah
tersebut dilakukan guna mengatur frekuensi yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan
komunikasi yang lancar, terutama bagi pengguna smartphone.
Staf
ahli bidang komunikasi dan media massa Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Henry Subiakto, mengatakan putusan PTUN membuat program digitalisasi televisi
terancam molor. Ia berharap DPR segera membahas RUU Penyiaran. “Semoga pembahasan
tidak alot sehingga RUU ini bisa cepat disahkan,” ujar dia.
Menurut
dia, masyarakat sangat bergantung pada kebutuhan bandwidth atau
frekuensi untuk dapat berkomunikasi melalui smartphone. Namun, kata dia,
menurut penelitian Kementerian, tahun ini hingga 2020 Indonesia defisit
frekuensi sebanyak 500 MHz.
Defisit
itu terjadi karena pertumbuhan pengguna dan aplikasi smartphone yang
melinjak tinggi, hingga 60 persen. “Semua orang butuh frekuensi sehingga ini
harus ditata ulang. Kalau tidak ditata, yang akan terjadi smartphone kita
akan sangat lemot,” kata dia. Sementara kalau migrasi ini berhasil dan TV
analog off maka bisa dikelola frekuensi tambahan 800 MHz, yang cukup
untuk kebutuhan broadband hingga 2025.
Pekan
lalu, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara mengabulkan gugatan Asosiasi
Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Televisi Digital.
Asosiasi meminta pembatalan peraturan yang menyebutkan TV analog harus
bermigrasi ke TV digital melalui system multiplexing dengan membayar
sewa.
“Ini
mengebiri hal Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dalam menggunakan frekuensi dan menyiarkan
konten,” ujar kuasa hukum ATVJI, Andi Simangunsong, kepada Tempo kemarin.
Menurut dia, dasar hukum aturan digitalisasi tersebut lemah karena hanya diatur
dalam peraturan menteri. “Perubahan ke digital itu, menurut Mahkamah Agung,
harus diatur Undang-Undang.”
Sebelumnya,
Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu II, Tifatul
Sembiring, mengeluarkan Peraturan Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak
Berbayar (free to air). Tifatul dengan peraturan itu menunjuk 33
perusahaan sebagai pemenang lembaga multiplexing di Indonesia.
Namun,
pada 3 April 2013, Mahkamah Agung membatalkan peraturan menteri tersebut
melalui Keputusan Nomor 38 P/HUM/2012 dan Keputusan Nomor 40 P/HUM/2012. MA
menilai peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika bertentangan dengan
Undang-Undang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 50/2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta.
Meski
telah dibatalkan Mahkamah, pemerintah tetap berkeras menjalankan peraturan
tersebut. Tindakan ini membuat ATVJI dan ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal
Indonesia) mengajukan gugatan lagi ke PTUN untuk membatalkan keputusan
tersebut.
Menurut
Andi, amar putusan PTUN menyatakan pembatalan dan penundaan terhadap seluruh
izin penyiaran digital. “Sampai dengan inkracht aturan digital ini tidak
bisa dijalankan,” kata Andi. Televisi yang tetap melakukan siaran digital
terancam dipidanakan.
Aturan
tersebut, kata Andi, merugikan LPS yang telah berinvestasi miliran rupiah untuk
siaran dengan frekuensi sendiri. Jika aturan digitalisasi diberlakukan, semua
LPS akan merugi besar. “Belum ditambah lagi sistem swasta multiplexing,” kata
dia.
Dalam
sistem multiplexing satu provider hanya boleh diisi 9-12 kanal
TV, sehingga, kata Andi, kesempatan untuk mendapatkan siaran terbilang kecil
karena harus bersaing dengan banyak TV analog. Kalau gagal, mereka hanya jadi
penyedia konten.
Demikian
berita yang disiarkan olehKoran Tempo, Selasa
10 Maret 2015. Tentu saja berita itu membuat kita kaget. Soalnya, pertama, masyarakat belum bisa menikmati
siaran televisi digital dalam waktu dekat ini. Kedua, televisi swasta yang telah berinvestasi untuk siaran digital
akan mengalami kerugian yang besar. Ketiga,
pemerintah baru sekarang memikirkan revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran. Yang
terakhir ini, perlu mendapat perhatian. Sebab, UU penyiaran yang berlaku
sekarang adalah UU No. 32 Tahun 2002.
Sebagai sebuah UU, UU No. 32 Tahun 2002
sudah berumur hampir 13 tahun. Dalam kurun waktu itu, sudah banyak terjadi
kemajuan di bidang teknologi penyiaran, jurnalisme penyiaran, lembaga penyiaran,
dan khalayak yang menikmati media penyiaran. Akibatnya, UU itu sudah tidak
responsif dan berdaya guna lagi. Sangat wajar bila UU itu harus direvisi.
Bila mengikuti kebiasaan masa laku UU di
negara maju, UU No. 32 Tahun 2002 itu sudah lama direvisi. Soalnya, di sana
usia UU rata-rata lima tahun. Sudah begitu, UU bisa merespons apa yang akan
terjadi di masa depan yang dekat. Bertolak dari sini, idealnya UU No. 32 Tahun
2002 sudah direvisi tahun 2007. Keinginan merevisi yang sekarang ini sudah
terlambat delapan tahun.
Persoalannya lantas, mengapa Kemenkominfo
terkesan lambat merevisi UU Penyiaran? Berita di atas tidak menjawabnya.
Mungkin berita yang lain yang akan menjawabnya. Yang jelas kita sudah
memperoleh gambaran selintas tentang televisi digital dan UU penyiaran di
Indonesia.***
Rejodani, 15 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar