usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 15 Maret 2015

Pemerintah mengajukan revisi UU Penyiaran.

Devy Ernis

Jakarta—Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan belum memutuskan akan mengajukan permohonan banding atau tidak atas pembatalan Peraturan Menteri tentang Penyelenggaraan Televisi Digital oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. “Saya belum menerima salinan putusan,” ujar Rudi kemarin.
Rudi menilai putusan PTUN akan berimbas pada multiplexing yang sudah berinvestasi. Namun ia mengaku belum tahu siapa saja dan berapa banyak kerugiannya.
Selain memikirkan upaya banding, menurut Rudi, langkah lain yang akan diambil pemerintah adalah mengajukan revisi Undang-Undang Penyiaran ke DPR RI agar digitalisasi televisi dapat berjalan. Revisi Undang-Undang itu akan mengatur digitalisasi TV sehingga dasar hukumnya kuat. “Sudah termasuk prolegnas (program legislasi nasional) tahun ini,” kata dia.
Pemerintah menargetkan digitalisasi televisi pada 2018. Saat itu, seluruh televisi analog harus sudah switch off dan pindah ke digital. Rudi menilai langkah tersebut dilakukan guna mengatur frekuensi yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan komunikasi yang lancar, terutama bagi pengguna smartphone.
Staf ahli bidang komunikasi dan media massa Kementerian Komunikasi dan Informatika, Henry Subiakto, mengatakan putusan PTUN membuat program digitalisasi televisi terancam molor. Ia berharap DPR segera membahas RUU Penyiaran. “Semoga pembahasan tidak alot sehingga RUU ini bisa cepat disahkan,” ujar dia.
Menurut dia, masyarakat sangat bergantung pada kebutuhan bandwidth atau frekuensi untuk dapat berkomunikasi melalui smartphone. Namun, kata dia, menurut penelitian Kementerian, tahun ini hingga 2020 Indonesia defisit frekuensi sebanyak 500 MHz.
Defisit itu terjadi karena pertumbuhan pengguna dan aplikasi smartphone yang melinjak tinggi, hingga 60 persen. “Semua orang butuh frekuensi sehingga ini harus ditata ulang. Kalau tidak ditata, yang akan terjadi smartphone kita akan sangat lemot,” kata dia. Sementara kalau migrasi ini berhasil dan TV analog off maka bisa dikelola frekuensi tambahan 800 MHz, yang cukup untuk kebutuhan broadband hingga 2025.
Pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara mengabulkan gugatan Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) terhadap Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Televisi Digital. Asosiasi meminta pembatalan peraturan yang menyebutkan TV analog harus bermigrasi ke TV digital melalui system multiplexing dengan membayar sewa.
“Ini mengebiri hal Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) dalam menggunakan frekuensi dan menyiarkan konten,” ujar kuasa hukum ATVJI, Andi Simangunsong, kepada Tempo kemarin. Menurut dia, dasar hukum aturan digitalisasi tersebut lemah karena hanya diatur dalam peraturan menteri. “Perubahan ke digital itu, menurut Mahkamah Agung, harus diatur Undang-Undang.”
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu II, Tifatul Sembiring, mengeluarkan Peraturan Nomor 22/PER/M.KOMINFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar (free to air). Tifatul dengan peraturan itu menunjuk 33 perusahaan sebagai pemenang lembaga multiplexing di Indonesia.
Namun, pada 3 April 2013, Mahkamah Agung membatalkan peraturan menteri tersebut melalui Keputusan Nomor 38 P/HUM/2012 dan Keputusan Nomor 40 P/HUM/2012. MA menilai peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika bertentangan dengan Undang-Undang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta.
Meski telah dibatalkan Mahkamah, pemerintah tetap berkeras menjalankan peraturan tersebut. Tindakan ini membuat ATVJI dan ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) mengajukan gugatan lagi ke PTUN untuk membatalkan keputusan tersebut.
Menurut Andi, amar putusan PTUN menyatakan pembatalan dan penundaan terhadap seluruh izin penyiaran digital. “Sampai dengan inkracht aturan digital ini tidak bisa dijalankan,” kata Andi. Televisi yang tetap melakukan siaran digital terancam dipidanakan.
Aturan tersebut, kata Andi, merugikan LPS yang telah berinvestasi miliran rupiah untuk siaran dengan frekuensi sendiri. Jika aturan digitalisasi diberlakukan, semua LPS akan merugi besar. “Belum ditambah lagi sistem swasta multiplexing,” kata dia.
Dalam sistem multiplexing satu provider hanya boleh diisi 9-12 kanal TV, sehingga, kata Andi, kesempatan untuk mendapatkan siaran terbilang kecil karena harus bersaing dengan banyak TV analog. Kalau gagal, mereka hanya jadi penyedia konten.

Demikian berita yang disiarkan olehKoran Tempo, Selasa 10 Maret 2015. Tentu saja berita itu membuat kita kaget. Soalnya, pertama, masyarakat belum bisa menikmati siaran televisi digital dalam waktu dekat ini. Kedua, televisi swasta yang telah berinvestasi untuk siaran digital akan mengalami kerugian yang besar. Ketiga, pemerintah baru sekarang memikirkan revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran. Yang terakhir ini, perlu mendapat perhatian. Sebab, UU penyiaran yang berlaku sekarang adalah UU No. 32 Tahun 2002.
Sebagai sebuah UU, UU No. 32 Tahun 2002 sudah berumur hampir 13 tahun. Dalam kurun waktu itu, sudah banyak terjadi kemajuan di bidang teknologi penyiaran, jurnalisme penyiaran, lembaga penyiaran, dan khalayak yang menikmati media penyiaran. Akibatnya, UU itu sudah tidak responsif dan berdaya guna lagi. Sangat wajar bila UU itu harus direvisi.
Bila mengikuti kebiasaan masa laku UU di negara maju, UU No. 32 Tahun 2002 itu sudah lama direvisi. Soalnya, di sana usia UU rata-rata lima tahun. Sudah begitu, UU bisa merespons apa yang akan terjadi di masa depan yang dekat. Bertolak dari sini, idealnya UU No. 32 Tahun 2002 sudah direvisi tahun 2007. Keinginan merevisi yang sekarang ini sudah terlambat delapan tahun.
Persoalannya lantas, mengapa Kemenkominfo terkesan lambat merevisi UU Penyiaran? Berita di atas tidak menjawabnya. Mungkin berita yang lain yang akan menjawabnya. Yang jelas kita sudah memperoleh gambaran selintas tentang televisi digital dan UU penyiaran di Indonesia.***
Rejodani, 15 Maret 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.