Pembeli minta eksportir menurunkan harga
Ali Nur Yasin
YOGYAKARTA—Penguatan nilai tukar dolar
Amerika Serikat atas mata uang asing lainnya berimbas terhadap kinerja ekspor
beberapa industri. Salah satunya adalah
perusahaan kayu olahan. Sejak dolar perkasa, para importir kayu olahan memilih
menunda pengapalan dan meminta diskon harga.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha
Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia Sawmil Aryadi, importir asal Cina
meminta penurunan harga. Alasannya, perekonomian negara itu sedang lesu dan
nilai tukar dolar terus menguat. “Harga dolar yang tinggi membuat Cina meminta
penurunan harga,” ujarnya kepada Tempo kemarin.
Cina, kata dia, meminta harga
kayu lapis asal Indonesia sebesar US$ 275 per meter kubik. Harga ini turun dibanding
dua bulan lalu sekitar US$ 300.
Permintaan agar eksportir
menurunkan harga ditolak oleh pengusaha. Akibatnya, 100 kontainer berisi kayu
olahan siap kirim batal dikapalkan ke Cina. “Kami masih negosiasi dengan Cina
untuk memberikan harga yang pantas,” kata pemilik pabrik kayu olahan Mekar
Abadi, Wonosobo, itu.
Hasil kayu olahan asal Indonesia
kemudian dijual kembali ke pasar dunia oleh pengusaha Cina. Lembaran kayu
sengon itu digunakan untuk bahan lantai, pagar, dinding, dan aksesori dapur.
Aryadi selama ini mengekspor produknya dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang,
ke Pelabuhan Shanghai, Cina. Dia mengaku setiap bulan omset usahanya mencapai
Rp 85 miliar.
Saat ini, ada sekitar 8.500 pekerja
dari penduduk di sekitar pabrik yang terlibat di tiga pabrik yang terlibat di
tiga pabrik Arayadi di Desa Sapuran dan Sedayu di Kecamatan Sapuran dan di Desa
Sigug, Kecamatan Kalikajar, Wonosobo. Pabrik di Desa Sapuran memiliki luas lima
setengah hektare, Sedayu 9,6 hektare, dan Sigug 6 hektare. Pabrik ini
memproduksi olahan kayu berupa plywood, blockboard, dan barcode.
Adapun Sekretaris Asosiasi Mebel
dan Kerajinan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Heru Prasetyo, mengatakan
lonjakan nilai tukar dolar menguntungkan pengusaha mebel di Yogyakarta. Hampir
80 persen bahan baku yang digunakan oleh pengusaha furnitur berasal dari
Indonesia. Dengan begitu, mereka tidak terbebani oleh ongkos produksi yang
tinggi seperti para importir asal Indonesia.
Pengusaha furnitur saat ini kebanjiran
pesanan dari sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Spanyol. Sekitar
7.000 pembeli dari 50 negara datang pada acara International Furniture Expo di Jakarta pada 12-15 Maret tahun ini.
“Pasar Eropa dan Amerika Serikat bagus,” kata Heru.
Heru yang juga pengusaha furnitur
saat ini mampu mengirim satu kontainer furnitur ke Spanyol. Satu kontainer furnitur berupa kursi itu bernilai
Rp 307 juta. Dia berharap semakin banyak pengusaha Indonesia yang memanfaatkan
bahan baku lokal supaya bias bertahan ketika rupiah melemah seperti saat ini.
*Shinta Maharani
Demikian berita
yang disiarkan Koran Tempo, Selasa 24 Maret 2015. Berita ini menunjukkan bahwa
kenaikan dolar AS tidak selalu menguntungkan eksportir kayu olahan. Beberapa
importir kayu olahan Indonesia di Cina menunda pengapalan kayu olahan dan
meminta penurunan harga. Karena pengusaha Indonesia tidak bersedia mengabulkan
permintaan importir Cina tersebut, barangnya tidak jadi dikapalkan ke Cina.
Perusahaan pun harus menunda penjualan. Padahal mereka sudah mengeluarkan biaya
produksi yang tidak sedikit.
Kejadian ini berlawanan dengan apa sering yang
didengung-dengungkan pemerintah bahwa sebagian eksportir dari Indonesia akan
memperoleh keuntungan yang banyak dengan kenaikan dolar AS. Kalau barang yang
diekspor ke luar negeri itu mengandung bahan baku yang diimpor dari luar
negeri, keuntungan yang didengung-dengungkan pemerintah itu tidak pernah
terwujud. Tidak jarang mereka malah mengalami kerugian.
Bial dihitung dengan neraca rugi-laba, agaknya
kenaikan dolar AS selalu mengandung kerugian bagi sebagian masyarakat. Itulah
sebabnya pemerintah dihimbau untuk menjaga ekonomi makro Indonesia agar dolar
AS tidak naik. Kenaikan dolar AS hanya akan menunjukkan kelemahan Indonesia
mengatur ekonomi makronya. Terima kasih Ali Nur Yasin dan Shinta Maharani yang
telah membuka kesadaran masyarakat tentang konsekuensi kenaikan dolar AS.***
Rejodani, 29 Maret 2015
0 komentar:
Posting Komentar