usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 29 Maret 2015


Pembeli minta eksportir menurunkan harga
Ali Nur Yasin


YOGYAKARTA—Penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat atas mata uang asing lainnya berimbas terhadap kinerja ekspor beberapa industri.  Salah satunya adalah perusahaan kayu olahan. Sejak dolar perkasa, para importir kayu olahan memilih menunda pengapalan dan meminta diskon harga.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia Sawmil Aryadi, importir asal Cina meminta penurunan harga. Alasannya, perekonomian negara itu sedang lesu dan nilai tukar dolar terus menguat. “Harga dolar yang tinggi membuat Cina meminta penurunan harga,” ujarnya kepada Tempo kemarin.
Cina, kata dia, meminta harga kayu lapis asal Indonesia sebesar US$ 275 per meter kubik. Harga ini turun dibanding dua bulan lalu sekitar US$ 300.
Permintaan agar eksportir menurunkan harga ditolak oleh pengusaha. Akibatnya, 100 kontainer berisi kayu olahan siap kirim batal dikapalkan ke Cina. “Kami masih negosiasi dengan Cina untuk memberikan harga yang pantas,” kata pemilik pabrik kayu olahan Mekar Abadi, Wonosobo, itu.
Hasil kayu olahan asal Indonesia kemudian dijual kembali ke pasar dunia oleh pengusaha Cina. Lembaran kayu sengon itu digunakan untuk bahan lantai, pagar, dinding, dan aksesori dapur. Aryadi selama ini mengekspor produknya dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, ke Pelabuhan Shanghai, Cina. Dia mengaku setiap bulan omset usahanya mencapai Rp 85 miliar.
Saat ini, ada sekitar 8.500 pekerja dari penduduk di sekitar pabrik yang terlibat di tiga pabrik yang terlibat di tiga pabrik Arayadi di Desa Sapuran dan Sedayu di Kecamatan Sapuran dan di Desa Sigug, Kecamatan Kalikajar, Wonosobo. Pabrik di Desa Sapuran memiliki luas lima setengah hektare, Sedayu 9,6 hektare, dan Sigug 6 hektare. Pabrik ini memproduksi olahan kayu berupa plywood, blockboard, dan barcode.
Adapun Sekretaris Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Heru Prasetyo, mengatakan lonjakan nilai tukar dolar menguntungkan pengusaha mebel di Yogyakarta. Hampir 80 persen bahan baku yang digunakan oleh pengusaha furnitur berasal dari Indonesia. Dengan begitu, mereka tidak terbebani oleh ongkos produksi yang tinggi seperti para importir asal Indonesia.
Pengusaha furnitur saat ini kebanjiran pesanan dari sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Spanyol. Sekitar 7.000 pembeli dari 50 negara datang pada acara International Furniture Expo di Jakarta pada 12-15 Maret tahun ini. “Pasar Eropa dan Amerika Serikat bagus,” kata Heru.
Heru yang juga pengusaha furnitur saat ini mampu mengirim satu kontainer furnitur ke Spanyol. Satu kontainer furnitur berupa kursi itu bernilai Rp 307 juta. Dia berharap semakin banyak pengusaha Indonesia yang memanfaatkan bahan baku lokal supaya bias bertahan ketika rupiah melemah seperti saat ini.
*Shinta Maharani
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, Selasa 24 Maret 2015. Berita ini menunjukkan bahwa kenaikan dolar AS tidak selalu menguntungkan eksportir kayu olahan. Beberapa importir kayu olahan Indonesia di Cina menunda pengapalan kayu olahan dan meminta penurunan harga. Karena pengusaha Indonesia tidak bersedia mengabulkan permintaan importir Cina tersebut, barangnya tidak jadi dikapalkan ke Cina. Perusahaan pun harus menunda penjualan. Padahal mereka sudah mengeluarkan biaya produksi yang tidak sedikit.
Kejadian ini berlawanan dengan apa sering yang didengung-dengungkan pemerintah bahwa sebagian eksportir dari Indonesia akan memperoleh keuntungan yang banyak dengan kenaikan dolar AS. Kalau barang yang diekspor ke luar negeri itu mengandung bahan baku yang diimpor dari luar negeri, keuntungan yang didengung-dengungkan pemerintah itu tidak pernah terwujud. Tidak jarang mereka malah mengalami kerugian.
Bial dihitung dengan neraca rugi-laba, agaknya kenaikan dolar AS selalu mengandung kerugian bagi sebagian masyarakat. Itulah sebabnya pemerintah dihimbau untuk menjaga ekonomi makro Indonesia agar dolar AS tidak naik. Kenaikan dolar AS hanya akan menunjukkan kelemahan Indonesia mengatur ekonomi makronya. Terima kasih Ali Nur Yasin dan Shinta Maharani yang telah membuka kesadaran masyarakat tentang konsekuensi kenaikan dolar AS.***
Rejodani, 29 Maret 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.