usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 29 Maret 2015

Menurut laporan Tempo, 15-21 Desember 2014, dalam berita “Medan Kurusetra di Jagat Maya”, ternyata kubu Jokowi juga memanfaatkan dunia cyber untuk melawan pasukan cyber kubu lawan. Mereka bersenjatakan ribuan akun media sosial. Selanjutnya berita itu menyebutkan:


Setiap hari ada 150 relawan yang bekerja dalam tiga giliran: pertama mulai pukul 07.00 hingga 14.00 siang; lalu digantikan shift kedua, yang bertugas sampai pukul 22.00; dan shift berikutnya sampai pukul 07.00. Setiap giliran terbagi dalam tiga kelompok; ofensif, defensif dan suportif.

Ketegangan selalu muncul selepas subuh. Dede kerap sampai berteriak-teriak memacu agar relawan lebih bersemangat membalas serangan kubu lawan sekaligus mendongkrak lalu lintas percakapan positif tentang Jokowi. Maklum, pasukan cyber salah satu partai pendukung Prabowo Subianto ada yang gencar melakukan serangan pada pagi hari selepas subuh hingga pukul 09.00. Ini adalah waktu emas di jagat maya, selain pada jam makan siang dan selepas isya. “Serangan berbau SARA sangat massif pada jam ini,” ujarnya.

Di antara tim yang ia pimpin, setidaknya ada 15 orang yang secara khusus bertugas melayani tweet war. Mereka tergabung dalam kelompok ofensif. (hal. 75).


Kutipan ini menunjukkan bahwa pasukan cyber Jokowi sangat serius melakukan perang cyber. Mereka juga menggunakan twitter. Paling tidak terdapat 15 orang yang menggunakan twitter untuk melayani perang cyber dengan kubu lawan. Mereka menyebut diri mereka sedang menghadap perang twit (tweet war).
Perang twit ini tidak hanya pada Pemilu 2014. Ia juga terjadi pada kejadian berikutnya, salah satunya pada pro-kontra RUU Pilkada 2014. Dalam perang ini, yang terlibat tentu saja yang pro Pilkada Langsung dan yang kontra Pilkada tidak langsung. Salah seorang yang terlibat dalam perang ini adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang pada saat itu masih menjadi Presiden RI.
Penjelasan ini memperlihatkan bahwa dunia cyber  sudah menjadi tempat peristiwa dan ide penting politik. Ia bisa menjadikan tempat berlangsungnya realitas politik. Ia pun pantas menjadi obyek liputan berita untuk media pers.
Persoalan yang kemudian muncul adalah, bagaimana meliput dunia cyber? Cara peliputannya tentu saja tidak sama dengan meliput realitas politik di dunia riil. Sebab, dunia riil berbeda dengan dunia cyber. Lepas dari perbedaan itu, dunia riil dan dunia cyber sama-sama memiliki ruang publik. Ruang publik, kata Afan Gaffar, merupakan komponen keempat dari civil society. Dia selanjutnya menulis dalam tulisannya yang berjudul Civil Society dan Prospeknya di Indonesia sebagai berikut: 
….ruang publik haruslah terbuka bagi semua lapisan masyarakat, tidak dijalankan dengan cara yang bersifat rahasia, eksklusif, dan setting yang bersifat korporatif. Artinya, masyarakt dapat mengetahui apa saja yang terjadi di sekitar lingkungan kehidupannya, bahkan ikut terlibat di dalamnya. Diskusi yang bersifat terbuka yang menyangkut masalah publik adalah merupakan suatu keharusan, sehingga kebijaksanaan publik tidak hanya melibatkan sekelompok kecil orang. (hal. 33).

Kutipan ini menunjukkan bahwa ruang publik menjamin kebebasan warga negara untuk berbicara dan berpendapat tentang persoalan publik, termasuk kegelisahan-kegelisahan politik para warga negara. Dengan begitu, ruang publik merupakan wadah tempat warga negara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Lalu apa hubungan ruang publik dengan jurnalisme?
Jurnalisme harus menghormati ruang publik itu. Ia juga harus memeliharanya. Kalau ternyata ruang publik itu sudah tidak ada, jurnalisme harus membentuknya kembali. Dengan begitu, jurnalisme sudah berperan dalam proses berdemokrasi. 
Sampai di sini tentu muncul pertanyaan, apa yang bisa kita simpulkan dari penjelasan singkat di atas? Agaknya kita boleh menarik kesimpulan bahwa jurnalisme harus menyempurnakan eksistensinya dalam menghasilkan berita yang berasal dari dunia cyber. Untuk itu, perlu dilakukan pelatihan jurnalisme. Pelatihan ini tidak hanya menyangkut bagaimana men-sharing realitas di cyber kepada khalayak, melainkan terutama tentang bagaimana memelihara dan mempertahankan ruang publik. Bagaimanapun ruang publik itu harus selalu bebas dan terbuka.***
Rejodani, 29 Maret 2015




0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.