usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Kamis, 16 April 2015


Dewan Kehormatan bakal memanggil kedua pelaku

Anton William

Jakarta—Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon tak bisa menoleransi kejadian adu jotos dua anggota Komisi Energi DPR, Mulyadi dan Mustofa Assegaf. Dia menganggap kelakuan dua wakil rakyat itu tidak sesuai dengan sikap yang sepantasnya ditunjukkan anggota Dewan.
“Apa pun kronologi kejadiannya, saya kira itu tidak bisa ditolerir,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Fadli mengatakan kekerasan fisik yang dilakukan koleganya di parlemen bukan hal yang patut ditiru. Menurut dia, anggota Dewan diperbolehkan beradu argumen tapi tidak boleh adu fisik. Menurut dia, Mulyadi dan Mustofa harus segera dibawa ke Mahkamah Kehormatan Dewan. Pemberian sanksi, ujarnya, diputuskan melalui rapat Mahkamah.
Peneliti pada Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia Benny Wijayanto mengatakan aksi adu jotos dua anggota Komisi Energi itu menambah daftar catatan buruk perilaku Parlemen di mata rakyat. “Aksi itu bertolak belakang dengan sikap kehormatan yang melekat pada seorang anggota Dewan,” katanya.
Pemukulan dipicu adu mulut di ruang rapat Komisi Energi. Mustofa menegur Mulyadi yang terlalu lama melontarkan pertanyaan kepada Menteri Energi Sudirman Said. Tak terima pembicaraan dipotong, Mulyadi protes dengan suara tinggi sambil menunjuk-nunjuk pimpinan. Rapat sempat dilanjutkan setelah cekcok itu. Tapi keduanya kembali bertemu di toilet ruang rapat komisi sampai terjadi insiden pemukulan.
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Sufmi Dasko Ahmad mengatakan rapat pimpinan Mahkamah yang membahas insiden perkelahian ini akan segera digelar. Mahkamah juga akan memanggil kedua belah pihak serta saksi-saksi. “Untuk memeriksa apakah ada pelenggaran etik,” katanya saat dihubungi.
Mulyadi menyebut insiden ini sebagai penganiayaan. Kemarin, politikus Demokrat itu melaporkan Mustofa ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. “Saya langsung divisum polisi,” kata Mulyadi. Ia enggan menarik laporan meski menerima permohonan maaf dari Ketua Fraksi PPP dan sejumlah kerabat Mustofa.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan laporan kasus penganiayaan ini diterima pada Rabu malam. Akibat pemukulan itu, korban mendapat luka di wajahnya. “Luka gores di pipi dan sobek pelipis kiri,” katanya. Dia belum memastikan jadwal pemeriksaan Mustofa dan Mulyadi.
Mustofa yang berasal dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, tidak bisa dimintai penjelasan soal insiden ini. Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar mengatakan akan mengeluarkan Mustofa dari Komisi Energi. Keputusan itu dia ambil setelah mendapat masukan dari anggota Komisi dari fraksi partai lain. “Tapi belum tahu ke komisi mana,” ujarnya.

*Indri Maulidar/Ninis Chairunnisa/
Putri Adityowati

 Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, Jumat, 10 April 2015. Melalui berita ini, masyarakat makin bingung dengan perilaku anggota DPR. Mereka tidak yakin lagi bahwa anggota DPR itu adalah kalangan terpelajar. Mereka, bahkan, ragu anggota DPR pantas mendapat sebutan “anggota dewan yang terhormat”.
Perkelahian antara anggota DPR bukan hanya terjadi sekali ini. Tahun 2013, pernah pula terjadi perkelahian dua anggota DPR, Irgan Chairul Mahfidz (PPP) dengan M Nasir (PD). Tidak heran bila ada pihak yang menilai bahwa perkelahian anggota DPR merupakan hal yang biasa.
Ironis memang, anggota DPR yang punya kuasa wicara namun memilih berkelahi secara fisik untuk menyelesaikan persoalan di antara mereka. Mereka sudah melewati perjalanan panjang untuk menjadi anggota DPR. Namun, mereka tidak merasa malu melampiaskan emosinya pada saat rapat kerja dengan Menteri. Lalu dimana letak penghayatan mereka terhadap posisi sebagai anggota DPR?
Muncul kesan bahwa anggota DPR yang berkelahi itu tidak menghayati posisinya sebagai anggota DPR. Mereka tidak paham harga diri anggota DPR yang sesungguhnya. Wajar bila muncul penilaian bahwa sesungguhnya mereka tidak pantas jadi anggota DPR.
Terima kasih kepada Anton William yang telah menyadarkan masyarakat bahwa masih ada anggota DPR yang tidak pantas jadi anggota DPR.***
Rejodani, 15 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.