usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 04 Maret 2015


 Jurnalisme penyiaran televisi telah mengalami evolusi. Demikian pengakuan Raymond Rondunuwu, yang pernah menjadi produser siaran berita Seputar Indonesia di Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI). “Di RCTI news, presenter itu setengah dewa, meski intelectuallity-nya big zero.  Pemirsa tahunya mereka smart, charming, dan glamomorous. Padahal waktu tampil di screen, mereka baca prompter yang dibuatkan produser”, tambah Raymond. 
Pernyataan ini menunjukkan bahwa yang sangat berperan dalam berita pada berita televisi adalah produser. Begitu besarnya peran produser, sehingga tanpa sadar ia sudah terjerumus pada perbuatan menciptakan fakta. “We create facts,” tambah Raymond. Berita televisi yang bermetamorfosis menjadi fakta buatan sudah tergolong evolusi jurnalisme, yakni perubahan jurnalisme yang terjadi secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit. Orientasinya sangat jelas: berita televisi akan lebih banyak menghibur daripada memberikan informasi faktual.
Lalu, bagaimana dengan jurnalisme media pers? Jurnalisme media pers juga mengalami evolusi. Sekarang banyak sekali muncul informasi yang disiarkan media pers yang berasal dari data intilijen yang sangat rahasia. Kita bisa menyebut informasi rahasia milik National Security Agency (NSA) yang disiarkan oleh Edward Joseph Snowden. Lalu ada lagi informasi rahasia yang berasal dari surat diplomatik Amerika Serikat yang dibocorkan oleh Julian Assange. Informasi ini sulit untuk dikonfirmasikan. Ia sangat tergantung dari kejujuran sang pembocor rahasia. 
Namun, media pers sepertinya percaya kepada sang pembocor rahasia. Informasi dari mereka mengalir deras di media pers. Tidak heran bila Juliam Assange mendapat tempat yang terhormat di kalangan media pers. Julian Assange pun paham dengan kondisi ini. Dia kemudian mendirikan WikiLeaks dan menjadi pemimpin redaksi (editor-in-chief) di situ.  
Melihat perkembangan WikiLeaks, berbagai pendapat muncul. Ada yang menyebutnya sebagai jurnalisme masa depan. Ada pula yang menyebutnya bukan jurnalisme. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai networked journalism. Apa pun komentar orang tentang WikiLeaks, ia tetap merupakan sebuah fenomena jurnalisme yang menantang untuk dikaji. Untuk mulai mengkaji WikiLeaks, bacalah sebuah buku berjudul WikiLeaks: News in the Networked Era karya Charlie Beckett dan James Ball yang terbit tahun 2012. 
Dari membaca buku ini, agaknya kita akan semakin yakin bahwa evolusi jurnalisme sudah terjadi di media pers. ***
Rejodani, 28 Februari 2015




0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.