usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 16 Februari 2015


Mobil nasional selalu terganjal pendanaan
dan rendahnya penjualan

Fery Firmansyah


Solo Technopark tak seramai dulu. Tak ada lagi bunyi tempaan logam, raungan mesin, dan ingar-bingar warga yang menonton manuver kendaraan yang sedang diuji. Di dalam gedung cuma tersisa dua mobil Esemka Rajawali, dengan kilau cat hitam yang hampir memudar.
Area seluas 7,5 hektare di Jalan Ki Hajar Dewantara, Jebres, Solo, ini kian sepi lantaran penghuni utamanya, PT Solo Manufaktur Kreasi, hengkang. Juru bicara Solo Manufaktur Kreasi, Sabar Budi, mengaku terpaksa pindah setelah produksi Esemka berhenti.
Produksi Esemka, yang sempat disebut-sebut sebagai calon mobil nasional, dihentikan lantaran mobil itu kandas di pasar. Menurut Sabar, pesanan Esemka hanya datang dari sekolah kejuruan yang butuh mobil untuk praktek. Pesanan dari konsumen biasa nihil. Sabar pun tak ingat sudah berapa unit Esemka yang dia jual. “Mungkin 50”, kata dia kepada Tempo, kemarin. Lantaran minim sokongan, mungkin sebentar lagi Esemka tinggal nama.
Kendala yang sama juga dihadapi PT Fin Komodi Teknologi, produsen mobil Fin Tawon dan Fin Komodo. Perusahaan yang bermarkas di Bandung ini sulit mengembangkan produksi misal karena minimnya pasar dan dana yang cekak. Padahal, Fin Komodo dan Fin Tawon mungkin layak disebut sebagai mobil nasional, lantaran proses produksi dan teknologinya murni dari dalam negeri. “Pemerintah diam-diam saja, tidak ada dukungannya,” ujar Koordinator Pemasaran Fin Komodo Teknologi, Dewa Yuniardi.
Dewa mengaku bahwa produknya kalah bersaing dengan merek Jepang yang sudah bercokol di Tanah Air sejak empat dekade lalu. Agar bias bertahan, kata Dewa, Fin berupaya membentuk segmen pasar khusus. Fin Tawon, misalnya, mengincar pasar kendaraan niaga di pedesaan. Adapun Fin Komodo, yang dirancang sebagai kendaraan off road, menggandeng instansi militer. Namun, kendala klasik tetap menghantui merek dagang ini. Untuk produksi massal, Fin harus bergantung pada pasar dan penetrasi pasar pun butuh biaya besar. “Siklusnya di situ-situ saja,” kata Dewa.
Harus diakui, Indonesia adalah Negara ASEAN pertama yang mencanangkan proyek mobil nasional. Diawali oleh Toyota Kijang yang dibuat dan dirakit di Indonesia secara total pada 1975. Ini diikuti oleh proyek Mazda MR, Maleo, Bakri Beta 97, hingga Timor dan Bimantara pada dekade 1990-an. Pada dekade selanjutnya muncul merek-merek seperti Arina, GEA, Texmaco Perkasa, dan Esemka.
Namun dari sekian banyak merek itu cuma Kijang yang direspons oleh pasar. Sisanya hanya tekor di bengkel. Indonesia kalah oleh Malaysia yang baru mengembangkan mobil nasional Proton pada 1989. Malah belakangan muncul kabar perusahaan Indonesia, PT Adiperkasa Citra Lestari, menggandeng Proton untuk mengembangkan mobil nasional. Tak pelak, proyek ini mengundang tanda tanya.
Dewa mengatakan tak ada jalan lain selain dukungan pemerintah agar proyek mobil nasional bisa sukses. Pemerintah, kata Dewa, harus aktif membantu pemasaran mobil nasional, salah satunya dengan memakainya untuk armada dinas. “Dengan cara itu, bank mungkin mau mengucurkan dana dan masyarakat termotivasi untuk menggunakannya.”
Sayang, reaksi pemerintah belum seperti yang diharapkan pelaku industri. Ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan pemerintah belum akan mencanangkan proyek mobil nasional. “Lagi pula mobil nasional kan slogan zaman Soeharto,” ujar dia seraya mempertanyakan definisi mobil nasional.
Menurut Sofyan, jika pemerintah ingin memiliki mobil nasional, komponen, merek, dan teknologi harus dominan dari dalam negeri. Sofyan mengakui Presiden Joko Widodo menghendaki Esemka sebagai mobil nasional, namun masih sebatas ide. Produk seperti Esemka dinilai Sofyan belum melewati uji kelayakan dan belum bisa bersaing. “Tapi kalau mampu, kenapa tidak?”
*DEWI SUCI RAHAYU/ANDI RUSLI/AHMAD RAFIQ (SOLO)

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, Kamis, 12 Februari 2015 . Berita ini menjelaskan secara ringkas perjalanan mobil nasional. Ternyata perjalanannya sudah panjang, sejak tahun 1975. Namun, perjalanan itu tidak mulus. Berbagai hambatan mengganggu perjalanan itu, yakni minimnya dukungan dana pemerintah dan tidak adanya keinginan pemerintah untuk membantu memasarkannya. Wajar bila dari sekian merek yang pernah muncul hanya satu merek yang sukses, Kijang. 

Berita di atas juga menunjukkan bahwa produksi mobil Esemka—yang telah melejitkan nama Joko Widodo—telah berhenti. Lucunya, Presiden Joko Widodo masih menghendaki Esemka sebagai mobil nasional. Lebih lucu lagi, Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil, mengatakan bahwa mobil Esemka belum layak bersaing dengan mobil merek lain, terutama merek Jepang yang sudah lama memproduksi mobil di Indonesia.

Bagaimana kita harus menghadapi kelucuan demi kelucuan ini? Betapa sulitnya mengembangkan mobil nasional. Sudah 40 tahun usaha itu dimulai. Namun, hasilnya belum memuaskan. Malah terdengar berita bahwa Indonesia menggandeng Malaysia untuk kembali mewujudkan mobil nasional. Padahal Malaysia baru mulai mengembangkan mobil nasional pada 1989!

Ironis memang. Namun, itulah kenyataannya. Kita harus mengakui bahwa Indonesia tertinggal di belakang Malaysia dalam berbagai hal, termasuk dalam pengembangan mobil nasional. Terima kasih kepada  Fery Firmansyah, yang telah menyadarkan kita tentang mobil nasional.***

Rejodani, 15 Februari 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.