Mobil nasional selalu terganjal pendanaan
dan rendahnya penjualan
Fery Firmansyah
Solo Technopark tak seramai dulu.
Tak ada lagi bunyi tempaan logam, raungan mesin, dan ingar-bingar warga yang
menonton manuver kendaraan yang sedang diuji. Di dalam gedung cuma tersisa dua
mobil Esemka Rajawali, dengan kilau cat hitam yang hampir memudar.
Area seluas 7,5 hektare di Jalan
Ki Hajar Dewantara, Jebres, Solo, ini kian sepi lantaran penghuni utamanya, PT
Solo Manufaktur Kreasi, hengkang. Juru bicara Solo Manufaktur Kreasi, Sabar
Budi, mengaku terpaksa pindah setelah produksi Esemka berhenti.
Produksi Esemka, yang sempat
disebut-sebut sebagai calon mobil nasional, dihentikan lantaran mobil itu
kandas di pasar. Menurut Sabar, pesanan Esemka hanya datang dari sekolah
kejuruan yang butuh mobil untuk praktek. Pesanan dari konsumen biasa nihil.
Sabar pun tak ingat sudah berapa unit Esemka yang dia jual. “Mungkin 50”, kata dia
kepada Tempo, kemarin. Lantaran minim sokongan, mungkin sebentar lagi
Esemka tinggal nama.
Kendala yang sama juga dihadapi
PT Fin Komodi Teknologi, produsen mobil Fin Tawon dan Fin Komodo. Perusahaan
yang bermarkas di Bandung ini sulit mengembangkan produksi misal karena
minimnya pasar dan dana yang cekak. Padahal, Fin Komodo dan Fin Tawon mungkin
layak disebut sebagai mobil nasional, lantaran proses produksi dan teknologinya
murni dari dalam negeri. “Pemerintah diam-diam saja, tidak ada dukungannya,”
ujar Koordinator Pemasaran Fin Komodo Teknologi, Dewa Yuniardi.
Dewa mengaku bahwa produknya
kalah bersaing dengan merek Jepang yang sudah bercokol di Tanah Air sejak empat
dekade lalu. Agar bias bertahan, kata Dewa, Fin
berupaya membentuk segmen pasar khusus. Fin Tawon, misalnya, mengincar pasar
kendaraan niaga di pedesaan. Adapun Fin Komodo, yang dirancang sebagai
kendaraan off road, menggandeng instansi militer. Namun, kendala klasik
tetap menghantui merek dagang ini. Untuk produksi massal, Fin harus bergantung
pada pasar dan penetrasi pasar pun butuh biaya besar. “Siklusnya di situ-situ
saja,” kata Dewa.
Harus diakui, Indonesia adalah
Negara ASEAN pertama yang mencanangkan proyek mobil nasional. Diawali oleh
Toyota Kijang yang dibuat dan dirakit di Indonesia secara total pada 1975. Ini
diikuti oleh proyek Mazda MR, Maleo, Bakri Beta 97, hingga Timor dan Bimantara
pada dekade 1990-an. Pada dekade selanjutnya muncul merek-merek seperti Arina,
GEA, Texmaco Perkasa, dan Esemka.
Namun dari sekian banyak merek
itu cuma Kijang yang direspons oleh pasar. Sisanya hanya tekor di
bengkel. Indonesia kalah oleh Malaysia yang baru mengembangkan mobil nasional
Proton pada 1989. Malah belakangan muncul kabar perusahaan Indonesia, PT
Adiperkasa Citra Lestari, menggandeng Proton untuk mengembangkan mobil
nasional. Tak pelak, proyek ini mengundang tanda tanya.
Dewa mengatakan tak ada jalan
lain selain dukungan pemerintah agar proyek mobil nasional bisa sukses.
Pemerintah, kata Dewa, harus aktif membantu pemasaran mobil nasional, salah
satunya dengan memakainya untuk armada dinas. “Dengan cara itu, bank mungkin
mau mengucurkan dana dan masyarakat termotivasi untuk menggunakannya.”
Sayang, reaksi pemerintah belum
seperti yang diharapkan pelaku industri. Ditemui di Gedung Dewan Perwakilan
Rakyat, Selasa lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan
pemerintah belum akan mencanangkan proyek mobil nasional. “Lagi pula mobil
nasional kan slogan zaman Soeharto,” ujar dia seraya mempertanyakan definisi
mobil nasional.
Menurut Sofyan, jika pemerintah
ingin memiliki mobil nasional, komponen, merek, dan teknologi harus dominan
dari dalam negeri. Sofyan mengakui Presiden Joko Widodo menghendaki Esemka
sebagai mobil nasional, namun masih sebatas ide. Produk seperti Esemka dinilai
Sofyan belum melewati uji kelayakan dan belum bisa bersaing. “Tapi kalau mampu,
kenapa tidak?”
*DEWI
SUCI RAHAYU/ANDI RUSLI/AHMAD RAFIQ (SOLO)
Demikian berita
yang disiarkan Koran Tempo, Kamis, 12 Februari 2015 . Berita ini menjelaskan
secara ringkas perjalanan mobil nasional. Ternyata perjalanannya sudah panjang,
sejak tahun 1975. Namun, perjalanan itu tidak mulus. Berbagai hambatan mengganggu
perjalanan itu, yakni minimnya dukungan dana pemerintah dan tidak adanya keinginan
pemerintah untuk membantu memasarkannya. Wajar bila dari sekian merek yang
pernah muncul hanya satu merek yang sukses, Kijang.
Berita di atas juga menunjukkan bahwa
produksi mobil Esemka—yang telah melejitkan nama Joko Widodo—telah berhenti.
Lucunya, Presiden Joko Widodo masih menghendaki Esemka sebagai mobil nasional.
Lebih lucu lagi, Menteri Koordinator Perekonomian, Sofyan Djalil, mengatakan
bahwa mobil Esemka belum layak bersaing dengan mobil merek lain, terutama merek
Jepang yang sudah lama memproduksi mobil di Indonesia.
Bagaimana kita harus menghadapi kelucuan
demi kelucuan ini? Betapa sulitnya mengembangkan mobil nasional. Sudah 40 tahun
usaha itu dimulai. Namun, hasilnya belum memuaskan. Malah terdengar berita
bahwa Indonesia menggandeng Malaysia untuk kembali mewujudkan mobil nasional.
Padahal Malaysia baru mulai mengembangkan mobil nasional pada 1989!
Ironis memang. Namun, itulah
kenyataannya. Kita harus mengakui bahwa Indonesia tertinggal di belakang
Malaysia dalam berbagai hal, termasuk dalam pengembangan mobil nasional. Terima
kasih kepada Fery Firmansyah, yang telah
menyadarkan kita tentang mobil nasional.***
Rejodani, 15 Februari 2015
0 komentar:
Posting Komentar