usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 16 Februari 2015


Tidak semua peristiwa atau ide layak ditulis menjadi sebuah berita. Ada ukuran yang harus dipenuhi oleh peristiwa atau ide tersebut. Apa ukurannya? Nilai berita (news values) Tegasnya, hanya peristiwa atau ide yang memenuhi nilai berita saja yang layak ditulis menjadi sebuah berita. Jawaban ini menimbulkan pertanyaan baru, apa sih nilai berita itu dan siapa yang menentukannya?
Nilai berita itu banyak, mulai dari penting (significance), besar (magnitude), baru (timeliness), dekat (proximity), terkemuka (prominence), punya sentuhan manusiawi (human interest) dan sebagainya. Salah satu nilai ini bisa menjadikan sebuah peristiwa atau ide layak ditulis menjadi sebuah berita. Kalau nilai itu lebih dari satu, tentu saja kelayakannya menjadi sebuah berita semakin bertambah. Maka tugas wartawan adalah mencari peristiwa atau ide yang memiliki sebanyak mungkin nilai berita.
Secara praktis, setiap media pers memiliki aturan tentang jumlah nilai berita yang harus terkandung dalam sebuah berita. Tidak ada aturan yang mengharuskan sebuah media pers memiliki jumlah nilai berita tertentu dalam berita yang disiarkannya. Namun, semakin banyak nilai berita yang terkandung dalam sebuah berita, semakin berkualitas berita itu.
Ketika akhirnya berita sudah ditulis, melalui proses penentuan nilai berita, tibalah saatnya berita tersebut disiarkan. Dalam konteks ini, berita itu tidak bisa langsung disiarkan. Ia harus ditimbang lagi dengan aturan lain yang disebut kelengkapan berita dan layak muat (newsworthy).
 
Secara umum kelengkapan berita berkaitan dengan fakta yang dikandung oleh berita bersangkutan. Fakta tersebut harus bisa menjawab pertanyaan apa, siapa, mengapa, dimana, bilamana, dan bagaimana (5W + 1H) tentang sebuah peristiwa atau ide. Bila ada pertanyaan yang tidak terjawab, berita itu disebut tidak lengkap. Wartawan harus melengkapi faktanya.  
Secara praktis, layak muat disesuaikan dengan tujuan media pers dan kondisi objektif khalayak. Ia bertolak dari masyarakat seperti apa yang akan dibentuk media pers dari kecenderungan sosiografis dan psikografis khalayak yang ada. Itulah sebabnya layak muat sebuah media pers berbeda dengan layak muat media pers lain.
Dengan penerapan layak muat, tidak semua peristiwa atau ide yang punya nilai berita pantas disiarkan. Sebaliknya, semua informasi yang layak muat tentu memiliki nilai berita. Lebih dari itu, semua item berita yang terdapat di halaman-halaman media pers punya kriteria layak muat. 
Praktik menjalankan aturan nilai berita (news values), aturan kelengkapan berita, dan aturan layak muat (newsworthy) inilah yang disebut pakem jurnalisme. Media pers yang tidak menjalani pakem jurnalisme atau keluar dari pakem jurnalisme akan merugikan citra jurnalisme itu sendiri.***
Rejodani, 15 Februari 2015



0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.