usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 02 Februari 2015


Salah satu indikator berita yang berkualitas adalah objektivitas. Objektivitas, kata Westerstahl, seperti dikutip Denis McQuail dalam buku McQuail’s Mass Communication Theory, fifth edition, terdiri atas faktual (yang dibentuk oleh unsur benar dan relevan) dan imparsial (yang terdiri atas seimbang dan netral) (hal. 202). 

          Kebenaran berita bisa dilihat secara ontologis: apakah sumbernya atau tidak. Ia bisa juga dilihat dalam konteks hukum formal: apakah melanggar undang-undang atau tidak. Ia, bahkan, bisa pula disigi dalam konteks universal: melanggar hak asasi manusia atau tidak.

Relevansi berita bisa dilihat melalui hubungan antara fokus berita dengan fakta lain yang menjawab pertanyaan Who, Why, Where, When, dan How. Kalau fokus berita berhubungan dengan semua fakta itu, berarti berita tersebut mengandung unsur relevan.

Keseimbangan berita bisa dilihat dari keterangan yang tidak hanya berasal dari satu pihak. Kalau dalam berita itu ada subjek dan objek berita, keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan keterangan. Kalau hanya objek berita saja yang memperoleh kesempatan memberikan keterangan, berarti berita tersebut tidak seimbang.

Netralitas berita, sebenarnya, terkait dengan penyajian berita. Dalam konteks ini, penyajian yang netral berarti penyajiannya tidak sensasional. Ia bisa dilihat dari kesesuaian judul dengan isi berita dan tidak adanya dramatisasi berita. Maka, netralitas berita bisa dilihat melalui judul: apakah  menceritakan isi atau tidak dan apakah didramatisir atau tidak.

Untuk menjamin semua unsur faktual dan impersial tersebut di atas wartawan perlu melakukan cek dan ricek. Cek dan ricek inilah yang disebut kultur jurnalisme. Cek dan ricek inilah yang memastikan bahwa informasi yang dikandung dalam sebuah berita sudah terkonfirmasi.

Dalam praktik jurnalisme sehari-hari, cek dan ricek punya “musuh”, yakni kecepatan. Artinya, demi menjaga kecepatan berita sampai kepada khalayak, wartawan melupakan cek dan ricek. Keadaan ini tentu saja tidak benar. Kecepatan menyiarkan berita harus diimbangi oleh akurasi berita. Boleh saja seorang wartawan menyiarkan berita dengan cepat. Namun, berita itu sudah melewati proses cek dan ricek. Berita tersebut sudah akurat.

Bisa saja adu kecepatan menyiarkan beirta menjadi isu utama dalam kompetisi antar media pers. Namun, tetap saja cek dan ricek harus mendapat tempat yang utama dalam proses jurnalisme. Kalau proses cek dan ricek ini tidak dilakukan, sesungguhnya wartawan sudah melupakan kultur jurnalisme. Kalau sudah begini, jurnalisme sudah kehilangan esensinya.*** 
  
Rejodani, 31 Januari 2015



0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.