Salah satu indikator berita
yang berkualitas adalah objektivitas. Objektivitas, kata Westerstahl, seperti
dikutip Denis McQuail dalam buku McQuail’s
Mass Communication Theory, fifth edition, terdiri atas faktual (yang
dibentuk oleh unsur benar dan relevan) dan imparsial (yang terdiri atas
seimbang dan netral) (hal. 202).
Kebenaran
berita bisa dilihat secara ontologis: apakah sumbernya atau tidak. Ia bisa juga
dilihat dalam konteks hukum formal: apakah melanggar undang-undang atau tidak.
Ia, bahkan, bisa pula disigi dalam konteks universal: melanggar hak asasi
manusia atau tidak.
Relevansi berita bisa dilihat
melalui hubungan antara fokus berita dengan fakta lain yang menjawab pertanyaan
Who, Why, Where, When, dan How. Kalau fokus berita berhubungan
dengan semua fakta itu, berarti berita tersebut mengandung unsur relevan.
Keseimbangan berita bisa
dilihat dari keterangan yang tidak hanya berasal dari satu pihak. Kalau dalam
berita itu ada subjek dan objek berita, keduanya memiliki kesempatan yang sama
untuk memberikan keterangan. Kalau hanya objek berita saja yang memperoleh kesempatan
memberikan keterangan, berarti berita tersebut tidak seimbang.
Netralitas berita, sebenarnya,
terkait dengan penyajian berita. Dalam konteks ini, penyajian yang netral
berarti penyajiannya tidak sensasional. Ia bisa dilihat dari kesesuaian judul
dengan isi berita dan tidak adanya dramatisasi berita. Maka, netralitas berita
bisa dilihat melalui judul: apakah
menceritakan isi atau tidak dan apakah didramatisir atau tidak.
Untuk menjamin semua unsur
faktual dan impersial tersebut di atas wartawan perlu melakukan cek dan ricek.
Cek dan ricek inilah yang disebut kultur jurnalisme. Cek dan ricek inilah yang
memastikan bahwa informasi yang dikandung dalam sebuah berita sudah
terkonfirmasi.
Dalam praktik jurnalisme
sehari-hari, cek dan ricek punya “musuh”, yakni kecepatan. Artinya, demi
menjaga kecepatan berita sampai kepada khalayak, wartawan melupakan cek dan
ricek. Keadaan ini tentu saja tidak benar. Kecepatan menyiarkan berita harus
diimbangi oleh akurasi berita. Boleh saja seorang wartawan menyiarkan berita
dengan cepat. Namun, berita itu sudah melewati proses cek dan ricek. Berita
tersebut sudah akurat.
Bisa saja adu kecepatan
menyiarkan beirta menjadi isu utama dalam kompetisi antar media pers. Namun,
tetap saja cek dan ricek harus mendapat tempat yang utama dalam proses
jurnalisme. Kalau proses cek dan ricek ini tidak dilakukan, sesungguhnya
wartawan sudah melupakan kultur jurnalisme. Kalau sudah begini, jurnalisme
sudah kehilangan esensinya.***
Rejodani,
31 Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar