Rachma Tri Widuri
rachma.triwiduri@tempo.co.id
Dunia pariwisata cemas akan imbas penerapan
tarif batas bawah penerbangan.
Jakarta—Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia
(INACA), Arif Wibowo menilai kebijakan pemerintah yang mengatur tarif batas
bawah untuk maskapai berbiaya murah atau low cost carrier (LCC) tidak
ada kaitannya dengan aspek keselamatan penumpang. “Safety is a must. Tidak
bisa ditawar-tawar,” ujarnya saat dihubungi kemarin.
Menurut Arif, maskapai
penerbangan hemat tidak pernah mengesampingkan keselamatan para penumpang.
Artinya, tidak ada perbedaan aspek keselamatan pada penerbangan mudah dan yang
mahal. “Kalau pilotnya harus training simulator, ya, harus tetap
dijalankan. Yang jelas, tidak ada pemotongan biaya keselamatan,” ujar Direktur
Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk ini.
Arif menjelaskan, maskapai bisa
berhemat dan memasang tarif murah karena adanya perbedaan dalam pelayanan
penumpang. Dia mencontohkan, dalam penerbangan full service makanan
diberikan cuma-cuma. Kursi pun beda. Di pesawat LCC, kapasitas kursi penumpang
jauh lebih banyak dan bahannya ringan.
Selain itu, dengan hanya
menggunakan satu jenis pesawat, maskapai bisa
berhemat karena biaya perawatannya lebih efisien. “Faktor-faktor itulah yang
membuat tarif LCC lebih murah, bukan dari pemotongan biaya keselamatan,” kata
Arif, yang juga mantan Direktur Utama Citilink ini.
Selasa lalu, Menteri Perhubungan
Ignasius Jonan telah meneken Peraturan Menteri Perhubungan yang mengatur tarif
batas bawah penerbangan. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa maskapai
hanya boleh memasang tarif minimal 40 persen dari patokan tarif batas atas.
Jonan berharap kebijakan itu bisa membuat maskapai lebih peduli terhadap aspek
keselamatan penumpang.
Menteri Perhubungan periode
2009-2014, E.E. Mangindaan, pada Oktober 2014 sebenarnya telah menerbitkan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 Tahun 2014 tentang Tarif Batas Bawah
Penerbangan. Dalam beleid itu, tarif batas bawah ditetapkan minimal sebesar 50
persen dari tariff batas atas.
Namun, belum sempat aturan itu
diaplikasikan, perusahaan penerbangan sudah melayangkan keberatan. Pasal yang
dianggap memberatkan mereka adalah ketentuan setiap maskapai harus mengajukan
izin jika hendak menjual tiket di bawah 50 persen dari batas atas.
Di era Menteri Jonan, Kementerian
Perhubungan bermaksud merevisi batas bawah tersebut menjadi 30 persen dari
batas atas. Namun, setelah kecelakaan AirAsia QZ8501, Jonan akhirnya hanya
menurunkan tarif batas bawah di angka 40 persen dari tarif maksimal
penerbangan.
Kebijakan Menteri Perhubungan
yang menetapkan tarif minimal penerbangan itu mengundang reaksi dunia
pariwisata. Pengusaha khawatir ketiadaan tarif murah penerbangan akan
menyurutkan bisnis pariwisata.
“Sekitar 80 persen maskapai kita
ini maskapai yang memberlakukan LCC. Yang non-LCC Cuma Garuda Indonesia,” ujar
Ketua Asosiasi Perjalanan Wisata (Asita) Yogyakarta, Edwin Ismedi Himna, kepada
Tempo, kemarin.
Edwin mencatat perkembangan
pariwisata di Yogyakarta meningkat pesat setelah muncul maskapai murah pada
2009. Jumlah wisatawan mancanegara, khususnya dari Singapura dan Malaysia, terus
meningkat sehingga bisa menembus 200 ribu orang per tahun. “Sebelum ada LCC,
paling mentok di angka 150 ribu per tahun,” tuturnya.
Menurut dia, penghapusan tarif
murah penerbangan itu kontraproduktif dengan target pemerintah yang ingin
menjaring 20 juta wisatawan mancanegara per tahun.
Hal senada disampaikan Ketua
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi. Dia menilai penerapan batas
bawah penerbangan itu kurang tepat. “Hal ini berpotensi melemahkan pertumbuhan
ekonomi di sector pariwisata karena minat bepergian turun,” kata Tulus saat
dihubungi.
Pengetatan regulasi, menurut
Tulus, seharusnya dilakukan pada teknis perizinan rute terbang, bukan soal
tarif. “Kalau sekarang tarif bawah dihapuskan, artinya ada hal yang tidak
dipatuhi, baik dari regulator maupun operator,” ucapnya.
*Devy Ernis/Ursula Florene/
Jayadi
Supriadin/Pribadi
Wicaksono
(Yogyakarta)
Demikian berita yang disiarkan oleh Koran Tempo, Kamis, 8 Januari 2015. Penyiaran
berita ini tidak berjarak lama dari musibah yang menimpa pesawat AirAsia yang
jatuh di Selat Karimata. Sebagai pesawat bertarif rendah (low cost carrier), ia dikhawatirkan abai terhadap keselamatan
penumpang. Ternyataan dugaan ini tidak benar. Berita di atas menunjukkan bahwa
keselamatan penumpang tetap mendapat prioritas utama LCC. Dengan demikian,
penumpang tidak perlu ragu lagi menggunakan LCC.
Berbaur
dengan informasi tentang keselamatan penerbangan LCC, terdapat juga informasi tentang perkembangan pariwisata
yang ternyata didukung oleh LCC. Ini berarti bahwa LCC tidak hanya disukai oleh
penumpang Indonesia, tetapi juga diminati oleh turis asing. Dengan begitu, LCC
perlu dikelola lebih baik lagi.
Maka
meratapi saja tragedi yang menimpa AirAsia QZ8501 tidak ada gunanya. Kita masih
bisa mengambil hikmahnya: mengelola LCC lebih baik lagi. Apalagi zaman sekarang
menyediakan semua informasi yang diperlukan untuk keselamatan pesawat terbang
yang mengudara.***
Sungai
Penuh, 15 Januari 2015
0 komentar:
Posting Komentar