usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 19 Januari 2015


Rachma Tri Widuri
rachma.triwiduri@tempo.co.id

Dunia pariwisata cemas akan imbas penerapan tarif batas bawah penerbangan.



Jakarta—Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA), Arif Wibowo menilai kebijakan pemerintah yang mengatur tarif batas bawah untuk maskapai berbiaya murah atau low cost carrier (LCC) tidak ada kaitannya dengan aspek keselamatan penumpang. “Safety is a must. Tidak bisa ditawar-tawar,” ujarnya saat dihubungi kemarin.

Menurut Arif, maskapai penerbangan hemat tidak pernah mengesampingkan keselamatan para penumpang. Artinya, tidak ada perbedaan aspek keselamatan pada penerbangan mudah dan yang mahal. “Kalau pilotnya harus training simulator, ya, harus tetap dijalankan. Yang jelas, tidak ada pemotongan biaya keselamatan,” ujar Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk ini.

Arif menjelaskan, maskapai bisa berhemat dan memasang tarif murah karena adanya perbedaan dalam pelayanan penumpang. Dia mencontohkan, dalam penerbangan full service makanan diberikan cuma-cuma. Kursi pun beda. Di pesawat LCC, kapasitas kursi penumpang jauh lebih banyak dan bahannya ringan.

Selain itu, dengan hanya menggunakan satu jenis pesawat, maskapai bisa berhemat karena biaya perawatannya lebih efisien. “Faktor-faktor itulah yang membuat tarif LCC lebih murah, bukan dari pemotongan biaya keselamatan,” kata Arif, yang juga mantan Direktur Utama Citilink ini.

Selasa lalu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan telah meneken Peraturan Menteri Perhubungan yang mengatur tarif batas bawah penerbangan. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa maskapai hanya boleh memasang tarif minimal 40 persen dari patokan tarif batas atas. Jonan berharap kebijakan itu bisa membuat maskapai lebih peduli terhadap aspek keselamatan penumpang.

Menteri Perhubungan periode 2009-2014, E.E. Mangindaan, pada Oktober 2014 sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 Tahun 2014 tentang Tarif Batas Bawah Penerbangan. Dalam beleid itu, tarif batas bawah ditetapkan minimal sebesar 50 persen dari tariff batas atas.

Namun, belum sempat aturan itu diaplikasikan, perusahaan penerbangan sudah melayangkan keberatan. Pasal yang dianggap memberatkan mereka adalah ketentuan setiap maskapai harus mengajukan izin jika hendak menjual tiket di bawah 50 persen dari batas atas.

Di era Menteri Jonan, Kementerian Perhubungan bermaksud merevisi batas bawah tersebut menjadi 30 persen dari batas atas. Namun, setelah kecelakaan AirAsia QZ8501, Jonan akhirnya hanya menurunkan tarif batas bawah di angka 40 persen dari tarif maksimal penerbangan.

Kebijakan Menteri Perhubungan yang menetapkan tarif minimal penerbangan itu mengundang reaksi dunia pariwisata. Pengusaha khawatir ketiadaan tarif murah penerbangan akan menyurutkan bisnis pariwisata.

“Sekitar 80 persen maskapai kita ini maskapai yang memberlakukan LCC. Yang non-LCC Cuma Garuda Indonesia,” ujar Ketua Asosiasi Perjalanan Wisata (Asita) Yogyakarta, Edwin Ismedi Himna, kepada Tempo, kemarin.

Edwin mencatat perkembangan pariwisata di Yogyakarta meningkat pesat setelah muncul maskapai murah pada 2009. Jumlah wisatawan mancanegara, khususnya dari Singapura dan Malaysia, terus meningkat sehingga bisa menembus 200 ribu orang per tahun. “Sebelum ada LCC, paling mentok di angka 150 ribu per tahun,” tuturnya.

Menurut dia, penghapusan tarif murah penerbangan itu kontraproduktif dengan target pemerintah yang ingin menjaring 20 juta wisatawan mancanegara per tahun.

Hal senada disampaikan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi. Dia menilai penerapan batas bawah penerbangan itu kurang tepat. “Hal ini berpotensi melemahkan pertumbuhan ekonomi di sector pariwisata karena minat bepergian turun,” kata Tulus saat dihubungi.

Pengetatan regulasi, menurut Tulus, seharusnya dilakukan pada teknis perizinan rute terbang, bukan soal tarif. “Kalau sekarang tarif bawah dihapuskan, artinya ada hal yang tidak dipatuhi, baik dari regulator maupun operator,” ucapnya.

*Devy Ernis/Ursula Florene/
                                     Jayadi Supriadin/Pribadi
                                   Wicaksono (Yogyakarta)


          Demikian berita yang disiarkan oleh Koran Tempo, Kamis, 8 Januari 2015. Penyiaran berita ini tidak berjarak lama dari musibah yang menimpa pesawat AirAsia yang jatuh di Selat Karimata. Sebagai pesawat bertarif rendah (low cost carrier), ia dikhawatirkan abai terhadap keselamatan penumpang. Ternyataan dugaan ini tidak benar. Berita di atas menunjukkan bahwa keselamatan penumpang tetap mendapat prioritas utama LCC. Dengan demikian, penumpang tidak perlu ragu lagi menggunakan LCC.

          Berbaur dengan informasi tentang keselamatan penerbangan LCC, terdapat juga  informasi tentang perkembangan pariwisata yang ternyata didukung oleh LCC. Ini berarti bahwa LCC tidak hanya disukai oleh penumpang Indonesia, tetapi juga diminati oleh turis asing. Dengan begitu, LCC perlu dikelola lebih baik lagi. 

          Maka meratapi saja tragedi yang menimpa AirAsia QZ8501 tidak ada gunanya. Kita masih bisa mengambil hikmahnya: mengelola LCC lebih baik lagi. Apalagi zaman sekarang menyediakan semua informasi yang diperlukan untuk keselamatan pesawat terbang yang mengudara.***

Sungai Penuh, 15 Januari 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.