usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 19 Januari 2015


Goenawan Mohamad—salah seorang pendiri majalah Tempo—suatu ketika dengan tegas mengatakan bahwa media pers tidak harus bersikap netral dalam kebijakan pemberitaannya. Baginya, hal terpenting dari pemberitaan sebuah media pers adalah isi beritanya tidak memfitnah. “Bung Karno saat menulis di Fikiran Ra’yat juga tidak netral,” tambahnya.

Penjelasan di atas melahirkan ide bahwa jurnalisme harus berpihak. Persoalannya lantas, kemana jurnalisme harus berpihak? Agaknya jawabannya bisa diambil dari pernyataan Jakob Oetama yang dikutip A.M. Dewabrata dalam buku Kalimat Jurnalistik: Panduan Mencermati Penulisan Berita, berikut: 


Berita harus bermutu, harus mengangkat persoalan yang ada dalam masyarakat, harus menyiratkan aspirasi masyarakat, harus memanusiakan manusia, membela hak asasi manusia. (hal. xi).


          Kutipan ini memperlihatkan bahwa jurnalisme harus bisa memanusiakan manusia. Ia harus membela hak asasi manusia. Kenyataan seperti ini mengantarkan jurnalisme berpihak kepada usaha membangkitkan dan mempertahankan kemanusiaan (humanisme). Apa pun berita yang dihasilkannya, ia harus berada dalam jalur membangkitkan dan mempertahankan kemanusiaan.

          Bertolak dari sini, kini media pers sesungguhnya menghadapi tantang besar. Soalnya, kenyataan menunjukkan bahwa kemanusiaan di republik ini sudah terpuruk. Berbagai persoalan kemanusiaan, seperti memperlakukan manusia sebagai budak, maraknya penjualan manusia (trafficking), keberingasan yang meluncur pada pembunuhan,  dan pelanggaran hak asasi manusia masih terus muncul. Berbagai usaha untu menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia selalu menemukan jalan buntu. Sudah begitu, masyarakat masih terus mengejar kemajuan yang berujung pada penyerahan otoritas manusia pada teknologi dan kemajuan zaman. 

Apakah keberpihakan jurnalisme kepada kemanusiaan sesuai dengan hakekat keberadaan media pers? Jawabannya tegas: ya. Karena media pers lahir bertolak dari keinginan masyarakat untuk memnuhi kebutuhan informasi agar mereka tetap bisa memelihara kemanusiaannya. 

Sampai di sini muncul pertanyaan, bagaimana kalau sebuah media pers lahir hanya untuk mencari keuntungan materi semata? Kalau ada media pers yang seperti itu, sesungguhnya ia sudah menyalahi kodratnya. Ia sudah menghina dirinya sendiri. Akan lebih baik bila ia berhenti menyiarkan berita dan beralih menjadi perusahaan pembuat tempe saja.*** 

     
Sungai Penuh, 15 Januari 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.