usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 04 Januari 2015


Anak Tukang Las Beromzet Rp 2 Triliyun


Tribun Jogja, Jumat, 19 Desember 2014 (hal 1)




“Kuliah di UGM dan menjalani hidup di Yogyakarta dari tahun 1981 hingga 1986 memberikan banyak ilmu dan pengalaman. Salah satu pengalaman yang paling penting adalah saya digembleng menjadi pribadi yang mandiri selama menjadi mahasiswa.”



KUTIPAN di atas diucapkan oleh Yohanes Nugroho Hari Hardono (51) saat menerima penghargaan dari UGM Berprestasi dalam kategori Alumni Berprestasi, saat rangkaian acara Dies Natalis UGM ke-65. Acara ini berlangsung di Balai Senat Gedung Pusat Kampus UGM, Yogyakarta, Rabu (17/12) malam.

Nama Yohanes Nugroho Hari Hardono terasa kurang familiar di telinga masyarakat. Padahal, lelaki yang akrab disapa Hari tersebut adalah penguasa 3,5 persen pangsa pasar NPK nasional. Melalui sebuah perusahaan bernama PT Saraswanti Anugrah Makmur, setiap tahun Hari memproduksi pupuk NPK sebesar 300 ribu ton.

Dengan jumlah produksi yang sedemikian besar, PT Saraswanti Anugrah Makmur mampu meraup omzet Rp 1,2 triliun. Adapun sebelum mendirikan PT Saraswanti Anugrah Makmur, Hari mengaku tidak pernah membayangkan bakal menjadi seorang pengusaha beromzet relatif sangat gede.

“Saya hanya berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Bapak saya hanya pensiunan guru STM, yang kemudian membuat usaha bengkel las di tempat lahir saya di Ambarawa (Jawa Tengah). Ibu saya hanya berjualan di sebuah warung kecil,” kata Hari saat berpidato di acara malam penghargaan bagi insan UGM berprestasi, Rabu malam.

Dengan kondisi demikian, kala itu, semasa kuliah dia harus memutar otak mencari uang tambahan. “Karena, jatah bulanan dari orangtua sangat mepet. Tentu saya tidak memiliki bayangan untuk bisa menjadi pengusaha seperti saat ini,” ujar dia.

Mengenai awal mula dirinya bergelut di dunia pupuk, Hari mengungkapkan, terjadi ketika pada tahun 1987, selepas lulus dari Fakultas Pertanian UGM, dirinya bekerja di sebuah perusahaan pupuk alam di Mojokerto, Jawa Timur. Sampai suatu saat, tahun 1998, sebuah persoalan memicu kekecewaan Hari terhadap sang bos.

Saat itulah, ketika umurnya menginjak 35 tahun, baru muncul keinginannya berbisnis sendiri. “Posisi saya sudah mentok. Atasan langsung saya pemilik pabrik,” tutur insinyur pertanian lulusan Universitas Gadjah Mada tahun 1986 ini mengenang.

Berbekal pengalaman kerja dan ilmu yang didapatnya semasa kuliah, ide untuk berbisnis pupuk pun muncul. Hari, kala itu, memiliki rencana memproduksi pupuk NPK, sebutan bagi pupuk yang mengandung komposisi natrium, fosfor (phosphor), dan kalium sekaligus. Saat itu, meski pupuk NPK sudah dikenal, produk tersebut masih jarang. Kebanyakan perkebunan masih menggunakan pupuk tunggal, antara lain pupuk urea.

Bakal meledak

Pilihan Hari untuk memproduksi pupuk NPK didasari keyakinan bahwa kebutuhan akan pupuk jenis ini bakal meledak. “Saya sudah memprediksi, pihak perkebunan akan kesulitan jika terus menggunakan pupuk tunggal,” ujarnya.

Bermodalkan keyakinan tersebut, pada tahun 1998, Hari bersama adiknya dan seorang teman di tempat kerjanya yang lama, memutuskan untuk mendirikan sebuah pabrik pupuk. Lalu, berbekal sebuah mesin produksi pinjaman dari kolega, Hari pun memulai produksi pupuk NPK.

“Awalnya perusahaan kami berdiri, bertepatan dengan krisis moneter. Karena hal tersebut, banyak tenaga ahli yang terpaksa menganggur. Kami mendapatkan bantuan sejumlah 30 orang yang semuanya digaji pemerintah pada saat itu,” ujar Hari.

Dari situ usaha Hari terus berkembang, dan kini Hari tidak hanya berfokus di usaha pupuk. Anak kelima dari tujuh bersaudara tersebut, sekarang memiliki 27 perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang seperti perkebunan sawit, kertas, perumahan, perhotelan, dan laboratorium pangan, dengan jumlah total karyawan sekitar tujuh ribu orang. Omzet yang diraup seluruh perusahaannya itu sekitar Rp 2 triliun per tahun.

Selain Yohanes Nugroho Hari Hardono, Insan UGM Berprestasi yang menerima penghargaan sebanyak 60 orang. Penghargaan ini dibagi enam kategori, yaitu mahasiswa berprestasi, pegawai berprestasi tingkat universitas, pegawai berprestasi tingkat nasional, dosen berprestasi, peneliti berprestasi, dan alumni berprestasi. Terdapat 17 mahasiswa berprestasi, 21 pegawai berprestasi tingkat universitas, lima pegawai berprestasi tingkat nasional, tiga dosen berprestasi, 12 peneliti berprestasi, dan lima alumni berprestasi.

Menurut Rektor UGM, Prof. Ir. Dwikorita Karnawati,MSc., PhD., pemberian penghargaan tersebut bertujuan untuk memotivasi dan menginspirasi mahasiswa, dosen, dan karyawan UGM agar terus berkembang. Juga, demi meningkatkan kualitas dan kinerja seluruh civitas akademika di UGM.

“Semua pihak yang menerima penghargaan ini telah dinilai oleh tim khusus yang sengaja kami bentuk. Untuk tiap kategori, tim penilainya berbeda-beda,” ungkap Dwikorita.

Ia berharap pemberian penghargaan ini akan memacu semangat berkompetisi seluruh civitas akademika, untuk menjadi lebih baik. “Khusus untuk para alumni, acara ini juga kami harapkan mampu mempererat silaturahmi antara UGM dan alumni. Sehingga, ke depannya, para alumni dapat men-support program UGM untuk pembangunan Indonesia,” ujar Dwikorita. (hamin thori)

Demikian berita yang disiarkan Tribun Jogja, Jumat, 19 Desember 2014. Berita ini, sesungguhnya, berusaha mem-profil-kan Yohanes Nugroho Hari Handono, lulusan Fakultas Pertanian UGM yang menjadi produsen pupuk NPK. Dalam posisinya ini, Yohanes memiliki omset Rp 1,2 triliun per tahun. Suatu jumlah yang sangat besar.

Idealnya, penulis berita ini menulis profil Yohanes dalam format berita kisah (feature). Dengan begitu, khalayak bisa mengikuti perjalanannya menjadi pengusaha sukses. Namun, dengan informasi yang ada, khalayak bisa menangkap wacana tentang makna menjadi pengusaha sendiri, tidak bekerja untuk orang lain. Di samping bebas menentukan langkah pengembangan usaha, dia tidak berada di balik bayangan orang lain. Dia bisa menunjukkan kesadaran eksistensial dirinya sebagai pengusaha.

Agaknya wacana inilah yang perlu diadopsi oleh mereka yang bekerja pada orang lain namun sudah mentok. Daripada bertahan tanpa tantangan yang tidak berarti, lebih baik berusaha sendiri, menciptakan tantangan sendiri, agar terlihat kualifikasinya yang sesungguhnya sebagai pengusaha. Terima kasih kepada Hamin Thohari yang telah melemparkan wacana ini.***

Rejodani, 31 Desember 2014

  

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.