Jurnalisme memang bukan ilmu.
Ia, kata Onong Uchjana Effendy (1984:10), merupakan metode komunikasi. Posisinya
setara dengan humas dan periklanan. Namun, ia memiliki penjelasan dan logika
sendiri. Salah satu penjelasan jurnalisme yang penting adalah: jurnalisme tidak
selalu berasal dari ketentuan yang sudah ditetapkan oleh media pers. Ia juga
menyerap kebutuhan khalayak. Resultante ketentuan media pers dan kebutuhan
khalayak itulah yang ditawarkan jurnalisme kepada khalayak.
Kenyataan
ini memperlihatkan bahwa masa depan jurnalisme Indonesia ditentukan oleh dua
kata kunci: perbincangan dan interaksi. Cita-cita institusional media pers
memang penting. Namun, ia perlu diketahui oleh khalayak. Bagaimana media pers
merealisasikannya dalam jurnalisme yang perlu diketahui khalayak. Tanpa
pengetahuan itu, khalayak tidak akan bisa berinteraksi dengan media pers secara
proporsional.
Dalam
berinteraksi dengan khalayak, media pers perlu mewaspadai klaim mengutamakan
kepentingan khalayak. Ia harus yakin betul bahwa kepentingan khalayak itu
memang riil, bukan palsu. Untuk itu media pers harus paham betul kepentingan
khalayak itu. Salah satu caranya, menghormati keberadaan khalayak dan secara
aktif berusaha mengeja kebutuhan mereka. Dengan demikian, media pers terbuka
terhadap kebutuhan informasi riil khalayak.
Saat
ini jurnalisme Indonesia didominasi oleh berita tentang pencarian dan evakuasi
korban pesawat AirAsia QZ8501. Informasi yang terkandung di dalamnya bukan
hanya menyangkut fakta proses pencarian dan evakuasi, tetapi juga informasi
tentang kesedihan keluarga penumpang yang menjadi korban. Mengenai yang
terakhir ini, tentu saja menyentuh emosi khalayak. Namun, media pers perlu
berhati-hati menyiarkan informasi tentang mereka. Media pers perlu berempati
kepada mereka, misalnya, dengan menyajikan informasi yang jernih dan wajar.
Pada
berita seperti inilah kejernihan jurnalisme yang dianut media pers itu diuji.
Apakah media pers melanggar prinsip-prinsip dasar dan kaidah-kaidah dasar
jurnalisme, katakanlah, demi mengejar predikat “media pers terdepan” atau demi
mengejar jumlah khalayak demi iklan? Atau media pers tetap mematuhi semua
prinsip dan kaidah jurnalisme sembari memperlihatkan empatinya kepada keluarga
penumpang yang menjadi korban pesawat AirAsia QZ8501? Atau media pers malah
“menciptakan” sebuah teknik baru dalam menjalani proses jurnalisme?
Alternatif
apa pun yang dipililih media pers, ia harus jujur. Ia harus mengesampingkan
rumor dan informasi palsu (hoax). Ia,
bahkan, harus melawan kedua-duanya. Dengan memelihara diri dari rumor dan hoax serta melawannya, media pers
sebenarnya sudah memelihara logika jurnalisme. Soalnya, salah satu logika
jurnalisme yang terpenting adalah tidak memberi tempat pada rumor dan hoax.***
Rejodani,
31 Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar