usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 04 Januari 2015



Jurnalisme memang bukan ilmu. Ia, kata Onong Uchjana Effendy (1984:10), merupakan metode komunikasi. Posisinya setara dengan humas dan periklanan. Namun, ia memiliki penjelasan dan logika sendiri. Salah satu penjelasan jurnalisme yang penting adalah: jurnalisme tidak selalu berasal dari ketentuan yang sudah ditetapkan oleh media pers. Ia juga menyerap kebutuhan khalayak. Resultante ketentuan media pers dan kebutuhan khalayak itulah yang ditawarkan jurnalisme kepada khalayak.
          Kenyataan ini memperlihatkan bahwa masa depan jurnalisme Indonesia ditentukan oleh dua kata kunci: perbincangan dan interaksi. Cita-cita institusional media pers memang penting. Namun, ia perlu diketahui oleh khalayak. Bagaimana media pers merealisasikannya dalam jurnalisme yang perlu diketahui khalayak. Tanpa pengetahuan itu, khalayak tidak akan bisa berinteraksi dengan media pers secara proporsional.
    Dalam berinteraksi dengan khalayak, media pers perlu mewaspadai klaim mengutamakan kepentingan khalayak. Ia harus yakin betul bahwa kepentingan khalayak itu memang riil, bukan palsu. Untuk itu media pers harus paham betul kepentingan khalayak itu. Salah satu caranya,  menghormati keberadaan khalayak dan secara aktif berusaha mengeja kebutuhan mereka. Dengan demikian, media pers terbuka terhadap kebutuhan informasi riil khalayak. 
       Saat ini jurnalisme Indonesia didominasi oleh berita tentang pencarian dan evakuasi korban pesawat AirAsia QZ8501. Informasi yang terkandung di dalamnya bukan hanya menyangkut fakta proses pencarian dan evakuasi, tetapi juga informasi tentang kesedihan keluarga penumpang yang menjadi korban. Mengenai yang terakhir ini, tentu saja menyentuh emosi khalayak. Namun, media pers perlu berhati-hati menyiarkan informasi tentang mereka. Media pers perlu berempati kepada mereka, misalnya, dengan menyajikan informasi yang jernih dan wajar.
          Pada berita seperti inilah kejernihan jurnalisme yang dianut media pers itu diuji. Apakah media pers melanggar prinsip-prinsip dasar dan kaidah-kaidah dasar jurnalisme, katakanlah, demi mengejar predikat “media pers terdepan” atau demi mengejar jumlah khalayak demi iklan? Atau media pers tetap mematuhi semua prinsip dan kaidah jurnalisme sembari memperlihatkan empatinya kepada keluarga penumpang yang menjadi korban pesawat AirAsia QZ8501? Atau media pers malah “menciptakan” sebuah teknik baru dalam menjalani proses jurnalisme?
    Alternatif apa pun yang dipililih media pers, ia harus jujur. Ia harus mengesampingkan rumor dan informasi palsu (hoax). Ia, bahkan, harus melawan kedua-duanya. Dengan memelihara diri dari rumor dan hoax serta melawannya, media pers sebenarnya sudah memelihara logika jurnalisme. Soalnya, salah satu logika jurnalisme yang terpenting adalah tidak memberi tempat pada rumor dan hoax.***
Rejodani, 31 Desember 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.