Wike
D.Herlindar (redaksi@bisnis.co.id)
Jakarta—Kemendag
mengungkapkan hanya 6% dari total importir terdaftar (IT) telepon seluler di
Indonesia yang berkomitmen membangun pabrik.
Pemerintah padahal telah
menawarkan sejumlah fasilitas kemudahan bisnis bagi para investor. Kemendag
mencatat importir ponsel yang telah mengantongi izin resmi adalah 100 perusahaan.
Namun hanya enam di antaranya yang telah dan akan menindaklanjuti bisnisnya
dalam berinvestasi di dalam negeri.
“Yang punya kemauan (investasi)
ada enam,yaitu Polytron di Kudus, Sat Nusapersada di Batam, Samsung di
Cikarang, dan Evercoss di Semarang. Sedangkan yang mau buka ada Mito dan HTC
Mobile,” ungkap Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan
(Kemendag), Partogi Pangaribuan, Rabu (10/12).
Manurut Peraturan Menteri
Perdagangan No. 48/2014, setiap importer terdaftar ponsel harus sudah membangun
pabrik di dalam negeri setelah beroperasi sebagai importer selama tiga tahun.
Untuk itu, kuota impor yang diberikan kepada masing-masing IT dikurangi secara
bertahap.
Adapun IT yang pada akhirnya
memutuskan untuk membangun pabrik di dalam negeri akan diberikan sejumlah
kemudahan berbisnis. Salah satu bentuknya adalah dibebaskan dari bea masuk
untuk impor barang modal atau bahan baku.
Karena (yang mau komitmen) hanya
ada enam perusahaan, ya lama-lama yang diperbolehkan impor (ponsel) hanya enam perusahaan
itu,” kata Partogi.
Cabut Izin
Sementara sebagai dampak aturan,
sebanyak 24 importir ponsel dicabut izinnya pada Oktober. Mereka kedapatan
tidak mengimpor sama sekali selama enam bulan berturut-turut dan praktis tidak
melaporkan realisasai impor selama tiga bulan berturut-turut.
“Pokoknya kami akan dorong supaya
mereka menjadi investor, kalau perlu mengekspor, tidak boleh hanya jadi
pedagang,” kata dia.
Ditemui secara terpisah, Menteri
Perdagangan Rachmat Gobel menegaskan pemberian sanksi tersebut merupakan bukti
ketegasan otoritas perdagangan dalam menindak importer nakal dan mendorong
investasi agar Indonesia tidak hanya dijadikan pasar semata.
Ketua Bidang Teknologi Asosiasi
Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), Usun Pringgodigdo, sepakat aturan impor ponsel
yang akan memacu pertumbuhan industri ponsel di dalam negeri. Peraturan itu
juga memeperderas aliran investasi dan berbagai perusahaan gadget dunia.
“Karena ponsel 4G sekarang
komponennya harus dari dalam negeri. Kalau sudah bias dibuat di sini, beberapa
merek tertentu bias pesan ke mereka,” jelasnya. 24 Importir yang Dicabut
Izinnya meliputi(i) PT Data Citra Mandiri, (ii) Vista Telesindo Prakarsa,
(iii)PT Megah Abadi Sakti, (iv) PT Gvon Nusantara, (v) PT Fujitsu Indonesia,
(vi)PT Immotech Indonesia, (vii) PT Venus Inti Jaya, (viii)PT Erasa Mandiri
Teknosis, (ix) PT Pelangimas Indonesia, (x) PT Tocall Seluler Indonesia, (xi) PT
Artha Comfortindo Perkasa, (xii)PT Ilufa Electronic Indonesia, (xiii)PT Maju
Jaya Prima, (xiv)PT Indomac Bhakti Karya, (xv) PT Wisma Inkopad Indonesia,
(xvi)PT Triguna Perkasa Jaya, (xvii)PT Selaras Inti Persada, (xviii)PT Oaktech
Nusantara, (xix) PT Indonesia Timbangan Digital, (xx) PT Garuda Tronic
Nusantara, (xxi)PT Acer Manufacturing Indonesia, (xxii) PT Menghantara Multimedia
Sokusindo, (xxiii) PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, dan (xxiv)PT Cahaya
Indolestari(Sumber: KSO Sucofindo)
Demikian berita yang disiarkan oleh Harian
Jogja, 12 Desember 2014. Berita yang memperlihatkan betapa egoisnya
importir ponsel. Betapa tidak. Mereka hanya mau untung banyak tanpa kerja
keras. Bukankah membuka pabrik itu harus menyediakan lokasi, membangun pabrik, mengurusi
izin, menggaji karyawan, menjamin asuransi kesehatan karyawan dan sebagainya? Kalau
hanya mengimpor ponsel, mereka cukup mendatangkan ponsel dari luar negeri lalu
mereka menjualnya di Indonesia.
Sikap importir ponsel di atas menunjukkan
bahwa mereka hanya “saudagar”, mencari keuntungan dari proses jual beli ponsel.
Mereka tidak berkontribusi pada ekonomi Indonesia. Mereka hanya membayar pajak
pendapatan saja.
Kalau para importir ponsel itu membuka
pabrik di Indonesia, mereka menjadi “industriawan”. Mereka menyediakan lapangan
pekerjaan. Mereka meningkatkan daya beli masyarakat. Mereka berkontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mereka menempati posisi yang mulia.
Persoalannya, mengapa mereka tidak mau
menjadi orang yang mulia? Jawabannya bisa beragam. Mungkin karena mencari izin
sebagai industriawan tidak mudah. Mungkin juga mereka tidak peduli dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mungkin pula mereka haru membayar “uang takut”
kepada berbagai pihak. Mungkin saja mereka tidak memiliki jiwa patriotisme.
Mungkin ada yang lain lagi. Yang jelas,
mereka tidak mau repot.
Kenyataan ini menambah perbendaharaan
“mafhum” kita tentang sebagian besar pengusaha kita. Tidak berkepribadian,
tidak tahan uji, dan tidak ingin produk Indonesia berjaya di luar negeri. Terima
kasih Wike, atas beritanya.***
Rejodani, 15 Desember 2014.
0 komentar:
Posting Komentar