usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 22 Desember 2014


Wike D.Herlindar (redaksi@bisnis.co.id)

Jakarta—Kemendag mengungkapkan hanya 6% dari total importir terdaftar (IT) telepon seluler di Indonesia yang berkomitmen membangun pabrik.


Pemerintah padahal telah menawarkan sejumlah fasilitas kemudahan bisnis bagi para investor. Kemendag mencatat importir ponsel yang telah mengantongi izin resmi adalah 100 perusahaan. Namun hanya enam di antaranya yang telah dan akan menindaklanjuti bisnisnya dalam berinvestasi di dalam negeri.

“Yang punya kemauan (investasi) ada enam,yaitu Polytron di Kudus, Sat Nusapersada di Batam, Samsung di Cikarang, dan Evercoss di Semarang. Sedangkan yang mau buka ada Mito dan HTC Mobile,” ungkap Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Partogi Pangaribuan, Rabu (10/12).

Manurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 48/2014, setiap importer terdaftar ponsel harus sudah membangun pabrik di dalam negeri setelah beroperasi sebagai importer selama tiga tahun. Untuk itu, kuota impor yang diberikan kepada masing-masing IT dikurangi secara bertahap.

Adapun IT yang pada akhirnya memutuskan untuk membangun pabrik di dalam negeri akan diberikan sejumlah kemudahan berbisnis. Salah satu bentuknya adalah dibebaskan dari bea masuk untuk impor barang modal atau bahan baku.

Karena (yang mau komitmen) hanya ada enam perusahaan, ya lama-lama yang diperbolehkan impor (ponsel) hanya enam perusahaan itu,” kata Partogi.

Cabut Izin

Sementara sebagai dampak aturan, sebanyak 24 importir ponsel dicabut izinnya pada Oktober. Mereka kedapatan tidak mengimpor sama sekali selama enam bulan berturut-turut dan praktis tidak melaporkan realisasai impor selama tiga bulan berturut-turut.

“Pokoknya kami akan dorong supaya mereka menjadi investor, kalau perlu mengekspor, tidak boleh hanya jadi pedagang,” kata dia.

Ditemui secara terpisah, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menegaskan pemberian sanksi tersebut merupakan bukti ketegasan otoritas perdagangan dalam menindak importer nakal dan mendorong investasi agar Indonesia tidak hanya dijadikan pasar semata.

Ketua Bidang Teknologi Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), Usun Pringgodigdo, sepakat aturan impor ponsel yang akan memacu pertumbuhan industri ponsel di dalam negeri. Peraturan itu juga memeperderas aliran investasi dan berbagai perusahaan gadget dunia.

“Karena ponsel 4G sekarang komponennya harus dari dalam negeri. Kalau sudah bias dibuat di sini, beberapa merek tertentu bias pesan ke mereka,” jelasnya. 24 Importir yang Dicabut Izinnya meliputi(i) PT Data Citra Mandiri, (ii) Vista Telesindo Prakarsa, (iii)PT Megah Abadi Sakti, (iv) PT Gvon Nusantara, (v) PT Fujitsu Indonesia, (vi)PT Immotech Indonesia, (vii) PT Venus Inti Jaya, (viii)PT Erasa Mandiri Teknosis, (ix) PT Pelangimas Indonesia, (x) PT Tocall Seluler Indonesia, (xi) PT Artha Comfortindo Perkasa, (xii)PT Ilufa Electronic Indonesia, (xiii)PT Maju Jaya Prima, (xiv)PT Indomac Bhakti Karya, (xv) PT Wisma Inkopad Indonesia, (xvi)PT Triguna Perkasa Jaya, (xvii)PT Selaras Inti Persada, (xviii)PT Oaktech Nusantara, (xix) PT Indonesia Timbangan Digital, (xx) PT Garuda Tronic Nusantara, (xxi)PT Acer Manufacturing Indonesia, (xxii) PT Menghantara Multimedia Sokusindo, (xxiii) PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, dan (xxiv)PT Cahaya Indolestari(Sumber: KSO Sucofindo)

Demikian berita yang disiarkan oleh Harian Jogja, 12 Desember 2014. Berita yang memperlihatkan betapa egoisnya importir ponsel. Betapa tidak. Mereka hanya mau untung banyak tanpa kerja keras. Bukankah membuka pabrik itu harus menyediakan lokasi, membangun pabrik, mengurusi izin, menggaji karyawan, menjamin asuransi kesehatan karyawan dan sebagainya? Kalau hanya mengimpor ponsel, mereka cukup mendatangkan ponsel dari luar negeri lalu mereka menjualnya di Indonesia.

Sikap importir ponsel di atas menunjukkan bahwa mereka hanya “saudagar”, mencari keuntungan dari proses jual beli ponsel. Mereka tidak berkontribusi pada ekonomi Indonesia. Mereka hanya membayar pajak pendapatan saja.

Kalau para importir ponsel itu membuka pabrik di Indonesia, mereka menjadi “industriawan”. Mereka menyediakan lapangan pekerjaan. Mereka meningkatkan daya beli masyarakat. Mereka berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mereka menempati posisi yang mulia. 

Persoalannya, mengapa mereka tidak mau menjadi orang yang mulia? Jawabannya bisa beragam. Mungkin karena mencari izin sebagai industriawan tidak mudah. Mungkin juga mereka tidak peduli dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mungkin pula mereka haru membayar “uang takut” kepada berbagai pihak. Mungkin saja mereka tidak memiliki jiwa patriotisme. Mungkin ada yang lain lagi. Yang jelas,  mereka tidak mau repot.

Kenyataan ini menambah perbendaharaan “mafhum” kita tentang sebagian besar pengusaha kita. Tidak berkepribadian, tidak tahan uji, dan tidak ingin produk Indonesia berjaya di luar negeri. Terima kasih Wike, atas beritanya.***

Rejodani, 15 Desember 2014.

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.