Buku Rethinking
journalism: trust and participation in a transformed news Landscape mencatat,
krisis jurnalisme muncul ketika khalayak meragukan profesionalisme wartawan,
otonomi jurnalisme berkurang, dan kredibilitas berita menurun (hal. ii). Kalau
keadaan itu betul-betul terjadi di sebuah negara, kedua penyunting buku
tersebut, Chris Peters dan Marcel Broersma, mengusulkan perlunya “rethinking
journalism” di negara itu. Persoalan yang kemudian muncul adalah, apakah
krisis jurnalisme sudah terjadi di Indonesia?
Tentu tidak mudah
menjawab pertanyaan ini tanpa penelitian yang komprehensif. Yang jelas,
kriteria krisis itu menggambarkan bahwa keadaan yang diperlihatkannya sudah
berbahaya. Kondisinya sudah genting. Masa depan jurnalisme suram. Diperlukan
usaha keras berbagai pihak untuk mengatasinya.
Perjalanan media
pers Indonesia menunjukkan bahwa sejak masa reformasi media pers memiliki
kemerdekaan pers. Media pers boleh menyiarkan berita apa saja, sesuai dengan
nilai-nilai yang dimiliki media pers bersangkutan. UU No. 40/1999 Tentang Pers,
bahkan, menjamin pelaksanaan profesionalisme wartawan. Sekalipun terdapat
beberapa batas pemberitaan, tetap saja tidak ada yang menghambat wartawan
menjalankan profesinya.
Namun,
profesionalisme wartawan itu kadang-kadang ibarat pisau bermata dua. Mata yang
satu sangat tajam mengumpulkan informasi rahasia. Namun, mata yang satu lagi
sangat mungkin menyiarkan rumor. Celakanya, rumor yang disiarkan media pers ini
dipercayai oleh khalayak. Padahal yang namanya rumor itu tidak riil.
Contoh soal tentang
hal ini pernah diungkapkan A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam bukunya yang
berjudul Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi Perilaku.
Simaklah pengakuan Gus Mus berikut:
Ketika pers, misalnya, membuat istilah—salah satu kegemaran pers memang menciptakan istilah—kiai khos untuk beberapa kiai yang membicarakan masalah nasional dan publik agaknya mempercayainya, pers pun mempercayai bahwa memang ada yang namanya kiai khos itu.Lucunya, tanpa disadari, hal ini kemudian berkembang atau sengaja dikembangkan dan lambat-laun hampir semua kiai yang dikenal pers—termasuk yang ‘aam—pun disebut kiah khos. Ketika pers sudah terlanjur percaya rumornya sendiri bahwa saat ini ada pada kubu kiai khos sedang mendukung dan tidak mendukung Gus Dur, maka setiap pertemuan kiai pun mereka percaya—setelah menggiring publik untuk mempercayainya—sebagai pertemuan kiai khos dan untuk urusan dukung-mendukung itu. (hal. 48).(cetak tebal dari penulis).
Kutipan
ini menunjukkan bahwa istilah kiai khos tidak ada dalam kehidupan kiai.
Istilah itu merupakan bentukan wartawan. Istilah tersebut merupakan rumor
belaka. Sayangnya, media pers percaya dengan rumor ciptaan wartawan itu.
Khalayak pun percaya. Akibatnya, khalayak jadi sesat.
Nah, perilaku media
pers Indonesia yang menyesatkan ini yang perlu dihindari, kalau Indonesia tidak
ingin mengalami krisis jurnalisme. Untuk itu, para wartawan harus menggunakan
profesionalismenya secara proporsional.***
Rejodani, 15 Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar