usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 17 Desember 2014

Buku Rethinking journalism: trust and participation in a transformed news Landscape mencatat, krisis jurnalisme muncul ketika khalayak meragukan profesionalisme wartawan, otonomi jurnalisme berkurang, dan kredibilitas berita menurun (hal. ii). Kalau keadaan itu betul-betul terjadi di sebuah negara, kedua penyunting buku tersebut, Chris Peters dan Marcel Broersma, mengusulkan perlunya “rethinking journalism” di negara itu. Persoalan yang kemudian muncul adalah, apakah krisis jurnalisme sudah terjadi di Indonesia?

Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini tanpa penelitian yang komprehensif. Yang jelas, kriteria krisis itu menggambarkan bahwa keadaan yang diperlihatkannya sudah berbahaya. Kondisinya sudah genting. Masa depan jurnalisme suram. Diperlukan usaha keras berbagai pihak untuk mengatasinya.

Perjalanan media pers Indonesia menunjukkan bahwa sejak masa reformasi media pers memiliki kemerdekaan pers. Media pers boleh menyiarkan berita apa saja, sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki media pers bersangkutan. UU No. 40/1999 Tentang Pers, bahkan, menjamin pelaksanaan profesionalisme wartawan. Sekalipun terdapat beberapa batas pemberitaan, tetap saja tidak ada yang menghambat wartawan menjalankan profesinya.

Namun, profesionalisme wartawan itu kadang-kadang ibarat pisau bermata dua. Mata yang satu sangat tajam mengumpulkan informasi rahasia. Namun, mata yang satu lagi sangat mungkin menyiarkan rumor. Celakanya, rumor yang disiarkan media pers ini dipercayai oleh khalayak. Padahal yang namanya rumor itu tidak riil.

Contoh soal tentang hal ini pernah diungkapkan A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam bukunya yang berjudul Membuka Pintu Langit: Momentum Mengevaluasi Perilaku. Simaklah pengakuan Gus Mus berikut:


Ketika pers, misalnya, membuat istilah—salah satu kegemaran pers memang menciptakan istilah—kiai khos untuk beberapa kiai yang membicarakan masalah nasional dan publik agaknya mempercayainya, pers pun mempercayai bahwa memang ada yang namanya kiai khos itu.

Lucunya, tanpa disadari, hal ini kemudian berkembang atau sengaja dikembangkan dan lambat-laun hampir semua kiai yang dikenal pers—termasuk yang ‘aam—pun disebut kiah khos. Ketika pers sudah terlanjur percaya rumornya sendiri bahwa saat ini ada pada kubu kiai khos sedang mendukung dan tidak mendukung Gus Dur, maka setiap pertemuan kiai pun mereka percaya—setelah menggiring publik untuk mempercayainya—sebagai pertemuan kiai khos dan untuk urusan dukung-mendukung itu. (hal. 48).(cetak tebal dari penulis).


          Kutipan ini menunjukkan bahwa istilah kiai khos tidak ada dalam kehidupan kiai. Istilah itu merupakan bentukan wartawan. Istilah tersebut merupakan rumor belaka. Sayangnya, media pers percaya dengan rumor ciptaan wartawan itu. Khalayak pun percaya. Akibatnya, khalayak jadi sesat. 

Nah, perilaku media pers Indonesia yang menyesatkan ini yang perlu dihindari, kalau Indonesia tidak ingin mengalami krisis jurnalisme. Untuk itu, para wartawan harus menggunakan profesionalismenya secara proporsional.***  

Rejodani, 15 Desember 2014


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.