usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 30 November 2014



Banyak arti peran yang bisa kita temukan, baik di dalam kamus maupun di dalam ensiklopedi. Dari sekian banyak arti peran itu, ada yang bermakna seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh pihak yang memiliki peran. Meminjam makna ini, peran jurnalisme berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh jurnalisme.

Makna ini menggiring kita untuk mencoba menemukan peran itu. Larry Dailey, dalam blognya, http://archive.knightdigitalmediacenter.org/opinion_cyberspace/comments/the_role_of_journalism/ yang diakses pada 29 November 2014, menyebut tujuh peran jurnalisme, yakni: (i) to inform (memberi informasi), (ii) to educate (mendidik), (iii) to engage (melayani), (iv) to entertain (menghibur), (v) to frustrate (membuat frustrasi), (vi) to sadden (membuat sedih), dan (vii) to scare (menakut-nakuti). Keterangan ini menunjukkan bahwa jurnalisme tidak melulu memuaskan khalayak. Ia bisa juga membuat khalayak frustrasi, sedih dan takut.

Yang perlu dipersoalkan adalah, apakah khalayak perlu dibuat frustrasi, atau dibuat sedih, atau ditakut-takuti sebelum bisa mengambil keputusan secara rasional? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini tanpa penelitian yang komprehensif. Yang jelas, manusia merupakan makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Dengan kesadaran itu, dia bisa mempertimbangkan kualitas sikap dan perilakunya. Tegasnya, kesadaran itu membuatnya mengerti apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Kecuali itu, manusia memiliki akal budi. Dengan akal budi, manusia bisa melahirkan ide. Dengan akal budi pula manusia bisa membentuk pengertian. Bahkan, dengan akal budi manusia bisa mencari kebenaran. Dalam bahasa Kasdin Sihotang (2009:44), akal budi merupakan modal manusia untuk mengadakan refleksi dan penyelidikan.

Bertolak dari sini, sebenarnya tidak ada persoalan bila jurnalisme melahirkan wacana yang mengandung nuansa sedih, atau takut, atau frustrasi. Khalayak akan bisa menyaringnya sesuai dengan kesadaran dan akal budinya. Kenyataan ini juga didukung oleh teori konstruktivisme. Teori yang dikembangkan oleh Jesse Delia, Barbara J. O’Keefe dan Daniel J. O’keefe tahun 1982 ini mengatakan bahwa individu menginterpretasikan dan bertindak menurut kategori konsep pikirannya.

Namun, tidak berarti jurnalisme boleh memproduksi berita seenak perutnya sendiri. Ia harus memproduksi berita untuk khalayak yang menjadi pembaca medianya. Dia harus melayani khalayak setia medianya. Kalau khalayaknya, suatu saat, memang harus ditakut-takuti, itu harus sesuai dengan kondisi psikologis dan sosiologisnya.*** 

Rejodani, 30 November 2014


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.