Kita
tentu sudah mengerti makna epistemologi, yakni bagian dari filsafat
yang membicarakan terjadinya pengetahuan. Kita tentu sudah paham
bahwa secara etimologi, epistemologi bermakna teori pengetahuan yang
benar, atau theory of knowledge. Namun, sudahkah kita mengenal
epistemologi jurnalisme.
Bertolak
dari pengertian epistemologi di atas, epistemologi jurnalisme bisa
kita maknai sebagai “teori” jurnalisme yang benar. Apa “teori”
jurnalisme yang benar itu? Tentu saja terdapat banyak hal yang
menjadi epistemologi jurnalisme. Misalnya, seorang wartawan
mempersepsi kejadian atau ide yang terjadi di lingkungannya dengan
benar. Lalu, dia menuliskan persepsinya itu dengan benar pula
menggunakan bahasa dalam berita yang ditulisnya.
Contoh
yang lain, kebenaran yang disajikan media pers kepada khalayak
merupakan hasil penerapan logika induktif dari fakta yang diperoleh
wartawan. Dari proses itulah wartawan membuat generalisasi tentang
“dunia” yang disaksikan khalayak. Dalam proses itu, kita tidak
bisa menutup mata terhadap peran bahasa. Artinya, kemampuan berbahasa
wartawan akan ikut menentukan apakah generalisasi itu tepat atau
tidak.
Misal
yang lain lagi, seorang wartawan hendaklah tidak beropini ria dalam
menulis berita dan mampu menyajikan fakta secara akurat. Dalam
menulis berita, dia mampu pula menghadirkan wacana yang kelak
ditangkap oleh khalayak sesuai dengan yang dikehendaki sang wartawan.
Dalam hal ini, khalayak tidak menyimpang dari apa yang dibayangkan
wartawan.
Ketiga
epistemologi jurnalisme di atas menyebabkan lahirnya berbagai teknik
dalam mem-framing berita, menulis berita, dan menyunting berita.
Namun, semua teknik itu tidak bermakna apa-apa kalau wartawan tidak
punya misi yang mulia dalam menulis berita, yakni membantu khalayak
menyelesaikan masalah mereka lewat informasi. Artinya, berita yang
sampai kepada khalayak itu hendaklah mengandung informasi yang
berkontribusi menyelesaikan masalah khalayak. Bukan sebaliknya,
informasi itu malah membuat khalayak menghadapi masalah baru.
Idealnya
kita memandang wartawan sangat positif dan optimistis. Kita percaya
bahwa mereka memiliki misi yang mulia dalam menulis berita. Namun,
media pers yang memuat berita itu kadang-kadang muncul dengan kinerja
yang jelek. Misalnya, ada media pers yang dipakai untuk meneguhkan
posisi politik pemiliknya. Ada pula media pers yang lebih banyak
dipakai untuk memenuhi kepuasan hiburan demi menggaet keuntungan
materi yang sebanyak-banyaknya. Ada pula media pers yang melemparkan
terlalu banyak wacana, sehingga khalayak tidak sempat menangkap
wacana itu dengan baik. Maka terjadilah perbedaan misi wartawan
dengan media pers tempat mereka bekerja.
Perbedaan
itu bukan karena beda posisi saja, tetapi kadang-kadang sudah
menyangkut perbedaan ideologi. Perbedaan seperti tidak akan
melahirkan solidaritas, yang pada gilirannya tidak akan mencapai
titik temu. Kalau sudah begini, khalayak yang rugi. Mereka tetap saja
menjadi pelengkap penderita saja dari sebuah proses jurnalisme.***
Rejodani,
15 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar