usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 16 November 2014




Kita tentu sudah mengerti makna epistemologi, yakni bagian dari filsafat yang membicarakan terjadinya pengetahuan. Kita tentu sudah paham bahwa secara etimologi, epistemologi bermakna teori pengetahuan yang benar, atau theory of knowledge. Namun, sudahkah kita mengenal epistemologi jurnalisme. 
 
Bertolak dari pengertian epistemologi di atas, epistemologi jurnalisme bisa kita maknai sebagai “teori” jurnalisme yang benar. Apa “teori” jurnalisme yang benar itu? Tentu saja terdapat banyak hal yang menjadi epistemologi jurnalisme. Misalnya, seorang wartawan mempersepsi kejadian atau ide yang terjadi di lingkungannya dengan benar. Lalu, dia menuliskan persepsinya itu dengan benar pula menggunakan bahasa dalam berita yang ditulisnya. 
 
Contoh yang lain, kebenaran yang disajikan media pers kepada khalayak merupakan hasil penerapan logika induktif dari fakta yang diperoleh wartawan. Dari proses itulah wartawan membuat generalisasi tentang “dunia” yang disaksikan khalayak. Dalam proses itu, kita tidak bisa menutup mata terhadap peran bahasa. Artinya, kemampuan berbahasa wartawan akan ikut menentukan apakah generalisasi itu tepat atau tidak.

Misal yang lain lagi, seorang wartawan hendaklah tidak beropini ria dalam menulis berita dan mampu menyajikan fakta secara akurat. Dalam menulis berita, dia mampu pula menghadirkan wacana yang kelak ditangkap oleh khalayak sesuai dengan yang dikehendaki sang wartawan. Dalam hal ini, khalayak tidak menyimpang dari apa yang dibayangkan wartawan.

Ketiga epistemologi jurnalisme di atas menyebabkan lahirnya berbagai teknik dalam mem-framing berita, menulis berita, dan menyunting berita. Namun, semua teknik itu tidak bermakna apa-apa kalau wartawan tidak punya misi yang mulia dalam menulis berita, yakni membantu khalayak menyelesaikan masalah mereka lewat informasi. Artinya, berita yang sampai kepada khalayak itu hendaklah mengandung informasi yang berkontribusi menyelesaikan masalah khalayak. Bukan sebaliknya, informasi itu malah membuat khalayak menghadapi masalah baru.

Idealnya kita memandang wartawan sangat positif dan optimistis. Kita percaya bahwa mereka memiliki misi yang mulia dalam menulis berita. Namun, media pers yang memuat berita itu kadang-kadang muncul dengan kinerja yang jelek. Misalnya, ada media pers yang dipakai untuk meneguhkan posisi politik pemiliknya. Ada pula media pers yang lebih banyak dipakai untuk memenuhi kepuasan hiburan demi menggaet keuntungan materi yang sebanyak-banyaknya. Ada pula media pers yang melemparkan terlalu banyak wacana, sehingga khalayak tidak sempat menangkap wacana itu dengan baik. Maka terjadilah perbedaan misi wartawan dengan media pers tempat mereka bekerja.

Perbedaan itu bukan karena beda posisi saja, tetapi kadang-kadang sudah menyangkut perbedaan ideologi. Perbedaan seperti tidak akan melahirkan solidaritas, yang pada gilirannya tidak akan mencapai titik temu. Kalau sudah begini, khalayak yang rugi. Mereka tetap saja menjadi pelengkap penderita saja dari sebuah proses jurnalisme.***

Rejodani, 15 November 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.