usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 16 Juli 2014


“Media penyiaran mestinya menjaga kredibilitas dalam pemberintaan.”

Raymond Rondonuwu tak bias menutupi rasa jengkelnya. Tangannya menggenggam kertas berisi susunan isi berita Seputar Indonesia Sore. Pada Rabu, 11 Juni, produser acara Seputar Indonesia Malam itu diminta menayangkan kembali isu bocornya pertanyaan debat calon presiden putaran pertama yang digelar Komisi Pemilihan Umum.

Perintah Pemimpin Redaksi RCTI Arya Mahendra Sinulingga itu langsung ditolak Raymond. Dia beralasan, sumber informasi berita tersebut tak kredibel. Kalau dipaksakan, pengulangan berita tersebut memojokkan salah satu calon presiden. “Ini menunjukkan bahwa pimpinan tak punya integritas dan kompetensi dalam memilih berita,” kata Raymond.

Informasi soal bocornya pertanyaan debat calon presiden, menurut Raymond, bermula dari situs asatunews.com pada Selasa, 10 Juni, atau sehari setelah debat. Media online itu mengutip seorang pejabat KPU yang mengatakan, sebelum debat, anggota KPU, Hadar N. Gumay, bertemu dengan petinggi PDI Perjuangan di sebuah restoran.

Agenda pertemuan, kata sumber situ situ, Hadar membocorkan materi pertanyaan kepada partai pengusung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Tak lama setelah berita itu tayang di internet, Hadar mengatakan tidak benar. “Saya sendiri tidak tahu materi debat, karena saya tak terlibat dalam penyusunan pertanyaan.”

Ketika dimintai konfirmasi, Redaktur Pelaksana asatunews.com, Purwadi Junaidi, mengatakan informasi tentang bocornya pertanyaan materi debat datang dari dari penelepon yang mengaku sebagai pejabat KPU. “Saat itu kami percaya saja,” kata dia kepada Tempo tadi malam. Ihwal materi pertanyaan debat yang bocor, menurut Purwadi, tidak dijelaskan oleh si penelepon. “Kami sudah tanyakan tapi tidak dijawab. Informasi itu langsung ditayangkan tanpa konfirmasi ke Hadar Gumay.”

Raymond tak habis pikir, kenapa RCTI  bersemangat memberitakan informasi yang nilai kebenarannya tidak ada. Menurut dia, Arya, yang masuk anggota tim kampanye pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, panik mencari berita memojokkan pasangan Jokowi-JK. Raymond juga menilai pimpinan RCTI minim pengetahuan tentang Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran.

Inilah pangkal Raymond melakukan protes. Dia menganggap perintah bosnya kelewatan. Karena itu, dia menganggap perintah pimpinan dengan mengajukan nota keberatan ke pimpinan RCTI. Namun, keesokan harinya, dia diancam akan diberi surat peringatan ketiga. “Mungkin dia takut memecat saya,” ujar Raymond.

Ketika dimintai konfirmasi, Arya Sinulingga tak bersedia menjelaskan kasus Raymond. “Saya menolak wawancara dengan Anda,” kata dia. Sebelumnya, Arya meminta Tempo datang ke kantornya. Saat ditanyakan kapan waktu untuk wawancara, Arya langsung menolak.

Raymond mengungkapkan, intervensi terhadap ruang redaksi sudah lama terjadi. Tepatnya sejak bos MNC, Hary Tanoesoedibjo, menjadi Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura. Setelah Hary Tanoe pecah kongsi dengan Ketua Umum Hanura Wiranto, kata Raymond, kian gencarlah larangan wajah Jokowi muncul di RCTI.

Arya Sinulingga, saat diwawancarai Tempo soal kebijakan di atas, berdalih tim liputan RCTI selalu ditolak kubu Jokowi. “Kalau ditolak, apa yang bisa saya beritakan?”

Keterangan ini disangkal Raymond. Menurut dia, kubu Jokowi menolak karena terus diberitakan negatif. “Ibaratnya, melintir berita tapi tak ada wajah Jokowi,” kata dia.

Menurut Raymond, di luar urusan Jokowi, awak redaksi pernah diminta tak mengembangkan berita ihwal penetapan tersangka Menteri Agama Suryadharma Ali. Berita Suryadharma yang dijerat kasus korupsi dana haji hanya boleh ditayangkan di acara Seputar Indonesia Pagi dan Seputar Indonesia Malam. Setelah dimutasikan ke bagian riset, Raymond memilih menenangkan diri. “Saya tahu konsekuensinya.”

Intervensi terhadap ruang redaksi tak cuma terjadi di RCTI. Sejumlah reporter Metro TV  mengeluhkan sikap politik redaksi dalam pemilu presiden. Mereka disetir untuk mengutamakan pemberitaan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. “Dulu kami dsebut corong NasDem, sekarang Jokowi,” kata seorang reporter televisi swasta itu. Pemilik Metro TV, Surya paloh, adalah Ketua Umum NasDem—salah satu partai penyokong pasangan Jokowi-Kalla. Wakil Pemimpin Redaksi Metro TV  Suryopratomo membantah jika disebut berpihak kepada Jokowi—Kalla. Dia tak menampik bahwa redaksi memiliki prefensi politik. Surya Paloh, kata Tomi, tak punya akses kewenangan ke redaksi. Selama memimpin Metro TV, tak sekalipun Surya meneleponnya ihwal sikap politik redaksi. “Tim redaksi bukan boneka yang bisa diarahkan,” kata Tomi.

Situasi serupa terjadi di TV One. Seorang reporter mengatakan mereka paham bahwa kebijakan stasiun televisi ini berpihak ke pasangan Prabowo-Hatta karena faktor Aburizal Bakrie. Ketua Umum Partai Golkar ini adalah pemilik TV One dan penyokong Prabowo-Hatta. “Kami tak punya pilihan lain,” kata seorang reporter TV One.

Ketika bertemu dengan Komisi Penyiaran Indonesia, Wakil Pemimpin Redaksi TV One, Toto Suryanto, berdalih ruang redaksi mereka bebas dari intervensi. Toto tak bersedia dimintai penjelasan ihwal tudingan pemilik TV One ikut campur dalam pemberitaan. “Kalau terkait hal itu, silakan tanyakan KPI,” kata Toto.

Anggota KPI, Bekti Nugroho, meminta media penyiaran mementingkan hak publik. Televisi, kata dia, dalam siarannya seyogianya mengedepankan masyarakat umum, bukan kepentingan perorangan atau kelompok. “Media penyiaran mestinya menjaga kredibilitas dalam pemberitaan.” Wayan Agus Purnomo (agus.purnomo@tempo.co.id)

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, pada Rabu, 25 Juni 2014. Berita ini memperlihatkan, betapa besarnya keinginan Pemimpin Redaksi RCTI, Arya Mahendra Sinulingga, untuk menjadikan RCTI sebagai alat politik. Semua kesempatan dia gunakan demi memenuhi keinginannya tersebut, termasuk bertengkar dengan Raymond Rondonuwu, Produser Seputar Indonesia Malam.

Memang berita di atas menunjukkan kegigihan Raymond untuk mempertahankan alasannya tidak memenuhi keinginan Arya. Namun, “kemenangan” Raymond itu berbuntut tidak elok bagi Raymond. Dia tidak boleh lagi menjadi produser Seputar Indonesia Malam. Dia dipindahkan ke bagian Litbang.

Berita di atas juga menunjukkan bahwa intervensi pemilik TV Swasta (yang juga politisi) ke ruang redaksi tidak hanya dilakukan RCTI, tetapi juga Metro TV dan TV One. Dari sisi aturan, perilaku ini keliru. KPI juga berpendapat begitu. Namun, para pemilik TV swasta itu tak peduli. Mereka terus saja begitu. Maka, khalayak yang harus bergerak. Kalau khalayak memang merasa perilaku itu tidak pantas, boikot saja tv swasta itu. Mereka tidak usah nonton tv tersebut.

Kalau sudah begitu, barulah kesungguhan Wayan Agus Purnomo menulis berita ini menemukan bentuknya. Perbuatan baiknya buat khalayak akan berdampak positif.***

Rejodani, 15 Juli 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.