usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 30 Juni 2014


Proses jurnalisme tidak bisa berjalan dengan baik tanpa tatakelola jurnalisme yang terbangun dengan baik. Tatakelola jurnalisme dibangun oleh sebuah mekanisme. Maka proses jurnalisme merupakan implementasi mekanisme tatakelola jurnalisme.
Bila dilihat lebih jauh, mekanisme tatakelola jurnalisme meliputi, pertama, liputan peristiwa/ide. Secara umum terdapat empat peristiwa yang bisa diliput, yakni: (i) peristiwa yang sudah diduga akan terjadi, (ii) peristiwa yang terjadi mendadak sontak, (iii) peristiwa yang direncanakan akan terjadi, dan (iv) gabungan peristiwa terduga dan tidak terduga.
Kecuali peristiwa, seorang reporter bisa juga meliput ide.
Untuk memperoleh fakta dari peristiwa/ide di atas, seorang reporter bisa menggunakan teknik pengumpulan fakta yang lazim. Teknik pengumpulan fakta ini, secara umum terdiri atas observasi, wawancara, konferensi pers, dan press release.
Kedua, penulisan berita. Penulisan berita  secara umum tentu harus patuh pada kaidah-kaidah pokok jurnalisme dan kaidah-kaidah penulis berita yang berlaku dalam sebuah media pers. Kaidah penulisan yang umum meliputi format berita dan teknik penulisan berita. Mengenai format berita, secara umum, terdiri atas berita langsung (straight news), berita ringan (soft news), berita kisah (feature), dan kolom (column), baik yang ditulis awak media pers maupun yang ditulis orang luar.
Ketiga, penyuntingan berita. Penyuntingan berita berawal dari penilaian terhadap berita yang sudah ditulis. Yang menilai, biasanya, redaktur. Sedangkan yang dinilai meliputi redaksi dan substansi berita.
Dalam menilai, redaktur akan melihat: (i) apakah informasi yang disampaikan bisa dipahami oleh pembaca dengan cepat, (ii) apakah framing yang dibuat sesuai dengan framing media bersangkutan, (iii) apakah cara penyajiannya menggunakan bahasa jurnalistik ala media bersangkutan, dan (iv) apakah informasi yang disampaikan mengutamakan kepentingan khalayak (dinkes.slemankab.go.id/wp-content/uploads/2011/11/Editing.ppt, diakses 28 Februari 2014).
Kalau ternyata redaktur menemukan kesalahan pada substansi atau redaksi berita, redaktur berhak menyuruh reporter untuk mengubahnya. Dia akan memberikan check list semua yang perlu diperbaiki. Dalam keadaan begini, reporter bisa mendiskusikannya. Namun, dia tidak kuasa menolak perintah redaktur.
Dalam kondisi tertentu, redaktur bisa saja memperbaiki sendiri kesalahan yang dilakukan redaktur. Dia, dengan pengetahuan dan pengalamannya, bisa menulis ulang berita tersebut sehingga menjadi berita yang efektif untuk ukuran media pers tempatnya bekerja. Kalau ini yang terjadi, tentu reporter tidak perlu repot mencari fakta untuk melengkapi berita, atau menulis ulang berita.
 Pada titik ini, mungkin kita akan bertanya, apa pegangan redaktur dalam menyunting berita? Jawabannya hanya satu: pengetahuan tentang visi, misi, dan kebijakan redaksional media pers tempat dia bekerja. Tegasnya, pengetahuan tentang gambaran ideal medianya dan gambaran ideal khalayak yang akan dibentuk medianya. Bertolak dari pengetahuan inilah dia menyelaraskan isi berita yang ditulis reporter dengan visi, misi, dan kebijakan redaksional media persnya.
Dari jawaban ini kita tentu mengerti bahwa redaktur tahu persis bagaimana mencapai gambaran ideal medianya dan gambaran ideal khalayak yang akan dibentuk medianya. Dia siap memperbaiki segala kesalahan yang terkandung dalam berita, mulai dari muatan isi, tata bahasa, hingga pilihan kata. Dengan kata lain, dia siap mengejawantahkan dirinya sebagai “hati nurani” media pers tempat dia bekerja.
Keempat, penyiaran berita. Penyiaran berita merupakan bagian terakhir dari mekanisme tatakelola jurnalisme. Dalam konteks ini, gatekeeper, biasanya redaktur pelaksana akan meninjau semua berita yang sudah disunting oleh redaktur. Dia, secara struktur, memang memiliki wewenang untuk menentukan apakah sebuah berita layak disiarkan atau tidak.
Secara praktis, gatekeeper akan mengevaluasi sejauh mana berita yang sudah disunting redaktur merupakan implementasi kebijakan redaksional yang berdasarkan visi dan misi media pers bersangkutan. Dia akan menilai apakah fakta yang terkandung dalam berita itu benar dan bersifat objektif sehingga mendorong khalayak berpendapat secara rasional. Yang terakhir ini penting mengingat ia bisa menjadi dasar kuat untuk bisa ambil bagian (sharing) dalam kehidupan publik. 
Dengan begitu, gatekeeper menjadi filter terakhir dalam jajaran redaksi sebuah media pers dalam menentukan laik tidaknya sebuah berita disiarkan. Dia otonom melakukan tugasnya. Dia juga bebas menentukan sikapnya. Tegasnya, gatekeeper memegang kendali sepenuhnya terhadap penyiaran sebuah berita. Keputusannya tidak bisa diganggu gugat. ***
Rejodani, 30 Juni 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.