usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 30 Juni 2014



Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil Dilaporkan Mengintervensi Hasil Pemeriksaan Auditor. Penyelidikan Komite Etik Tidak Berjalan.


Rizal Djalil bangkit dari tempat duduknya. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini lantas menunjuk layar proyektor yang menampilkan data hasil audit aset dan laporan keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2012. “Dari temuan-temuan ini, sulit kami memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP),” katanya kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.

Ini kedua kalinya anggota Dewan Perwakilan Rakyat 1999-2004 itu menyangkal soal tersebut. Dua hari setelah dilantik sebagai orang nomor satu di lembaga auditor negara menggantikan Hadi Poernomo pada 28 April lalu, Rizal menyampaikan bantahan serupa. “Tidak ada praktek jual-beli opini dalam pemeriksaan yang kami lakukan,” ujarnya.

Menurut dia, opini WTP yang diterbitkan Auditor Keuangan Negara VI yang dipimpinnya hanya 13,9 persen dari total semua lembaga yang diperiksanya. “Yang lain 50-70 persen, mengapa tidak dipersoalkan?” katanya. Opini WTP merupakan rapor terbaik dari lima nilai hasil pemeriksaan yang dikeluarkan lembaga tinggi negara itu.

Rizal menganggap maraknya jual-beli opini WTP yang menerpanya salah sasaran. Sebab, auditor di bawahnya paling sedikit memberikan opini WTP. Kecurigaan seharusnya diarahkan ke pimpinan BPK yang paling banyak menerbitkan opini WTP. “Saya bisa membuka semua orang yang menjual WTP,” ujarnya dengan nada tinggi.

Kasus ini mencuat menjelang pemilihan Ketua BPK pada akhir April lalu. Rizal menjadi kandidat terkuat untuk menggantikan Hadi Poernomo, yang pensiun. Ketua lembaga ini dipilih di antara anggota BPK.

Kabar adanya intervensi dalam proses audit Provinsi Kalimantan Tengah tidak datang tiba-tiba. Dua sumber Tempo di BPK mengatakan Rizal sebagai pemimpin Auditorat VI mengintervensi hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK Perwakilan Kalimantan Tengah.

Awalnya tim audit BPK Perwakilan Kalimantan Tengah menyodorkan opini WTP untuk laporan keuangan 2012. Sebelumnya, opini WDP dua tingkat di bawah WTP.

Menurut dia, intervensi itu bermula saat Rizal memanggil tim audit BPK Kalimantan Tengah ke Jakarta. Mereka lalu diminta menjelaskan alasan pemberian opini WTP. “Sejak awal pertemuan itu, auditor sudah tahu penjelasan yang diminta tersebut akal-akalan saja,” kata sumber tadi.

Ketika itu mereka tahu, sebagai pemimpin Auditor VI, Rizal berkukuh mendesak agar opini WTP diturunkan menjadi disclaimer alias tidak dapat diberikan pendapat. Disclaimer tergolong rapor merah dalam sebuah hasil audit.

Para auditor BPK Kalimantan Tengah semakin curiga dengan perlakuan berbeda Rizal. Sang bos merestui usulan opini WTP untuk Kabupaten Gunung Mas. Auditnya juga digarap tim yang sama dengan yang memeriksa Provinsi Kalimantan Tengah.

Menurut sumber tadi, berbeda dengan audit Kalimantan Tengah, tidak ada permintaan pemeriksaan ulang dari Rizal. Laporan keuangan kabupaten yang ketika itu dipimpin Hambit Bintih, terpidana kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, tersebut meluncur aman.

Kecurigaan para anak buah semakin menjadi-jadi karena Rizal dinilai terlalu mengistimewakan Kabupaten Gunung Mas. Tak hanya menyetujui WTP, dia juga datang ke Gunung Mas memimpin seremonial penyematan opini WTP kepada Bupati di depan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gunung Mas pada 20 Agustus 2013. “Dijemput dengan helikopter khusus,” ucap sumber tadi.

Standar ganda yang kentara atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Gunung Mas membuat tim auditor merasa terusik. “Independensi auditor terganggu,” kata salah seorang anggota tim pemeriksa seperti ditirukan sumber Tempo.

Bukan hanya itu, Rizal kemudian juga mencopot Kepala Perwakilan BPK Kalimantan Tengah Maman Abdurahman dan merotasinya ke Nangroe Aceh Darussalam. Jabatan kepala perwakilan kemudian diisi Endang Tuti Kardiani pada Juli 2013.

Maman Abdurahman menolak menjelaskan soal intervensi Rizal. “Saya sudah pindah ke Aceh,” ucapnya. “Soal audit itu, silakan tanya ke BPK Kalimantan Tengah.”
 ***

Kabar adanya intervensi kian kencang setelah Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang mengirim surat protes kepada Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Isinya mempertanyakan opini disclaimer tersebut. Ia menganggap ada beberapa hal yang perlu dijelaskan BPK. Ia menilai opini disclaimer janggal karena aparatnya sudah berusaha keras memperbaiki laporan keuangan sesuai dengan permintaan auditor BPK.

Teras optimistis lembaganya bakal meraih opini WTP untuk laporan keuangan 2012 karena rapor WDP sudah mereka terima pada 2010 dan 2011. Apalagi penerapan Sistem Informasi Manajemen Daerah sudah diterapkan. Namun prediksi itu sirna. “Kami juga terkejut dan heran,” katanya kepada Tempo, Senin pekan lalu.

Politikus PDI Perjuangan itu mencium ada perlakuan yang berubah-ubah dari auditor BPK dalam memeriksa. Ia tak habis pikir opini yang diterimanya lebih buruk ketimbang dua kabupaten di bawahnya, yaitu Gunung Mas dan Sukamara. “Kok, bisa ya?” ujarnya.

Menurut Aritonang, sangat mudah menentukan laporan keuangan pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan standar akuntansi. Sumber utama buruknya laporan keuangan daerah adalah amburadulnya aset. Banyak aset daerah digugat masyarakat gara-gara pemerintah daerah tak kunjung mengurus perizinan. Dalam audit, kondisi ini berpotensi menghasilkan rapor jelek.

Bukan hanya perkara dari Kalimantan Tengah yang menerpa Rizal. Dugaan adanya permainan yang terendus dalam hasil pemeriksaan laporan keuangan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menegah tahun 2012 juga menimpanya. Saat itu, kementerian yang dipimpin politikus Partai Demokrat tersebut mendapat opini wajar tanpa pengecualian-dengan paragraf penjelasan (WTP-DPP). Tahun sebelumnya, kementerian itu mendapat rapor opini WDP.

Seorang auditor yang mengetahui proses audit itu mengatakan opini yang diterima Kementerian Koperasi tidak sesuai dengan usulan tim auditor pemerintah. Semula tim audit menyodorkan hasil pemeriksaan berupa opini WDP. “Namun, karena ada ‘permintaan khusus’ Rizal, opini itu kemudian naik satu tingkat menjadi WTP-DPP,” ujarnya.

Menurut dia, Rizal kerap menelepon tim yang melakukan pemeriksaan di lapangan. Walhasil, temuan perkara korupsi dalam pengadaan di kementerian yang semestinya menjadi catatan penting dalam memberikan opini WDP terpaksa diabaikan tim audit (baca “Kado Menyongsong Remunerasi”).

Rizal membantah beragam tudingan itu. Opini yang diterbitkan Auditorat VI dihasilkan dari proses audit yang transparan. Ia mengklaim, dalam penetapan opini disclaimer untuk Kalimantan Tengah, kinerjanya bersih karena Majelis Kehormatan Kode Etik BPK tidak pernah menanggapi surat yang dikirim Teras Narang. “Enggak sempat dibahas, dibaca saja tidak,” katanya sambil tertawa.
***

Tuduhan miring permainan opini BPK tak hanya menimpa Rizal. Pemimpin BPK lain yang juga disebut-sebut memainkan opini adalah Sapto Amal Damandari. Auditorat Keuangan Negara V yang kala itu dipimpin mantan tenaga ahli Komisi Keuangan dan Perbankan DPR ini membawahkan audit wilayah barat. Salah satunya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pada 2012, pemerintah DKI Jakarta meraih opini WTP. Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama justru terheran-heran provinsinya memperoleh rapor hijau dari BPK. Alasannya, ada potensi kerugian sebesar Rp 400 miliar. Pos paling rawan terjadi kebocoran anggaran adalah pengadaan fasilitas sosial dan umum serta pajak parkir.

Mantan Bupati Belitung Timur yang biasa disapa Ahok itu mengatakan kejanggalan jelas kentara pada pajak parkir sebesar Rp 20 miliar yang lebih kecil ketimbang ongkos pelaksanaan. Beragam keanehan itu, menurut dia, seharusnya membuat rapor keuangan DKI tidak kinclong. “Maksimal WDP, tapi ini WTP. Ada apa dengan BPK?” ujarnya pada November 2012.

Sumber Tempo mengatakan terjadi rekayasa audit laporan keuangan Pemerintah Provinsi Jakarta tahun anggaran 2012. Rekayasa tersebut dilakukan dengan memperkecil jumlah sampling  pemeriksaan. Pejabat yang menetukan jumlah sampling adalah pelaksana teknis. Pejabat inilah yang menjadi penghubung antara Sapto dan pejabat Pemerintah Provinsi Jakarta.

Tujuan mengecilkan jumlah sampling agar kebocoran anggaran di bawah ambang batas yang bisa ditoleransi auditor. Ambang batas ini biasanya diizinkan hanya separuh dari penyimpangan yang dinilai materiil sebesar tiga-lima persen dari total anggaran belanja.

Selain menciutkan sampling, proses pemeriksaan sengaja dibuat tidak lugas. Seorang auditor di BPK Perwakilan Jakarta mengatakan pemeriksaan saluran air dan jalan dilakukan dengan hanya mengecek administrasi tanpa kunjungan lapangan. “Keberadaan aset hanya ditunjukkan lewat data GIS (sistem informasi geografi),” katanya.

Loyonya pemeriksaan juga terjadi pada audit rekening jaminan-kerap disebut rekening transito-pada Badan Pengelola Lingkungan Industri dan Permukiman Pulogadung. Rekening ini merupakan penampung anggaran yang sudah cair tapi proyek belum dikerjakan. “Rekening transito tidak pernah dicek apakah benar ada uangnya atau tidak,” ujarnya.

Sapto membantah mencampuri hasil audit laporan keuangan Provinsi DKI Jakarta, apalagi sampai mengorder khusus untuk memperkecil jumlah sampling. Opini WTP yang diterbitkan pada 2012 mengacu pada usulan tim auditor BPK Perwakilan Jakarta. “Saya tidak pernah mengintervensi.”
 
Akbar Kurniawan, Martha Thertina (Jakarta),
Karana W.W. (Palangkaraya)


Demikian bunyi berita yang disiarkan Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo 2-8 Juni 2014. Dari lead berita sudah terlihat bahwa berita ini menyampaikan bahwa ternyata Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bisa mengintervensi hasil audit yang dilakukan oleh auditor. Sementara isi berita memaparkan bahwa BPK bisa mengakomodasi keinginan pemerintahan provinsi soal laporan keuangannya. Yang penting pimpinan BPK dan pimpinan provinsi yang bersangkutan merasa happy.

Khalayak tentu tidak pernah membayangkan kejadian seperti ini. Mereka masih lugu, menganggap bahwa setiap auditor di BPK itu independen dan BPK juga independen. Maka berita ini membuat mereka kaget. Ternyata BPK tidak independen lagi.

Bersamaan dengan itu, timbul pertanyaan dalam benak khalayak, mengapa BPK tidak independen lagi? Apakah karena Ketua BPK pernah jadi anggota partai politik? Pertanyaan ini masuk akal karena di luar negeri pemimpin dan anggota BPK tidak ada yang berasal dari partai politik. Di Polandia misalnya, kata Koran Tempo, 16 Juni 2014, kalau ada anggota dan pimpinan BPK yang terlibat dalam politik, dia harus mengundurkan diri dari keanggotannya di BPK. Selanjutnya Koran Tempo tersebut menulis:


Setidaknya 2 dari 8 anggota BPK masih terlibat dalam kegiatan praktis: (i) Rizal Djalil (Ketua), mantan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional periode 2004-2009  dan anggota Sentral Organisasi Kekaryaan Swadiri Indonesia (SOKSI) mulai 2013, (ii) Ali Masyukur Musa (Anggota), mantan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, mengikuti Konvensi Demokrat 2013, dan Anggota Dewan Pakar Pemenangan Prabowo-Hatta (2014) (hal. 18).


            Kutipan di atas menunjukkan bahwa Koran Tempo sangat memperhatikan keterlibatan Anggota dan Ketua BPK dalam politik praktis. Bersamaan dengan itu, ia, secara implisit menganjurkan akag anggota dan Ketua BPK yang terlibat politik praktis tersebut segera mengundurkan diri. Yang terakhir ini sesuai dengan Pasal 6 Ayat 2a, Undang-Undang BPK No. 2/2011 tentang Kode Etik BPK, “Pemeriksa, dan Pelaksana BPK lainnya dilarang menunjukkan keberpihakan dan dukungan kepada kegiatan-kegiatan politik praktis”.

            Apakah keinginan Koran Tempo itu akan segera terwujud? Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Yang jelas MBM Tempo melalui berita di atas sudah membuka kesadaran khalayak tentang BPK. Kesadaran ini akan mendorong mereka untuk tidak berhenti mengkritisi BPK. Mereka pun tentu berterima kasih kepada Akbar Kurniawan, Martha Thertina, dan Karana W.W. ***
Rejodani, 30 Juni 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.