Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil
Dilaporkan Mengintervensi Hasil
Pemeriksaan Auditor. Penyelidikan Komite Etik Tidak
Berjalan.
Rizal Djalil bangkit dari tempat
duduknya. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan ini lantas menunjuk layar proyektor yang
menampilkan data hasil audit aset dan laporan keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2012. “Dari
temuan-temuan ini, sulit kami memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP),”
katanya kepada Tempo, Jumat dua pekan lalu.
Ini kedua kalinya anggota Dewan
Perwakilan Rakyat 1999-2004 itu menyangkal soal tersebut. Dua hari setelah
dilantik sebagai orang nomor satu di lembaga auditor negara menggantikan Hadi
Poernomo pada 28 April lalu, Rizal menyampaikan bantahan serupa. “Tidak ada
praktek jual-beli opini dalam pemeriksaan yang kami lakukan,” ujarnya.
Menurut dia, opini WTP yang
diterbitkan Auditor Keuangan Negara VI yang dipimpinnya hanya 13,9 persen dari
total semua lembaga yang diperiksanya. “Yang lain 50-70 persen, mengapa tidak
dipersoalkan?” katanya. Opini WTP merupakan rapor terbaik dari lima nilai hasil
pemeriksaan yang dikeluarkan lembaga tinggi negara itu.
Rizal menganggap maraknya jual-beli
opini WTP yang menerpanya salah sasaran. Sebab, auditor di bawahnya paling
sedikit memberikan opini WTP. Kecurigaan seharusnya diarahkan ke pimpinan BPK
yang paling banyak menerbitkan opini WTP. “Saya bisa membuka semua orang yang
menjual WTP,” ujarnya dengan nada tinggi.
Kasus ini mencuat menjelang pemilihan
Ketua BPK pada akhir April lalu. Rizal menjadi kandidat terkuat untuk
menggantikan Hadi Poernomo, yang pensiun. Ketua lembaga ini dipilih di antara
anggota BPK.
Kabar adanya intervensi dalam proses
audit Provinsi Kalimantan Tengah tidak datang tiba-tiba. Dua sumber Tempo di
BPK mengatakan Rizal sebagai pemimpin Auditorat VI mengintervensi hasil
pemeriksaan yang dilakukan BPK Perwakilan Kalimantan Tengah.
Awalnya tim audit BPK Perwakilan Kalimantan
Tengah menyodorkan opini WTP untuk laporan keuangan 2012. Sebelumnya, opini WDP
dua tingkat di bawah WTP.
Menurut dia, intervensi itu bermula
saat Rizal memanggil tim audit BPK Kalimantan Tengah ke Jakarta. Mereka lalu
diminta menjelaskan alasan pemberian opini WTP. “Sejak awal pertemuan itu,
auditor sudah tahu penjelasan yang diminta tersebut akal-akalan saja,” kata
sumber tadi.
Ketika itu mereka tahu, sebagai
pemimpin Auditor VI, Rizal berkukuh mendesak agar opini WTP diturunkan menjadi disclaimer
alias tidak dapat diberikan pendapat. Disclaimer tergolong rapor
merah dalam sebuah hasil audit.
Para auditor BPK Kalimantan Tengah
semakin curiga dengan perlakuan berbeda Rizal. Sang bos merestui usulan opini
WTP untuk Kabupaten Gunung Mas. Auditnya juga digarap tim yang sama dengan yang
memeriksa Provinsi Kalimantan Tengah.
Menurut sumber tadi, berbeda dengan
audit Kalimantan Tengah, tidak ada permintaan pemeriksaan ulang dari Rizal.
Laporan keuangan kabupaten yang ketika itu dipimpin Hambit Bintih, terpidana
kasus suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, tersebut meluncur aman.
Kecurigaan para anak buah semakin
menjadi-jadi karena Rizal dinilai terlalu mengistimewakan Kabupaten Gunung Mas.
Tak hanya menyetujui WTP, dia juga datang ke Gunung Mas memimpin seremonial
penyematan opini WTP kepada Bupati di depan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Gunung Mas pada 20 Agustus 2013. “Dijemput dengan helikopter khusus,”
ucap sumber tadi.
Standar ganda yang kentara atas
laporan keuangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Gunung Mas
membuat tim auditor merasa terusik. “Independensi auditor terganggu,” kata
salah seorang anggota tim pemeriksa seperti ditirukan sumber Tempo.
Bukan hanya itu, Rizal kemudian juga
mencopot Kepala Perwakilan BPK Kalimantan Tengah Maman Abdurahman dan
merotasinya ke Nangroe Aceh Darussalam. Jabatan kepala perwakilan kemudian
diisi Endang Tuti Kardiani pada Juli 2013.
Maman Abdurahman menolak menjelaskan
soal intervensi Rizal. “Saya sudah pindah ke Aceh,” ucapnya. “Soal audit itu,
silakan tanya ke BPK Kalimantan Tengah.”
***
Kabar adanya intervensi kian kencang
setelah Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang mengirim surat protes
kepada Majelis Kehormatan Kode Etik BPK. Isinya mempertanyakan opini disclaimer
tersebut. Ia menganggap ada beberapa hal yang perlu dijelaskan BPK. Ia
menilai opini disclaimer janggal karena aparatnya sudah berusaha keras
memperbaiki laporan keuangan sesuai dengan permintaan auditor BPK.
Teras optimistis lembaganya bakal
meraih opini WTP untuk laporan keuangan 2012 karena rapor WDP sudah mereka
terima pada 2010 dan 2011. Apalagi penerapan Sistem Informasi Manajemen Daerah
sudah diterapkan. Namun prediksi itu sirna. “Kami juga terkejut dan heran,”
katanya kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Politikus PDI Perjuangan itu mencium
ada perlakuan yang berubah-ubah dari auditor BPK dalam memeriksa. Ia tak habis
pikir opini yang diterimanya lebih buruk ketimbang dua kabupaten di bawahnya,
yaitu Gunung Mas dan Sukamara. “Kok, bisa ya?” ujarnya.
Menurut Aritonang, sangat mudah
menentukan laporan keuangan pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan standar
akuntansi. Sumber utama buruknya laporan keuangan daerah adalah amburadulnya
aset. Banyak aset daerah digugat masyarakat gara-gara pemerintah daerah tak
kunjung mengurus perizinan. Dalam audit, kondisi ini berpotensi menghasilkan
rapor jelek.
Bukan hanya perkara dari Kalimantan
Tengah yang menerpa Rizal. Dugaan adanya permainan yang terendus dalam hasil
pemeriksaan laporan keuangan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menegah tahun
2012 juga menimpanya. Saat itu, kementerian yang dipimpin politikus Partai
Demokrat tersebut mendapat opini wajar tanpa pengecualian-dengan paragraf
penjelasan (WTP-DPP). Tahun sebelumnya, kementerian itu mendapat rapor opini
WDP.
Seorang auditor yang mengetahui proses
audit itu mengatakan opini yang diterima Kementerian Koperasi tidak sesuai
dengan usulan tim auditor pemerintah. Semula tim audit menyodorkan hasil
pemeriksaan berupa opini WDP. “Namun, karena ada ‘permintaan khusus’ Rizal,
opini itu kemudian naik satu tingkat menjadi WTP-DPP,” ujarnya.
Menurut dia, Rizal kerap menelepon tim
yang melakukan pemeriksaan di lapangan. Walhasil, temuan perkara korupsi dalam
pengadaan di kementerian yang semestinya menjadi catatan penting dalam
memberikan opini WDP terpaksa diabaikan tim audit (baca “Kado Menyongsong
Remunerasi”).
Rizal membantah beragam tudingan itu.
Opini yang diterbitkan Auditorat VI dihasilkan dari proses audit yang
transparan. Ia mengklaim, dalam penetapan opini disclaimer untuk
Kalimantan Tengah, kinerjanya bersih karena Majelis Kehormatan Kode Etik BPK
tidak pernah menanggapi surat yang dikirim Teras Narang. “Enggak sempat
dibahas, dibaca saja tidak,” katanya sambil tertawa.
***
Tuduhan miring permainan opini BPK tak
hanya menimpa Rizal. Pemimpin BPK lain yang juga disebut-sebut memainkan opini
adalah Sapto Amal Damandari. Auditorat Keuangan Negara V yang kala itu dipimpin
mantan tenaga ahli Komisi Keuangan dan Perbankan DPR ini membawahkan audit
wilayah barat. Salah satunya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pada 2012, pemerintah DKI Jakarta
meraih opini WTP. Wakil Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama justru
terheran-heran provinsinya memperoleh rapor hijau dari BPK. Alasannya, ada
potensi kerugian sebesar Rp 400 miliar. Pos paling rawan terjadi kebocoran
anggaran adalah pengadaan fasilitas sosial dan umum serta pajak parkir.
Mantan Bupati Belitung Timur yang
biasa disapa Ahok itu mengatakan kejanggalan jelas kentara pada pajak parkir
sebesar Rp 20 miliar yang lebih kecil ketimbang ongkos pelaksanaan. Beragam
keanehan itu, menurut dia, seharusnya membuat rapor keuangan DKI tidak
kinclong. “Maksimal WDP, tapi ini WTP. Ada apa dengan BPK?” ujarnya pada
November 2012.
Sumber Tempo mengatakan terjadi
rekayasa audit laporan keuangan Pemerintah Provinsi Jakarta tahun anggaran
2012. Rekayasa tersebut dilakukan dengan memperkecil jumlah sampling pemeriksaan. Pejabat yang menetukan jumlah sampling
adalah pelaksana teknis. Pejabat inilah yang menjadi penghubung antara Sapto
dan pejabat Pemerintah Provinsi Jakarta.
Tujuan mengecilkan jumlah sampling agar
kebocoran anggaran di bawah ambang batas yang bisa ditoleransi auditor. Ambang
batas ini biasanya diizinkan hanya separuh dari penyimpangan yang dinilai
materiil sebesar tiga-lima persen dari total anggaran belanja.
Selain menciutkan sampling, proses
pemeriksaan sengaja dibuat tidak lugas. Seorang auditor di BPK Perwakilan
Jakarta mengatakan pemeriksaan saluran air dan jalan dilakukan dengan hanya
mengecek administrasi tanpa kunjungan lapangan. “Keberadaan aset hanya
ditunjukkan lewat data GIS (sistem informasi geografi),” katanya.
Loyonya pemeriksaan juga terjadi pada
audit rekening jaminan-kerap disebut rekening transito-pada Badan Pengelola
Lingkungan Industri dan Permukiman Pulogadung. Rekening ini merupakan penampung
anggaran yang sudah cair tapi proyek belum dikerjakan. “Rekening transito tidak
pernah dicek apakah benar ada uangnya atau tidak,” ujarnya.
Sapto membantah mencampuri hasil audit
laporan keuangan Provinsi DKI Jakarta, apalagi sampai mengorder khusus untuk
memperkecil jumlah sampling. Opini WTP yang diterbitkan pada 2012
mengacu pada usulan tim auditor BPK Perwakilan Jakarta. “Saya tidak pernah
mengintervensi.”
Akbar
Kurniawan, Martha Thertina (Jakarta),
Karana
W.W. (Palangkaraya)
Demikian bunyi berita yang disiarkan Majalah Berita Mingguan
(MBM) Tempo 2-8 Juni 2014. Dari lead berita sudah terlihat bahwa berita
ini menyampaikan bahwa ternyata Ketua Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) bisa mengintervensi hasil audit yang dilakukan oleh auditor. Sementara
isi berita memaparkan bahwa BPK bisa mengakomodasi keinginan pemerintahan
provinsi soal laporan keuangannya. Yang penting pimpinan BPK dan pimpinan
provinsi yang bersangkutan merasa happy.
Khalayak tentu tidak pernah membayangkan kejadian seperti ini.
Mereka masih lugu, menganggap bahwa setiap auditor di BPK itu independen dan
BPK juga independen. Maka berita ini membuat mereka kaget. Ternyata BPK tidak
independen lagi.
Bersamaan dengan itu, timbul pertanyaan dalam benak khalayak,
mengapa BPK tidak independen lagi? Apakah karena Ketua BPK pernah jadi anggota
partai politik? Pertanyaan ini masuk akal karena di luar negeri pemimpin dan
anggota BPK tidak ada yang berasal dari partai politik. Di Polandia misalnya,
kata Koran Tempo, 16 Juni 2014, kalau
ada anggota dan pimpinan BPK yang terlibat dalam politik, dia harus
mengundurkan diri dari keanggotannya di BPK. Selanjutnya Koran Tempo tersebut menulis:
Setidaknya 2 dari 8 anggota BPK masih terlibat dalam kegiatan praktis: (i) Rizal Djalil (Ketua), mantan anggota DPR dari Partai Amanat Nasional periode 2004-2009 dan anggota Sentral Organisasi Kekaryaan Swadiri Indonesia (SOKSI) mulai 2013, (ii) Ali Masyukur Musa (Anggota), mantan anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, mengikuti Konvensi Demokrat 2013, dan Anggota Dewan Pakar Pemenangan Prabowo-Hatta (2014) (hal. 18).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Koran Tempo sangat memperhatikan
keterlibatan Anggota dan Ketua BPK dalam politik praktis. Bersamaan dengan itu,
ia, secara implisit menganjurkan akag anggota dan Ketua BPK yang terlibat
politik praktis tersebut segera mengundurkan diri. Yang terakhir ini sesuai
dengan Pasal 6 Ayat 2a, Undang-Undang BPK No. 2/2011 tentang Kode Etik BPK,
“Pemeriksa, dan Pelaksana BPK lainnya dilarang menunjukkan keberpihakan dan
dukungan kepada kegiatan-kegiatan politik praktis”.
Apakah keinginan Koran Tempo itu akan segera terwujud?
Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Yang jelas MBM Tempo melalui berita di atas sudah membuka kesadaran khalayak
tentang BPK. Kesadaran ini akan mendorong mereka untuk tidak berhenti
mengkritisi BPK. Mereka pun tentu berterima kasih kepada Akbar Kurniawan,
Martha Thertina, dan Karana W.W. ***
Rejodani, 30 Juni 2014


0 komentar:
Posting Komentar