usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Minggu, 01 Juni 2014


            Kata-kata dan tindakan manusia sama sekali tidak bermakna jika tidak diletakkan dalam konteks (Bateson, 1988). Itulah sebabnya para orang bijak tidak buru-buru memaknai pembicaraan atau tindakan seseorang. Mereka akan menghubungkan pembicaraan atau tindakan itu dengan nilai-nilai yang berlaku. Khusus untuk pembicaraan, biasanya mereka akan menghubungkannya dengan nilai-nilai yang tersirat (Liliweri, 2011).

Jurnalisme juga bagitu. Ia tidak bermakna kalau tidak diletakkan dalam konteks yang benar. Maka persoalan yang kemudian muncul adalah, apa yang menjadi konteks jurnalisme?

Konteks jurnalisme adalah sistem pers. Hasil jurnalisme tidak akan bisa dipahami dengan baik tanpa mengaitkannya dengan sistem pers. Itulah sebabnya pengamat dan praktisi jurnalisme perlu mengetahui sistem pers. Bagi mereka sistem pers adalah ibarat rumah bagi jurnalisme. Sistem pers, bahkan, bisa memberikan arahan pada jurnalisme.

Bertolak dari sini, agaknya kira kita bisa membayangkan bagaimana media pers memanfaatkan jurnalisme. Ketika sebuah negara menganut sistem pers libertarian, media
pers bebas menyiarkan berita sesuai paham yang dianutnya. Jurnalisme menjadi alat untuk mencerdaskan khalayak.

Pada saat sebuah negara menganut sistem pers otoritarian, media pers bebas menyiarkan berita sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh rezim penguasa. Jurnalisme, bahkan, menjadi alat kekuasaan untuk menjajah rakyat. Akibatnya, jurnalisme terpasung.

Tatkala sebuah negara menganut pers komunis. Media pers bebas menyiarkan berita sesuai dengan nilai-nilai yang dikandung partai komunis. Jurnalisme menjadi salah satu alat propaganda komunis. Jurnalisme pun terperangkap.

            Sewaktu sebuah negara menganut sistem media tanggung jawab sosial, media pers bebas menyiarkan berita sesuai dengan moral masyarakat. Jurnalisme menjadi alat untuk menjaga moral masyarakat. Masyarakat dianggap belum selektif dalam menerima dan menyaring informasi yang diberikan media pers. Jurnalisme menjadi terkungkung.

            Pada saat sebuah negara menganut sistem media pembangunan, media pers bebas menyiarkan berita sesuai dengan kaidah-kaidah pembangunan. Tanpa sadar jurnalisme meluncur menjadi alat pembangunan. Ini pernah dialami Indonesia pada masa orde baru.

Ketika sebuah negara menganut sistem media demokratik partisipan, media pers bebas menyiarkan berita sesuai dengan kaidah demokrasi. Jurnalisme menjadi alat berekspresi.

Uraian singkat di atas mendidik kita untuk tidak buru-buru menghakimi hasil jurnalisme Indonesia. Kita harus mengerti lebih dulu tentang sistem pers yang dianut Indonesia sebelum menilai jurnalisme Indonesia. Tegasnya, sistem pers adalah ibarat pohon, sedangkan jurnalisme adalah cabangnya. Cabang bergantung pada pohon.***
Rejodani, 30 Mei 2014


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.