usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Kamis, 22 Mei 2014

Ada pihak yang takut kepada media pers. Ada pula kalangan yang merasa sakit hati kepada media pers. Ada, bahkan, tokoh yang selalu ingin marah kepada media pers. Wajar bila kemudian muncul pertanyaan, apa sih kekuatan media pers?
Kekuatan media pers terletak pada berita-berita yang disiarkannya. Kalau sebuah media pers selalu menyiarkan berita yang selalu mengkritik, dan menegur pemerintah, tentu saja pemerintah ingin marah kepada media pers bersangkutan. Kalau sebuah media pers hampir selalu menyiarkan berita yang memberdayakan rakyat ketika harus berhadapan dengan pemerintah, tentu saja pemerintah merasa sakit hati kepada media pers itu. Tidak heran bila pada zaman orde baru dulu pemerintah mengontrol berita  yang akan disiarkan media pers.
Kalau begitu, yang sebenarnya menjadi momok pemerintah adalah berita. Padahal berita dihasilkan oleh jurnalisme. Maka, pertanyaan yang pantas diajukan adalah apa sih kekuatan jurnalisme?
Untuk mencapai tujuan jurnalisme (baca: tujuan jurnalisme dalam blog ini), para wartawan menatakelola jurnalisme. Tatakelola jurnalisme terdiri atas dua komponen, yakni struktur jurnalisme dan proses jurnalisme. Yang tergabung dalam struktur jurnalisme adalah wartawan dan kebijakan redaksional. Sedangkan yang termasuk proses jurnalisme adalah liputan fakta, penulisan berita, penyuntingan berita, dan penyiaran berita.
Maka, kekuatan jurnalisme dibentuk oleh tatakelola jurnalisme. Kalau tatakelola jurnalisme menghasilkan berita yang ideal, mulai dari teknis jurnalismenya, wacana yang dikandungnya, dan respons khalayak terhadap berita, maka jurnalismenya kuat. Sebaliknya, bila tatakelola jurnalisme menghasilkan berita yang tidak ideal, jurnalismenya lemah.
Jadi, kekuatan jurnalisme itu dibangun oleh: (i) teknis jurnalisme yang prima, (ii) wacana yang tepat untuk khalayak, dan (iii) respons khalayak yang pas. Kalau salah satu syarat itu tidak terpenuhi, kekuatan jurnalisme berkurang. Kalau sudah berkurang, tentu berita yang dihasilkannya tidak akan berpengaruh pada khalayak yang membacanya.
Dalam imajinasi para wartawan, kekuatan jurnalisme itu harus tergambar dalam setiap berita yang disiarkannya. Namun, tidak banyak wartawan yang benar-benar ikhlas memproses diri agar memiliki keterampilan jurnalisme yang prima. Tidak banyak pula wartawan yang mau repot mem-framing berita agar menghasilkan wacana yang akan ditangkap khalayak. Sudah begitu, sedikit jumlah wartawan yang mau bersusah-payah membayangkan respons khalayak dari berita yang ditulisnya. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin kita mengharapkan kekuatan jurnalisme itu muncul dalam berita yang dihasilkannya?***
Rejodani, 14 Mei 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.