Ada pihak yang takut
kepada media pers. Ada pula kalangan yang merasa sakit hati kepada media pers.
Ada, bahkan, tokoh yang selalu ingin marah kepada media pers. Wajar bila
kemudian muncul pertanyaan, apa sih
kekuatan media pers?
Kekuatan media pers
terletak pada berita-berita yang disiarkannya. Kalau sebuah media pers selalu
menyiarkan berita yang selalu mengkritik, dan menegur pemerintah, tentu saja
pemerintah ingin marah kepada media pers bersangkutan. Kalau sebuah media pers
hampir selalu menyiarkan berita yang memberdayakan rakyat ketika harus berhadapan
dengan pemerintah, tentu saja pemerintah merasa sakit hati kepada media pers
itu. Tidak heran bila pada zaman orde baru dulu pemerintah mengontrol
berita yang akan disiarkan media pers.
Kalau begitu, yang
sebenarnya menjadi momok pemerintah adalah berita. Padahal berita dihasilkan
oleh jurnalisme. Maka, pertanyaan yang pantas diajukan adalah apa sih kekuatan jurnalisme?
Untuk mencapai
tujuan jurnalisme (baca: tujuan
jurnalisme dalam blog ini), para wartawan menatakelola jurnalisme.
Tatakelola jurnalisme terdiri atas dua komponen, yakni struktur jurnalisme dan
proses jurnalisme. Yang tergabung dalam struktur jurnalisme adalah wartawan dan
kebijakan redaksional. Sedangkan yang termasuk proses jurnalisme adalah liputan
fakta, penulisan berita, penyuntingan berita, dan penyiaran berita.
Maka, kekuatan
jurnalisme dibentuk oleh tatakelola jurnalisme. Kalau tatakelola jurnalisme
menghasilkan berita yang ideal, mulai dari teknis jurnalismenya, wacana yang
dikandungnya, dan respons khalayak terhadap berita, maka jurnalismenya kuat.
Sebaliknya, bila tatakelola jurnalisme menghasilkan berita yang tidak ideal,
jurnalismenya lemah.
Jadi, kekuatan
jurnalisme itu dibangun oleh: (i) teknis jurnalisme yang prima, (ii) wacana
yang tepat untuk khalayak, dan (iii) respons khalayak yang pas. Kalau salah
satu syarat itu tidak terpenuhi, kekuatan jurnalisme berkurang. Kalau sudah
berkurang, tentu berita yang dihasilkannya tidak akan berpengaruh pada khalayak
yang membacanya.
Dalam imajinasi para
wartawan, kekuatan jurnalisme itu harus tergambar dalam setiap berita yang
disiarkannya. Namun, tidak banyak wartawan yang benar-benar ikhlas memproses
diri agar memiliki keterampilan jurnalisme yang prima. Tidak banyak pula
wartawan yang mau repot mem-framing
berita agar menghasilkan wacana yang akan ditangkap khalayak. Sudah begitu,
sedikit jumlah wartawan yang mau bersusah-payah membayangkan respons khalayak dari
berita yang ditulisnya. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin kita mengharapkan
kekuatan jurnalisme itu muncul dalam berita yang dihasilkannya?***
Rejodani, 14 Mei 2014


0 komentar:
Posting Komentar