usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 02 April 2014

Kita tentu masih ingat bahwa berita-berita tentang skandal Watergate disiarkan oleh the Washington Post bulan Juni 1972. Berita-berita tersebut bisa tersiar berkat implementasi jurnalisme politik. Semua berita itu memang kemudian membuat Richard Nixon mengundurkan diri sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Namun, bisakah kita mengatakan bahwa jurnalisme politik lah yang menyebabkan Richard Nixon berhenti sebagai Presiden AS?

Tidak bisa. Yang menjadi penyebab pengunduran Richard Nixon sebagai Presiden AS adalah rasa tanggung jawabnya atas perbuatan orang-orang di sekitarnya (all the President’s men) yang melakukan perbuatan tercela terhadap Kantor Pusat Partai Demokrat (Kisah tentang perbuatan orang-orang terdekat Richard Nixon ini bisa dibaca dalam buku berjudul All the President’s Men karya Carl Bernstein dan Bob Woodward yang diterbitkan oleh Simon and Schuster tahun 1974). The Washington Post menyiarkan berita tentang perbuatan tercela tersebut. Ketika berita itu terungkap ke publik, Richard Nixon merasa terpojok dan malu besar. Dia lantas mengundurkan diri sebagai Presiden AS.

Maka kita tentu mengerti bahwa jurnalisme politik bukan alat untuk memaksa mundur seorang Presiden, tidak pula alat untuk memakzulkan seorang Presiden. Ia hanya cara yang memungkinkan media pers untuk menyiarkan kebenaran kepada khalayak. Ia tidak cukup hanya memenuhi semua proses untuk menyiarkan berita, tetapi juga meyakinkan reporter, redaktur dan gatekeepers untuk hanya menyiarkan kebenaran. Untuk itu, ia harus mampu meyakinkan wartawan untuk memperoleh kebenaran sebelum menyiarkannya jadi berita.

Lalu, apa sebenarnya pegangan para wartawan dalam memperoleh kebenaran? Pegangan mereka, kata Ashadi Siregar (2009), adalah pertama, benar secara ontologis. Kebenaran ini bisa diperoleh kalau fakta memiliki sumber berita. Fakta tersebut bisa dilacak sumbernya.

Kedua, benar secara hukum formal. Kebenaran ini bisa diperoleh kalau fakta tidak melanggar undang-undang. Fakta itu tidak bermasalah ketika dikonfirmasikan dengan undang-undang.

Ketiga, benar menurut hak asasi manusia. Kebenaran ini bisa diperoleh kalau fakta tidak melanggar hak asasi manusia. Dalam konteks ini, wartawan perlu menghayati Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Keempat, benar karena dianggap benar oleh masyarakat. Kebenaran ini bisa diperoleh kalau faktanya sudah menjadi sesuatu yang dianggap benar dalam masyarakat. Fakta tersebut sudah menjadi wacana dalam kehidupan masyarakat.***

Birugo Puhun, 29 Maret 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.