Kita tentu masih ingat bahwa
berita-berita tentang skandal Watergate disiarkan oleh the
Washington Post bulan Juni 1972. Berita-berita tersebut bisa
tersiar berkat implementasi jurnalisme politik. Semua berita itu
memang kemudian membuat Richard Nixon mengundurkan diri sebagai
Presiden Amerika Serikat (AS). Namun, bisakah kita mengatakan bahwa
jurnalisme politik lah yang menyebabkan Richard Nixon berhenti
sebagai Presiden AS?
Tidak bisa. Yang menjadi penyebab
pengunduran Richard Nixon sebagai Presiden AS adalah rasa tanggung
jawabnya atas perbuatan orang-orang di sekitarnya (all the
President’s men) yang melakukan perbuatan tercela terhadap
Kantor Pusat Partai Demokrat (Kisah tentang perbuatan orang-orang
terdekat Richard Nixon ini bisa dibaca dalam buku berjudul All the
President’s Men karya Carl Bernstein dan Bob Woodward yang
diterbitkan oleh Simon and Schuster tahun 1974). The Washington
Post menyiarkan berita tentang perbuatan tercela tersebut. Ketika
berita itu terungkap ke publik, Richard Nixon merasa terpojok dan
malu besar. Dia lantas mengundurkan diri sebagai Presiden AS.
Maka kita tentu mengerti bahwa
jurnalisme politik bukan alat untuk memaksa mundur seorang Presiden,
tidak pula alat untuk memakzulkan seorang Presiden. Ia hanya cara
yang memungkinkan media pers untuk menyiarkan kebenaran kepada
khalayak. Ia tidak cukup hanya memenuhi semua proses untuk menyiarkan
berita, tetapi juga meyakinkan reporter, redaktur dan gatekeepers
untuk hanya menyiarkan kebenaran. Untuk itu, ia harus mampu
meyakinkan wartawan untuk memperoleh kebenaran sebelum menyiarkannya
jadi berita.
Lalu, apa sebenarnya pegangan
para wartawan dalam memperoleh kebenaran? Pegangan mereka, kata
Ashadi Siregar (2009), adalah pertama, benar secara ontologis.
Kebenaran ini bisa diperoleh kalau fakta memiliki sumber berita.
Fakta tersebut bisa dilacak sumbernya.
Kedua, benar secara hukum
formal. Kebenaran ini bisa diperoleh kalau fakta tidak melanggar
undang-undang. Fakta itu tidak bermasalah ketika dikonfirmasikan
dengan undang-undang.
Ketiga, benar menurut hak
asasi manusia. Kebenaran ini bisa diperoleh kalau fakta tidak
melanggar hak asasi manusia. Dalam konteks ini, wartawan perlu
menghayati Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Keempat, benar karena
dianggap benar oleh masyarakat. Kebenaran ini bisa diperoleh kalau
faktanya sudah menjadi sesuatu yang dianggap benar dalam masyarakat.
Fakta tersebut sudah menjadi wacana dalam kehidupan masyarakat.***
Birugo Puhun, 29 Maret 2014


0 komentar:
Posting Komentar