Rasa
empati haruslah ditumbuhkan agar setiap orang yang melihat kejadian
seperti yang dialami Aisyah segera menolong atau minimal melapor ke
pihak terkait.
Derita Siti Aisyah, bocah berusia
8 tahun yang terpaksa putus sekolah demi merawat ayahnya, Muhammad
Nawawi Pulungan, 54, dengan hidup menggelandang di atas becak,
merupakan cerminan dari matinya rasa solidaritas warga terhadap
sesamanya.
“Kasus Aisyah yang harus
menggelandang sembari membawa ayahnya yang dibaringkan di atas becak
selama 3 tahun sebetulnya tidak perlu terjadi jika rasa gotong royong
masih ada,” sebut sosiolog Emilia Hambali saat dihubungi, kemarin.
Aisyah dan ayahnya, Nawawi, yang
terkulai lemas di atas becak, terpaksa tinggal di pinggiran toko di
Kota Medan. Itu disebabkan Nawawi kehabisan uang untuk mengobati
penyakit komplikasi yang dideritanya dan tidak mampu membayar
kontrakan rumah. Mereka tinggal dan beraktivitas di atas becak itu.
Malam hari mereka memarkirkan becaknya di depan teras rumah warga di
seputar Jalan Sisingamangaraja. Jika pagi tiba, mereka pindah di
sekitar Masjid Raya. Aisyah lah mendayung becak itu.
Secara logika, lanjut Emilia,
mustahil warga yang berlalu lalang di seputar jalan dan Masjid Raya
tidak melihat penderitaan kedua insane papa tersebut. Intinya, mereka
melihat, tetapi hanya berpangku tangan.
Fenomena seperti ini, sambung
dia, terjadi di banyak tempat. Berangkat dari hal ini, Emilia berani
menggaransi bahwa budaya luhur peninggalan nenek moyang, yakni rasa
gotong royong, rupanya sudah luntur di tengah masyarakat kita dan
berganti dengan sikap individualisme.
“Kalau masyarakat masih guyub,
pasti ada Pak RT atau Pak RW yang akan membantu. Tetapi, itulah
kehidupan perkotaan,” ujar Emilia.
Hal senada juga diungkapkan Ketua
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh.
Menurut Asrorun, rasa empati haruslah ditumbuhkan agar setiap orang
yang melihat kejadian seperti yang dialami Aisyah dapat segera
menolong atau minimal melapor ke pihak terkait.
Ditinggal
ibu
Saat disambangi di Rumah Sakit
(RS) Pirngadi, Medan, sembari terbaring, Nawawi mengisahkan, semenjak
berusia 1 tahun Aisyah sudah ditinggal ibunya. “Sebelum saya
meninggal, saya berharap Aisyah bisa bertemu ibunya,” pesan Nawawi.
Saat meninggalkan Aisyah, sang
ibu membawa anak lelakinya. “Kata ayah, ibu bawa abang pergi ketika
meninggalkan kami. Sampai sekarang kami tidak tahu di mana ibu
berada,” ujar Aisyah yang setia mendampingi sang ayah.
Kisah penderitaan Aisyah yang
hidup miskin dan setia merawat ayahnya yang menderita penyakit
komplikasi paru-paru mendapat perhatian banyak pihak. Terlebih sejak
balita Aisyah telah terpisah dari ibu kandungnya.
Teman-teman seusianya dari SD
Bhayangkari Medan pun tersentuh untuk meringankan beban Aisyah. Para
siswa SD itu menyisihkan uang jajan untuk diberikan kepada Aisyah.
“Kami telah menyisihkan uang jajan untuk membantu Aisyah. Nanti
kami akan serahkan kepada Aisyah,” ujar Vira, siswi SD Bhayangkari
Medan. (Fat/Ant/S-4).
Itulah
isi berita yang disiarkan Media
Indonesia, Minggu, 23
Maret 2014 di halaman 4. Berita yang ditulis oleh Yenizar Lubis
(beralamat di Yenizar@mediaindonesia.com)
tersebut membuat kita terhenyak. Ternyata akal sehat dan nurani
masyarakat di sekitar Jalan Sisingamangaraja dan di sekitar Masjid
Raya Medan sudah lumpuh. Perasaan mereka sebagai sesama anak bangsa
sudah tumpul. Mereka sudah hidup terkotak-kotak. Mereka hanya risau
dengan nasib mereka sendiri.
Apakah
ini merupakan hasil apa yang kita kenal sebagai “ekonomi pasar”?
Kalau ya, masihkah kita percaya dengan jargon bahwa pasar bisa
mengatur dirinya sendiri? Kalau tidak, tentu negara harus berpikir
ulang untuk mengatur sistem ekonomi Indonesia.
Dari
sisi jurnalisme, berita di atas akan melahirkan pertanyaan, bagaimana
Yenizar bisa memperoleh fakta yang kemudian dia susun menjadi berita
seperti tersebut di atas? Kita tentu membayangkan bahwa Yenizar turun
secara tuntas ke lapangan. Dia tidak cepat-cepat mengumpulkan fakta.
Sebaliknya, dia memanfaatkan kepekaan matanya yang tajam. Dengan
hasil itu, dia bisa menulis berita dengan kaya dan berkesan.
Lebih
dari itu, Yenizar menjadikan mereka yang miskin, yang menderita, dan
yang terpinggirkan sebagai sasaran jurnalismenya. Pilihan Yenizar
terasa sangat cerdas. Di tengah belantara berita politik yang keras,
berita tentang nasib Aisyah dan ayahnya terasa sangat humanis. Berita
tersebut mengingatkan mereka yang mapan untuk melihat sejenak ke
bawah, ternyata masih banyak orang yang butuh pertolongan.
Bila
dikaitkan dengan keberpihakan, ternyata Yenizar berpihak kepada
mereka yang miskin dan menderita. Keberpihakan itu tentu saja bukan
kebetulan, melainkan dengan sengaja. Keberpihakan itu hendaklah kita
baca bahwa Yenizar ingin memperjuangkan nasib mereka yang miskin dan
menderita lewat berita. Pada titik ini sebenarnya dia sudah
mempraktikkan jurnalisme yang ideal. Bravo Yenizar!***
Rejodani,
30 Maret 2014


0 komentar:
Posting Komentar