usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Rabu, 02 April 2014




Rasa empati haruslah ditumbuhkan agar setiap orang yang melihat kejadian seperti yang dialami Aisyah segera menolong atau minimal melapor ke pihak terkait.

Derita Siti Aisyah, bocah berusia 8 tahun yang terpaksa putus sekolah demi merawat ayahnya, Muhammad Nawawi Pulungan, 54, dengan hidup menggelandang di atas becak, merupakan cerminan dari matinya rasa solidaritas warga terhadap sesamanya.

“Kasus Aisyah yang harus menggelandang sembari membawa ayahnya yang dibaringkan di atas becak selama 3 tahun sebetulnya tidak perlu terjadi jika rasa gotong royong masih ada,” sebut sosiolog Emilia Hambali saat dihubungi, kemarin.

Aisyah dan ayahnya, Nawawi, yang terkulai lemas di atas becak, terpaksa tinggal di pinggiran toko di Kota Medan. Itu disebabkan Nawawi kehabisan uang untuk mengobati penyakit komplikasi yang dideritanya dan tidak mampu membayar kontrakan rumah. Mereka tinggal dan beraktivitas di atas becak itu. Malam hari mereka memarkirkan becaknya di depan teras rumah warga di seputar Jalan Sisingamangaraja. Jika pagi tiba, mereka pindah di sekitar Masjid Raya. Aisyah lah mendayung becak itu.

Secara logika, lanjut Emilia, mustahil warga yang berlalu lalang di seputar jalan dan Masjid Raya tidak melihat penderitaan kedua insane papa tersebut. Intinya, mereka melihat, tetapi hanya berpangku tangan.

Fenomena seperti ini, sambung dia, terjadi di banyak tempat. Berangkat dari hal ini, Emilia berani menggaransi bahwa budaya luhur peninggalan nenek moyang, yakni rasa gotong royong, rupanya sudah luntur di tengah masyarakat kita dan berganti dengan sikap individualisme.

“Kalau masyarakat masih guyub, pasti ada Pak RT atau Pak RW yang akan membantu. Tetapi, itulah kehidupan perkotaan,” ujar Emilia.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh. Menurut Asrorun, rasa empati haruslah ditumbuhkan agar setiap orang yang melihat kejadian seperti yang dialami Aisyah dapat segera menolong atau minimal melapor ke pihak terkait.
Ditinggal ibu
Saat disambangi di Rumah Sakit (RS) Pirngadi, Medan, sembari terbaring, Nawawi mengisahkan, semenjak berusia 1 tahun Aisyah sudah ditinggal ibunya. “Sebelum saya meninggal, saya berharap Aisyah bisa bertemu ibunya,” pesan Nawawi.

Saat meninggalkan Aisyah, sang ibu membawa anak lelakinya. “Kata ayah, ibu bawa abang pergi ketika meninggalkan kami. Sampai sekarang kami tidak tahu di mana ibu berada,” ujar Aisyah yang setia mendampingi sang ayah.

Kisah penderitaan Aisyah yang hidup miskin dan setia merawat ayahnya yang menderita penyakit komplikasi paru-paru mendapat perhatian banyak pihak. Terlebih sejak balita Aisyah telah terpisah dari ibu kandungnya.

Teman-teman seusianya dari SD Bhayangkari Medan pun tersentuh untuk meringankan beban Aisyah. Para siswa SD itu menyisihkan uang jajan untuk diberikan kepada Aisyah. “Kami telah menyisihkan uang jajan untuk membantu Aisyah. Nanti kami akan serahkan kepada Aisyah,” ujar Vira, siswi SD Bhayangkari Medan. (Fat/Ant/S-4).

Itulah isi berita yang disiarkan Media Indonesia, Minggu, 23 Maret 2014 di halaman 4. Berita yang ditulis oleh Yenizar Lubis (beralamat di Yenizar@mediaindonesia.com) tersebut membuat kita terhenyak. Ternyata akal sehat dan nurani masyarakat di sekitar Jalan Sisingamangaraja dan di sekitar Masjid Raya Medan sudah lumpuh. Perasaan mereka sebagai sesama anak bangsa sudah tumpul. Mereka sudah hidup terkotak-kotak. Mereka hanya risau dengan nasib mereka sendiri.

Apakah ini merupakan hasil apa yang kita kenal sebagai “ekonomi pasar”? Kalau ya, masihkah kita percaya dengan jargon bahwa pasar bisa mengatur dirinya sendiri? Kalau tidak, tentu negara harus berpikir ulang untuk mengatur sistem ekonomi Indonesia.

Dari sisi jurnalisme, berita di atas akan melahirkan pertanyaan, bagaimana Yenizar bisa memperoleh fakta yang kemudian dia susun menjadi berita seperti tersebut di atas? Kita tentu membayangkan bahwa Yenizar turun secara tuntas ke lapangan. Dia tidak cepat-cepat mengumpulkan fakta. Sebaliknya, dia memanfaatkan kepekaan matanya yang tajam. Dengan hasil itu, dia bisa menulis berita dengan kaya dan berkesan. 
 
Lebih dari itu, Yenizar menjadikan mereka yang miskin, yang menderita, dan yang terpinggirkan sebagai sasaran jurnalismenya. Pilihan Yenizar terasa sangat cerdas. Di tengah belantara berita politik yang keras, berita tentang nasib Aisyah dan ayahnya terasa sangat humanis. Berita tersebut mengingatkan mereka yang mapan untuk melihat sejenak ke bawah, ternyata masih banyak orang yang butuh pertolongan.

Bila dikaitkan dengan keberpihakan, ternyata Yenizar berpihak kepada mereka yang miskin dan menderita. Keberpihakan itu tentu saja bukan kebetulan, melainkan dengan sengaja. Keberpihakan itu hendaklah kita baca bahwa Yenizar ingin memperjuangkan nasib mereka yang miskin dan menderita lewat berita. Pada titik ini sebenarnya dia sudah mempraktikkan jurnalisme yang ideal. Bravo Yenizar!***

Rejodani, 30 Maret 2014

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.