Jakarta—Setelah perjanjian gagal
diteken, kisruh proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menjalar ke soal peraturan
presiden yang saling bertabrakan. Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional berbenturan dengan Perpres No.
107 Tahun 2015 mengenai Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta
Cepat antara Jakarta dan Bandung.
Perpres No. 3/2016 yang menjadi
payung hukum bagi 225 proyek strategis itu mengizinkan negara
memberi jaminan terhadap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sedangkan Perpres
No. 107/2015, yang diterbitkan khusus untuk proyek kereta dengan panjang rel
142 kilometer tersebut, memastikan pemerintah tidak memberikan jaminan.
Presiden Joko Widodo diminta mengkaji Perpres No. 3/2016 yang diteken pada 8 Januari
lalu itu.
“Saya
tidak ingin presiden keliru,” kata Ajiep Padindang, anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) dari Sulawesi Selatan, dalam rapat paripurna luar biasa di
Jakarta, kemarin. Dalam rapat yang digelar khusus untuk meminta konfirmasi
mengenai proyek bernilai Rp 74,2 triliun itu, DPD mengundang Menteri Badan
Usaha Milik Negara Rini Soemarno, dan hadir pula Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC)
Hanggoro Budi Wiryawan.
Menurut Ajiep, dalam Pasal 4 ayat
2 Perpres No. 107/2015 dijelaskan proyek yang dikerjakan bersama antara
konsorsium BUMN Cina dan konsorsium BUMN Indonesia (Pilar Sinergi BUMN
Indonesia) tidak menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara. “Kajian
tersebut dibutuhkan supaya ada kejelasan. Saya tidak ingin mengatakan Presiden
melanggar.”
Menanggapi hal itu, Rini
meyakinkan bahwa proyek kereta cepat memiliki payung hukum khusus, tidak
mengikuti Perpres No. 3/2016. “Enggak, beda. Kereta cepat punya perpres
sendiri, dan tidak ada jaminan negara di situ.” Isi Pasal 25 Perpres No. 3/2016
yang baru tidak melonggarkan pemerintah untuk memberi jaminan. “Dikatakan
‘boleh’. Kalau boleh, bukan keharusan. Jadi, di luar itu, bisa dilakukan,” kata
Rini.
Presiden Joko Widodo berjanji
segera melaksanakan polemik ini. “Semua akan disampaikan secara rinci, dari
awal sampai akhir. Prosesnya dan rapat-rapatnya berapa kali. Kemudian mengenai
biaya, semuanya,” kata Jokowi setelah meresmikan Masjid Fatahillah di Balai
Kota, Jakarta, kemarin.” Biar semuanya terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi.”
Direktur Utama PT KCIC, Hanggoro,
membenarkan bahwa perusahaannya meminta jaminan kepada pemerintah. Jaminan yang
dimaksud adalah kepastian hukum apabila proyek default atau gagal.
Hanggoro menambahkan bahwa sudah ada perpres yang memungkinkan untuk itu. “Kami
minta dituangkan secara jelas dalam konsesi dengan Kementerian Perhubungan.”
Kamis lalu, Kementerian
Perhubungan semestinya menerbitkan izin usaha penyelenggarakan prasarana
perkeretaapian kepada PT KCIC. Namun izin itu gagal diterbitkan karena
perjanjian antara Kementerian Perhubungan dan PT KCIC urung diteken. Menteri
Perhubungan Ignasius Jonan menegaskan, pemerintah tak akan memberikan jaminan
buat PT KCIC. “Pokoknya, tidak boleh ada duit negara berupa jaminan atau
pembiayaan lainnya,” kata Jonan. (Khairul Anam/Devy Ernis/Ananda Teresia/Maya
Ayu Puspitasari/Retno S.
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo 30-31 Januari 2016. Berita
ini menggambarkan kurangnya koordinasi dalam penyusunan Peraturan Presiden
(Perpres). Ini tantangan yang dihadapi oleh Presiden Joko Widodo. Kalau ini
tidak diperhatikan, bukan mustahil masyarakat akan menganggap pemerintah
mengeluarkan Perpres untuk keperluan sesaat saja. Padahal Perpres itu bukan
lahir begitu saja, melainkan mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP). Peraturan
Pemerintah pun lahir untuk menjalankan Undang-Undang. Dengan kata lain, posisi
Perpres sangat penting dalam hirarki perundang-undangan Indonesia.
Kecuali itu, Perpres di atas menyangkut
kondisi yang sangat penting, yakni jaminan pemerintah terhadap proyek kereta
api cepat Jakarta-Bandung. Entah dengan alasan apa, Perpres yang baru, Perpres
No.
3/2016 malah memberikan jaminan itu. Padahal, semula pemerintah menerima
proposal proyek itu karena tidak meminta jaminan pemerintah. Sekarang, ternyata
perusahaan pemenang tender meminta jaminan pemerintah. Melalui Perpres itu,
pemerintah sepertinya bersedia. Maka pemerintah terkesan plin-plan! Pada titik
ini masyarakat akan bertanya, ada apa dengan pemerintah?
Berita tersebut menyarankan agar pemerintah
meninjau kembali Perpres No.3/2016. Usul yang bagus. Namun, akan lebih bagus lagi
bila pemerintah meningkatkan koordinasi pembuatan Perpres. Paling tidak agar
masyarakat tidak curiga dengan proses pembuatan kebijakan publik. ***
Rejodani, 31 Januari 2016.
0 komentar:
Posting Komentar