Setiap
agama mengajarkan umatnya untuk meminta pertolongan kepada Allah. Islam
misalnya, mendidik umatnya untuk tidak bersedih karena Allah akan menolong
mereka. Kenyataan ini tertulis dalam Al Qur’an, Surah Al Baraah, Ayat 40:
Kalau kamu tidak menolongnya, sesungguhnya Allah telah menolongnya (Muhammad) ketika dia diusir oleh orang-orang kafir, berdua dengan orang kedua, ketika itu keduanya dalam gua. Diwaktu itu dia mengatakan kepada kawannya: Jangan engkau berduka cita; sesungguhnya Allah itu bersama kita. Lalu Allah menurunkan ketenangan kepadanya, dan dikuatkan-Nya dengan tentara yang tidak kamu lihat. Dan Tuhan menjadikan perkataan orang-orang yang kafir itu paling rendah dan perkataan Allah itu yang amat tinggi. Dan Allah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana.
Kutipan
firman Tuhan ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia tidak perlu berkecil hati
dengan kondisi ekonomi Indonesia sekarang. Sepanjang mereka mau bekerja keras,
selalu mencari peluang bisnis dan jujur, Tuhan akan membantu mereka. Tuhan
tidak akan membiarkan mereka menderita. Sebaliknya, Tuhan akan mendampingi
mereka.
Petuah
ini tentu juga berlaku pada diri wartawan. Mereka tidak perlu berkecil hati
melihat kondisi jurnalisme sekarang,
misalnya banyaknya berita yang berisi pesan pemilik media pers. Sepanjang mereka bersedia bekerja keras
mengumpulkan fakta dan menyajikan berita yang berkaitan dengan persoalan masyarakat, selalu mengolah topik
berita yang mendorong lahirnya bisnis
masyarakat dan selalu jujur dalam mengungkapkan fakta, Tuhan akan memberi
mereka inspirasi tentang penulisan berita
yang bermanfaat untuk khalayak. Tuhan akan membimbing mereka menemukan
fakta yang sangat penting dan menarik. Tegasnya, Tuhan akan mendampingi mereka.
Memang ide wartawan
untuk menyajikan berita semacam itu lahir dari akal budi. Namun, setiap
wartawan memiliki akal budi yang berbeda. Dari akal budi yang berbeda itu,
muncul ide yang berbeda pula. Akibatnya, ide setiap wartawan itu merupakan
perwujudan pribadi dia.
Bila dilihat lebih
jauh, sesungguhnya akal budi itu tidak berdiri sendiri. Ia diarahkan oleh
petunjuk Allah. Petunjuk Allah, dalam
ajaran agama, sering disebut hidayah. Nah, hidayah ini hanya milik Allah. Namun, Allah akan memberikannya
kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam
Al Qur’an, Surah Al Qashash, Ayat 56: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk.”
Persoalan yang kemudian
muncul adalah, wartawan seperti apa yang bakal memperoleh petunjuk Allah? Tidak
mudah menjawab pertanyaan ini. Tetapi, bercermin kepada tulisan Dewi Yana, di Facebook, yang berjudul “Hidayah”,
seperti termuat dalam https://id-id.facebook.com/notes/jalan-dakwah-bersama-dewi-yana/hidayah/231585690184882/,
diakses 19 Januari 2016, paling tidak terdapat empat ciri orang yang akan
memperoleh petunjuk Tuhan, yakni: (i) bersungguh-sungguh dalam mengerjakan pekerjannya,
(ii) berniat mengerjakan pekerjaannya sebagai usaha berbuat baik, (iii) selalu
berdoa sebelum mengerjakan pekerjaan, dan (iv) memperbanyak berbuat baik.
Khusus mengenai yang
terakhir ini, wartawan tidak melakukan tugasnya atas bayaran narasumber tertentu.
Mereka tidak menuangkan kebohongan pada berita yang ditulisnya. Mereka tidak
terganggu sama sekali dengan permintaan yang aneh-aneh dari pihak yang akan
memperoleh keuntungan dari berita yang ditulisnya. Tegasnya, mereka selalu
menjadikan batas pemberitaan yang universal dalam menulis berita.
Kendati begitu, mereka
tidak tetap bertekad untuk menyajikan berita yang terbaik untuk khalayak.
Mereka tidak hanya berhenti pada “sekadar memenuhi kewajiban” saja. Mereka
selalu mengorientasikan beritanya untuk kepentingan khalayak.
Tentu saja petuah
mendapat petunjuk Tuhan ini tidak ada dalam buku pintar tentang jurnalisme.
Namun, dalam praktik hidup sehari-hari petunjuk Tuhan itu riil dan konkret.
Itulah sebabnya wartawan memerlukannya. Bagaimanapun wartawan adalah manusia
juga. Sebagai manusia, mereka butuh petunjuk Tuhan dalam menjalankan tugasnya
sehari-hari.
Namun, persoalan muncul, apakah cara kerja
wartawan seperti ini bisa menjadi pengetahuan buat khalayak? Kalau jawabannya ya, apa buktinya? Tentu
tidak mudah menjawab pertanyaan ini tanpa data yang akurat dan komprehensif.
Yang jelas, informasi yang tersaji dalam berita bisa menjadi pengetahuan bagi khalayak. Menurut
Kasdin Sihotang dalam buku Filsafat
Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme, terdapat empat ciri pengetahuan
manusia yang berpeluang bisa diterapkan dalam kehidupannya, yakni: (i) imanen,
(ii) intensional, (iii) relasional, dan (iv) progresif (hal. 91).
Sebuah
pengetahuan disebut imanen kalau pengetahuan itu melekat pada diri pemiliknya dan
digunakan sebagai sarana untuk menyempurnakan dirinya. Pengetahuan itu tidak
hanya sekadar tahu saja dan dibiarkan hilang begitu saja. Sebaliknya,
pengetahuan itu dikuasai betul dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kalaupun pemiliknya tidak mempraktikkannya untuk dirinya, mungkin dia bisa
membagikannya kepada orang lain.
Ciri
intensional pengetahuan ditunjukkan oleh kesadaran pemiliknya tentang arah
pengetahuan itu. Dia merasa bahwa pengetahuannya itu terarah dan sudah
disiapkan oleh “dunia di luar dirinya”. Dari kesadaran inilah dia, kemudian,
mempertahankan pengetahuannya itu.
Makna
keterarahan ini, pada gilirannya, melahirkan ciri yang ketiga, relasional. Ia
berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar pemiliknya. Dia merasa
pengetahuan itu menyebabkan dia bisa keluar dari segala keterbatasannya. Dia,
bahkan, yakin pengetahuan itu bisa menyebabkan terjadinya proses trans
subyektif pada dirinya.
Ciri
dinamis tentu saja ditunjukkan oleh berkembangnya pengetahuan itu. Artinya,
pengetahuan itu tidak hanya berhenti sampai di itu. Ia berkembang sesuai dengan
perjalanan waktu dan perkembangan zaman. Bersamaan dengan itu, pemiliknya juga
merasa bahwa dia harus mengetahui perkembangan mutakhir dari pengetahuan yang
dimilikinya.
Semua
penjelasan ini mendidik wartawan untuk menjadikan berita yang ditulisnya
sebagai pengetahuan yang memiliki keempat ciri di atas. Artinya, wartawan perlu
membayangkan khalayak yang membaca beritanya memiliki niat untuk mengembangkan diri
mereka. Dari bayangan
itu, dia merencanakan berita seperti apa yang kelak bisa menjadikan pengetahuan
mereka tentang berbagai hal.
Kalau beritanya kelak memang memenuhi kriteria itu, dia bisa disebut sebagai
wartawan yang “memajukan” beritanya. Pada titik inilah kita bisa menyebut bahwa
menjadikan
informasi yang terkandung dalam berita sebagai pengetahuan merupakan cara untuk memajukan jurnalisme.***
Rejodani, 31 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar