Damaskus—Konflik di Suriah terus menelan ribuan nyawa warga sipil.
Laporan terbaru dari lembaga nirlaba Syrian Center for Policy Research (SCPR)
menunjukkan, perang saudara di negara
itu telah merenggut 470 ribu korban jiwa.
Dari jumlah itu, 400 ribu orang
tewas akibat dampak langsung konflik. Sedangkan 70 ribu orang kehilangan nyawa
karena tidak dapat menjangkau makanan, air minum, perubahan, sanitasi, dan
perawatan kesehatan.
“Sekitar 11,5 persen dari
penduduk Suriah telah tewas atau terluka sejak konflik dimulai pada Maret
2011,” demikian laporan SCPR, seperti diberitakan VoA, kemarin.
Angka temuan lembaga ini jauh di
atas hitungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selama ini badan dunia itu
memperkirakan konflik di Suriah mengakibatkan 250 ribu orang meninggal dan membuat
12 juta lainnya mengungsi.
Menurut seorang peneliti SCPR,
laporan ini didasarkan pada survei populasi terhadap 2.100 informan kunci dari
700 wilayah di berbagai penjuru Suriah. Lembaga ini kemudian mengecek silang
data dari berbagai sumber dengan data sekunder dan penelitian pihak ketiga.
Di Munich, Jerman, kekuatan utama
dunia telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan mengehentikan
permusuhan di Suriah. Mereka setuju untuk berfokus pada penyerahan bantuan
kemanusiaan kepada korban perang. “Di atas kertas, kami sudah sepakat. Apa yang
harus dilakukan dalam beberapa hari ke depan adalah tindakan nyata di
lapangan,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, seperti dikutip
CNN, kemarin.
Diplomat dari 17 negara anggota
International Syria Support Group (ISSG) menuntaskan kesepakatan damai di
Munich. ISSG berisi negara-negara yang membahas perundingan damai Suriah,
antara lain Amerika dan Rusia.
ISSG membahas gencatan senjata
menyusul peningkatan serangan pasukan pemerintah Suriah, yang dibeking Rusia,
di Provinsi Aleppo di utara Suriah. Serangan sejak pekan lalu itu telah memicu
gelombang puluhan ribu pengungsi ke Turki.
Pemerintah Bashar al Assad belum
merespons sikap sepihak ISSG. Namun koalisi oposisi Suriah menyambut positif.
“Bila terbukti di lapangan, kami akan segera ke (perundingan damai) Jenewa,”
kata Salim al-Mursalat, juru bicara High
Negotiations Committee, kelompok utama oposisi Suriah. (VOA/CNN/BBC
NEWS/AL JAZEERA/MAHARDIKA).
Demikian berita
yang disiarkan Koran Tempo, 13-14 Februari 2016.
Mengerikan! Hanya kata yang terucap dari mulut kita menyadari kenyataan ini.
Demi memperebutkan pengaruh di Suriah, negara-negara besar tidak peduli dengan
korban rakyat Suriah yang begitu banyak?
Mengapa
negara besar? Karena, bertolak dari sejarah, kekaisaran Ottoman menguasai
wilayah Timur Tengah selama 600 tahun. Kekaisaran Ottoman ini hancur dalam
perang dunia I karena dihancurkan sekutu (Inggris dan Perancis) dengan bantuan
Arab Saudi. Setelah kekaisaran Ottoman hancur, sekutu membagi-bagi wilayah
Timur Tengah dalam sebuah perjanjian. Libanon dan Suriah sekarang berada di
bawah Perancis. Jordania dan Irak berada di bawah Inggris.
Lewat
perjalanan waktu, semua negara itu memang menjadi negara merdeka. Namun,
negara-negara besar lain seperti Amerika Serikat dan Rusia ingin punya pengaruh
di sana. Mereka tidak mau “tidak kebagian”. Dengan segala cara mereka menanamkan
pengaruh itu. Ketika mereka masuk, negara lain, seperti Iran, Turki, dan Arab
Saudi juga tak mau kalah. Semuanya seakan-akan mengerahkan segala sumber daya
mereka untuk berebut pengaruh di Suriah.
Jumlah
korban sebanyak yang dicatat berita di atas seharusnya menjadi alarm buat negara besar dan sekutunya untuk
melepaskan pengaruhnya di Suriah. Mereka harus membiarkan Suriah menjadi negara
otonom. Kalau tidak, mereka akan dicatat sebagai negara modern yang kejam,
menjadi penghancur kemanusiaan yang tidak beradab.***
Rejodani,
15 Februari 2016.
0 komentar:
Posting Komentar