Seperti sudah menjadi kelaziman di zaman
sekarang, para wirausahawan mengabsolutkan keuntungan materi yang
sebanyak-banyaknya. Salah satu buktinya adalah, mereka menggunakan segala jenis
cara untuk memperoleh keuntungan. Mereka, bahkan, menghalalkan segala cara demi
mencapai target perusahaan. Dalam keadaan begini, pembeli atau pasar hanya
sebagai komoditas atau objek semata.
Penempatan
manusia pada posisi objek ini, tanpa sadar, sudah menjalar kepada media pers.
Lihatlah, media pers begitu asyiknya dengan dunianya sendiri, meliput semua
peristiwa dengan mendulukan nilai menarik daripada penting. Dari sini jelas
media pers ingin mengejar jumlah khalayak. Dari jumlah ini, bisa dipastikan,
mereka mengejar pemasukan dari iklan yang sebanyak-banyaknya. Dalam bingkai
pola pikir ini media pers tidak lagi menganggap khalayak sebagai manusia dengan
segala kelebihan dan kekurangannya. Media pers sudah menganggap khalayaknya
sebagai komoditas semata.
Tentu
saja kedua kenyataan ini menjadi persoalan yang harus segera dicarikan solusinya.
Soalnya, dengan perlakuan semacam itu manusia sudah kehilangan kemanusiaannya.
Padahal kemanusiaan ini sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengembangkan diri
mereka, paling tidak untuk menghargai keberadaan mereka sebagai manusia.
Pertanyaan
yang seharusnya diajukan adalah, upaya apa yang dibutuhkan untuk mengatasi
persoalan kemanusiaan yang makin lama bisa makin memprihatinkan itu? Tentu saja tidak
mudah menjawab pertanyaan ini. Yang jelas perjuangan itu akan panjang dan
terus-menerus. Dalam keadaan begini, semua pihak yang punya kaitan dengan ini
idealnya bisa mengusulkan solusi.
Karena penulis menekuni
jurnalisme dan menjadi pengajar jurnalisme, penulis ingin ikut memberikan
solusi melalui jurnalisme. Apa solusinya? Menjadikan jurnalisme mengedepankan nilai-nilai
kemanusiaan. Bagaimana persisnya? Setidaknya
ada tiga petuah yang bisa dipakai sebagai
solusi untuk menjadikan jurnalisme sebagai elemen yang mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan, yakni: (i) memberikan kebebasan kepada khalayak untuk
mengambil keputusan, (ii) mengungkapkan masa depan sebagai konteks, dan (iii) menulis berita dengan empati yang
tinggi.
1. Memberikan kebebasan kepada
khalayak untuk mengambil keputusan.
Banyak orang
mempersoalkan kebebasan berekspresi seiring dengan menyempitnya ruang khalayak yang tersedia.
Padahal kesadaran tentang kebebasan berekspresi itu makin meningkat menyusul
perkembangan demokrasi yang makin bagus. Akibatnya, mereka yang ingin
mengekspresikan dirinya tidak punya wadah yang memadai. Tegasnya, ekspresi
mereka tidak sampai kepada khalayak.
Kenyataan ini, menurut
Marco Kusumawijaya dan Mujtaba Hamdi, dalam tulisannya yang berjudul Merawat Khalayak dan Ruang Khalayak,
kalau tidak diselesaikan, bisa menciptakan kekacauan. Simaklah komentar mereka
berikut:
Kebebasan bereskpresi itu ibarat ruh, sedangkan ruang khalayak adalah raganya. Tanpa raga, ruh akan ‘gentayangan’. Ruh akan resah, bahkan frustasi, dan dampak lebih luasnya adalah chaos, kekacauan. Sungguh tak salah mengatakan bahwa inilah yang terjadi hari ini: betapa semangat, kesadaran, dan dorongan kebebasan berekspresi meningkat begitu tinggi, sementara ruang khalayak yang mewadahinya terus menyempit (hal. 58).
Kutipan
ini menunjukkan bahwa ruang khalayak itu sangat penting untuk ekspresi
khalayak. Ruang khalayak ini juga tersedia di media pers. Namun, ia tidak
sepenuhnya bisa dipakai oleh khalayak untuk berekspresi. Ia malah dimanfaatkan
oleh pemilik media pers untuk berekspresi. Akibatnya, media pers tidak bisa
menampung ekspresi khalayak secara menyeluruh.
Suasana
seperti ini bukan mustahil menjadikan berita sebagai sesuatu yang mendikte
khalayak untuk berbuat atau tidak berbuat. Secara praktis, wartawan sudah
menutup kesempatan bagi khalayak untuk memutuskan sesuatu di luar yang
terkandung dalam berita. Dalam keadaan begini, informasi yang terkandung dalam berita tersebut sudah menjadi harga mati.
Tidak ada lagi pilihan lain yang bisa dipilih oleh khalayak.
Melihat
kenyataan ini dari sisi berita,
berita tersebut tidak memberi alternatif pilihan kepada khalayak. Ini yang
harus dihindari. Persoalannya lantas, bagaimana cara menghindarinya?
Agaknya wartawan perlu
memberikan penjelasan tentang kebutuhan yang diperlukan khalayak untuk
membangun, katakanlah,
bisnis. Salah satu contoh adalah menyebutkan lanskap bisnis masa sekarang.
Mungkin dulu orang berusaha bisa hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman.
Namun, sekarang syarat itu tidak cukup lagi. Masih diperlukan pengetahuan yang
lain.
2. Mengungkapkan masa depan sebagai
konteks.
Kenyataan
menunjukkan bahwa globalisasi sudah merobek-robek batas negara. Ia sudah
menjadi “kekuatan” yang bisa mengubah ekonomi sebuah negara. Di Indonesia
misalnya, globalisasi menyebabkan sekian bank dilikuidasi. Wajar bila
globalisasi sering kali menjadi konteks masa depan ekonomi Indonesia.
Namun,
globalisasi bukan merupakan satu-satunya konteks ekonomi Indonesia.
Sesungguhnya masih ada konteks yang lain, misalnya pelemahan nilai rupiah.
Kalau masa depan dipakai sebagai
konteks berita bisnis, sebenarnya berita tersebut berhadapan dengan masalah
yang meliputi bisnis. Khalayak akan memperolah gambaran tentang arah
perkembangan bisnis secara umum. Dari sini, mereka bisa menyusun pertimbangan
tentang banyak hal, mulai dari membeli barang, menjual barang, memperluas
pasar, melakukan reinvestasi, dan sebagainya.
Persoalan yang kemudian muncul adalah,
kemampuan seperti apa yang harus dimiliki oleh wartawan agar mampu menghadirkan konteks masa depan
terhadap berita yang ditulisnya? Tentu saja wartawan harus memiliki beberapa
kemampuan. Semua kemampuan ini dijelaskan secara umum oleh John Gallagher,
dalam tulisannya yang berjudul “Not Just
Bussiness as Usual”, dalam tiga kata: menjadi seorang ahli. “Dia harus
membaca buku apa saja yang berkaitan dengan bidangnya dan bisa hadir dalam
berbagai brifing tentang hal yang diliput.” (hal. 233).
Mungkin wartawan akan mengalami
tekanan bila disuruh menjadi ahli. Mungkin juga mereka akan keberatan menjadi
ahli dengan alasan lebih baik menjadi pengamat saja daripada menjadi wartawan.
Mungkin, bahkan, mereka tidak akan merasa tidak nyaman menjalani pekerjaannya.
Namun, itulah risiko menjadi wartawan yang bisa mengungkapkan konteks masa
depan. Mereka harus tidak pernah berhenti belajar.
Dalam bahasa lain, wartawan bisnis
harus keluar dari comfort zone.
Mereka harus mengejar keterampilan tertinggi yang mungkin mereka capai. Perkara
apakah kelak media tempat mereka bekerja akan menghargainya atau tidak, itu
perkara lain. Mereka tidak perlu membayangkannya. Urusan mereka adalah memiliki
keterampilan tertinggi sebagai wartawan.
Sisanya serahkan saja kepada media pers tempat mereka bekerja.
Menilik kenyataan di Indonesia, memang
tidak mudah bagi profesi apa saja untuk keluar dari comfort zone-nya. Kenyataan ini pernah disinyalir oleh Rhenald
Kasali dalam buku Self Driving: Menjadi
Driver atau Passanger? sebagai berikut: “Salah satu persoalan berat yang
dihadapi bangsa ini dalam menghadapi perubahan adalah rendahnya kemampuan kita
untuk keluar dari comfort zone” (hal
23). Pertanyaanya lantas, apakah wartawan bisnis hanya ingin meniru orang yang
tidak bersemangat untuk keluar dari comfort
zone? Tidak, bukan.
3. Menulis berita dengan empati yang tinggi.
Secara umum empati bermakna keadaan mental yang membuat seorang
individu mengidentifikasikan dirinya
sama dengan orang atau kelompok lain. Seorang wartawan disebut mampu menulis
berita dengan empati yang tinggi kalau dia bisa menulis berita yang sesuai
dengan perasaan dan pikiran khalayaknya. Pengertian ini menjadikan wartawan
bisnis harus tahu persis perasaan dan pikiran khalayaknya.
Betapapun dekatnya wartawan dengan khalayaknya dan betapapun mereka menggali informasi dari khalayaknya, akan
tetap saja ada yang tidak akan tertangkap. Soalnya, dalam praktik, empati itu
berurusan dengan keinginan yang tidak terucap. Itulah sebabnya kita tidak akan
menuntut wartawan untuk tahu persis keinginan khalayaknya. Yang perlu mereka
usahakan adalah mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang masalah yang
dihadapi khalayak. Bertolak dari pemahaman inilah kemudian mereka mengumpulkan
informasi yang kira-kira bisa menyelesaikan masalah tersebut. Kalau seorang
wartawan belum bisa mengumpulkan informasi yang bisa menyelesaikan masalah yang
dihadapi khalayak, sesungguhnya empatinya belum lengkap. Mereka baru sampai
pada tingkat simpati saja.***
Rejodani,
15 Februari 2016
0 komentar:
Posting Komentar