usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 18 Januari 2016


JAKARTA—Penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) yang berlaku mulai pukul 00.00 dinihari tadi diprediksi tidak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia 2016. Penurunan justru membawa risiko berupa semakin besarnya impor yang akhirnya akan membebani nilai rupiah nantinya.
Penilaian itu disampaikan ekonom di Institute Development of Economics and Finance (Indef), Zulfian Syafrian, kemarin. Menurut dia, harga yang semakin rendah sudah pasti akan meningkatkan konsumsi BBM oleh masyarakat.
Meningkatnya konsumsi itu diyakininya akan memompa impor—selain juga semakin mengendurkan pengembangan sumber energi alternatif. “Negara kita kan sekarang net importer oil country atau negara yang lebih banyak impor daripada ekspornya, akibatnya ketika konsumsi minyak naik maka impor juga ikut naik,” kata dia.
Ujung-ujungnya, Zulfian menambahkan, mata uang rupiah bisa kembali terpukul. Dia menegaskan nilai rupiah selama ini terpuruk karena defisit di neraca migas. “Ini karena konsumsi minyak yang berlebihan akibat rezim harga minyak yang terlalu murah,” ujar dia.
Sebelumnya, Direktur Indef Enny Sri Hartati juga mengatakan turunnya harga BBM tidak akan berdampak besar terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi triwulan I 2016 yang berkisar 4,8—4,9 persen. Penurunan harga BBM, kata dia, tidak serta-merta mempengaruhi harga barang karena tarif transportasi yang tidak berubah.
“Kecuali kalau dengan adanya penurunan harga BBM berdampak pada tarif, yakni ongkos transportasi turun, harga barang turun, itu akan mempengaruhi daya beli masyarakat,” kata dia, sambil menjelaskan, porsi pengeluaran rumah tangga terbesar, apalagi yang berpenghasilan menengah ke bawah, 60—70 persen untuk konsumsi makanan. “Artinya, sekalipun BBM turun, dampaknya tidak terlalu besar, kecuali kalau yang turun itu harga bahan makanan.”
Penurunan harga BBM diumumkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto di Kantor Presiden, kemarin. Kenaikan diputuskan tidak disertai pungutan untuk dana ketahanan energi. Di antara komponen BBM itu adalah Premium yang turun sebesar Rp 350 per liter, dan elpiji 12 kilogram sebesar Rp 5.800 per tabung. (Arief Hidayat/Friski Riana/Ali Hidayat).

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, Selasa, 5 Januari 2016. Berita ini menggambarkan bahwa penurunan harga BBM bukannya membuat ekonomi Indonesia tumbuh, malah akan membebani nilai rupiah. Mengapa? Karena konsumsi BBM akan naik. Untuk memenuhi konsumsi itu, pemerintah akan mengimpor minyak lebih banyak lagi. Dalam keadaan begini, rupiah akan terpuruk.

Penurunan harga BBM akan bermanfaat buat masyarakat kalau ia diikuti oleh penurunan harga barang dan biaya transportasi. Kalau ini yang terjadi, tentu daya beli masyarakat akan meningkat. Nah, peningkatan daya beli masyarakat ini tentu saja berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Sampai di sini tentu muncul pertanyaan, apakah pemerintah tidak mempertimbangkan kenyataan ini? Kalau ya, bagaimana pemerintah bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang positif? Apakah pemerintah tidak ingin daya beli masyarakat meningkat?

Dari sisi masyarakat, tentu ada hikmah yang perlu diambil dari berita di atas. Khalayak harus menahan diri untuk tidak mengkonsumsi BBM lebih banyak daripada yang sudah-sudah. Kapan perlu, mereka berhemat BBM. Soalnya, Indonesia sudah menjadi  net importer oil country. Semakin banyak konsumsi BBM, semakin banyak pula impor minyak dan semakin banyak pula devisa yang harus dibelanjakan di luar negeri.

Maka berita di atas harusnya membuat kita kritis terhadap kebijakan pemerintah tentang penurunan harga BBM dan berhemat dalam memakai BBM.***

Rejodani, 15 Januari 2016


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.