JAKARTA—Penurunan
harga bahan bakar minyak
(BBM) yang berlaku mulai pukul 00.00
dinihari tadi diprediksi tidak akan berpengaruh terhadap pertumbuhan
perekonomian Indonesia 2016. Penurunan justru membawa risiko berupa semakin
besarnya impor yang akhirnya akan membebani nilai rupiah nantinya.
Penilaian
itu disampaikan ekonom di Institute Development of Economics and Finance
(Indef), Zulfian Syafrian, kemarin. Menurut dia, harga yang semakin rendah
sudah pasti akan meningkatkan konsumsi BBM oleh masyarakat.
Meningkatnya
konsumsi itu diyakininya akan memompa impor—selain juga semakin mengendurkan
pengembangan sumber energi alternatif.
“Negara kita kan sekarang net importer oil country atau negara yang lebih banyak impor daripada ekspornya,
akibatnya ketika konsumsi minyak naik maka impor juga ikut naik,” kata dia.
Ujung-ujungnya,
Zulfian menambahkan, mata uang rupiah bisa kembali terpukul. Dia menegaskan
nilai rupiah selama ini terpuruk karena defisit di neraca migas. “Ini karena
konsumsi minyak yang berlebihan akibat rezim harga minyak yang terlalu murah,”
ujar dia.
Sebelumnya,
Direktur Indef Enny Sri Hartati juga mengatakan turunnya harga BBM tidak akan
berdampak besar terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi triwulan I 2016 yang
berkisar 4,8—4,9 persen. Penurunan harga BBM, kata dia, tidak serta-merta
mempengaruhi harga barang karena tarif transportasi yang tidak berubah.
“Kecuali
kalau dengan adanya penurunan harga BBM berdampak pada tarif, yakni ongkos
transportasi turun, harga barang turun, itu akan mempengaruhi daya beli
masyarakat,” kata dia, sambil menjelaskan, porsi pengeluaran rumah tangga
terbesar, apalagi yang berpenghasilan menengah ke bawah, 60—70 persen untuk
konsumsi makanan. “Artinya, sekalipun BBM turun, dampaknya tidak terlalu besar,
kecuali kalau yang turun itu harga bahan makanan.”
Penurunan
harga BBM diumumkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said dan
Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto di Kantor Presiden, kemarin. Kenaikan
diputuskan tidak disertai pungutan untuk dana ketahanan energi. Di antara
komponen BBM itu adalah Premium yang turun sebesar Rp 350 per liter, dan elpiji
12 kilogram sebesar Rp 5.800 per tabung. (Arief Hidayat/Friski Riana/Ali
Hidayat).
Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, Selasa, 5
Januari 2016. Berita ini menggambarkan bahwa
penurunan harga BBM bukannya membuat ekonomi Indonesia tumbuh, malah akan membebani
nilai rupiah. Mengapa? Karena konsumsi BBM akan naik. Untuk memenuhi konsumsi
itu, pemerintah akan mengimpor minyak lebih banyak lagi. Dalam keadaan begini,
rupiah akan terpuruk.
Penurunan harga BBM akan bermanfaat buat masyarakat
kalau ia diikuti oleh penurunan harga barang dan biaya transportasi. Kalau ini
yang terjadi, tentu daya beli masyarakat akan meningkat. Nah, peningkatan daya
beli masyarakat ini tentu saja berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sampai di sini tentu muncul pertanyaan, apakah
pemerintah tidak mempertimbangkan kenyataan ini? Kalau ya, bagaimana pemerintah
bisa mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang positif? Apakah pemerintah tidak ingin
daya beli masyarakat meningkat?
Dari sisi masyarakat, tentu ada hikmah yang perlu
diambil dari berita di atas. Khalayak harus menahan diri untuk tidak
mengkonsumsi BBM lebih banyak daripada yang sudah-sudah. Kapan perlu, mereka
berhemat BBM. Soalnya, Indonesia sudah menjadi net
importer oil country. Semakin banyak konsumsi BBM, semakin banyak pula
impor minyak dan semakin banyak pula devisa yang harus dibelanjakan di luar
negeri.
Maka berita di atas harusnya membuat kita kritis
terhadap kebijakan pemerintah tentang penurunan harga BBM dan berhemat dalam
memakai BBM.***
Rejodani, 15 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar