Banyak sudah Undang-Undang (UU) yang
mengatur persoalan kehidupan publik. Satu di antaranya adalah UU No. 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 10 UU yang disahkan Susilo Bambang
Yudhoyono pada 12 Agustus 2012 ini menyebutkan: (1) rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi
merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang
disusun secara sistematis, (2) rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. rumpun ilmu agama; b. rumpun ilmu
humaniora; c. rumpun ilmu sosial; d. rumpun ilmu alam; e. rumpun ilmu formal;
dan f. rumpun ilmu terapan, (3) rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditransformasikan, dikembangkan, dan/atau disebarluaskan
oleh sivitas akademika melalui Tridharma.
Sampai di sini, tidak ada
masalah yang muncul. Namun, ketika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
(Ditjen Dikti) mengeluarkan daftar rumpun ilmu, sub rumpun ilmu dan bidang
studi, timbul masalah. Soalnya, seperti dikutip http://muslimpoliticians.blogspot.com/2014/09/inilah-cara-untuk-mengetahui-leneritas.html,
rumpun ilmu bahasa (500) membawahi sub rumpun ilmu bahasa (520) yang membawahi
empat bidang ilmu, yakni: (i) ilmu lingusitik (521), (ii) jurnalistik (522), (iii)
ilmu susastra umum (523), (iv) kearsipan (524), (v) ilmu perpustakaan (525),
dan bidang ilmu
bahasa lain yang belum tercantum (526).
Kutipan ini menggambarkan
bahwa ilmu bahasa merupakan “rumah” jurnalisme. Kenyataan ini sungguh tidak
tepat. Sebab, semua petuah dan konsep jurnalisme yang tercantum dalam blog ini
menunjukkan bahwa ilmu bahasa bukan merupakan “rumah” jurnalisme. Sebutlah
misalnya salah satu prinsip jurnalisme, yakni wajib menyampaikan kebenaran. Lalu, ada lagi pakem
jurnalisme, yakni menjalankan aturan nilai berita (news values), aturan kelengkapan
berita, dan aturan layak muat (newsworthy).
Lihatlah pula
pengertian jurnalisme yang paling sederhana yang disampaikan oleh Richard
Weiner dalam Dictionary of Media and
Communication, yakni keseluruhan
proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan dan penyiaran berita (hal.
247). Keseluruhan proses ini bukan merupakan keterampilan berbahasa semata.
Terakhir
lihatlah praktik pendidikan tinggi jurnalisme di Indonesia. Ia tidak diberikan
di fakultas sastra, melainkan di Jurusan Ilmu Komunikasi atau di Fakultas Ilmu
Komunikasi. Di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM misalnya, jurnalisme diberikan di
“Konsentrasi Media dan Jurnalisme”. Di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD,
jurnalisme diberikan di Jurusan Jurnalisme.
Penjelasan singkat ini menunjukkan bahwa bahasa
bukan “rumah” jurnalisme. Karena itu, ia harus dikeluarkan dari rumpun ilmu
bahasa dan sub rumpun ilmu bahasa. Ia harus dikembalikan ke “rumahnya” semula,
rumpun ilmu sosial dan sub rumpun ilmu komunikasi.***
Rejodani,
31 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar