usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Kamis, 07 Januari 2016


       Banyak sudah Undang-Undang (UU) yang mengatur persoalan kehidupan publik. Satu di antaranya adalah UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal 10 UU yang disahkan Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 Agustus 2012 ini menyebutkan: (1)  rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang disusun secara sistematis, (2) rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. rumpun ilmu agama; b. rumpun ilmu humaniora; c. rumpun ilmu sosial; d. rumpun ilmu alam; e. rumpun ilmu formal; dan f. rumpun ilmu terapan, (3) rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditransformasikan, dikembangkan, dan/atau disebarluaskan oleh sivitas akademika melalui Tridharma.

          Sampai di sini, tidak ada masalah yang muncul. Namun, ketika Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) mengeluarkan daftar rumpun ilmu, sub rumpun ilmu dan bidang studi, timbul masalah. Soalnya, seperti dikutip http://muslimpoliticians.blogspot.com/2014/09/inilah-cara-untuk-mengetahui-leneritas.html, rumpun ilmu bahasa (500) membawahi sub rumpun ilmu bahasa (520) yang membawahi empat bidang ilmu, yakni: (i) ilmu lingusitik (521), (ii) jurnalistik (522), (iii) ilmu susastra umum (523), (iv) kearsipan (524), (v) ilmu perpustakaan (525), dan bidang ilmu bahasa lain yang belum tercantum (526).

          Kutipan ini menggambarkan bahwa ilmu bahasa merupakan “rumah” jurnalisme. Kenyataan ini sungguh tidak tepat. Sebab, semua petuah dan konsep jurnalisme yang tercantum dalam blog ini menunjukkan bahwa ilmu bahasa bukan merupakan “rumah” jurnalisme. Sebutlah misalnya salah satu prinsip jurnalisme, yakni wajib menyampaikan kebenaran. Lalu, ada lagi pakem jurnalisme, yakni menjalankan aturan nilai berita (news values), aturan kelengkapan berita, dan aturan layak muat (newsworthy). 

          Lihatlah pula pengertian jurnalisme yang paling sederhana yang disampaikan oleh Richard Weiner dalam Dictionary of Media and Communication,  yakni keseluruhan proses pengumpulan fakta, penulisan, penyuntingan dan penyiaran berita (hal. 247). Keseluruhan proses ini bukan merupakan keterampilan berbahasa semata.

          Terakhir lihatlah praktik pendidikan tinggi jurnalisme di Indonesia. Ia tidak diberikan di fakultas sastra, melainkan di Jurusan Ilmu Komunikasi atau di Fakultas Ilmu Komunikasi. Di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM misalnya, jurnalisme diberikan di “Konsentrasi Media dan Jurnalisme”. Di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD, jurnalisme diberikan di Jurusan Jurnalisme.

Penjelasan singkat ini menunjukkan bahwa bahasa bukan “rumah” jurnalisme. Karena itu, ia harus dikeluarkan dari rumpun ilmu bahasa dan sub rumpun ilmu bahasa. Ia harus dikembalikan ke “rumahnya” semula, rumpun ilmu sosial dan sub rumpun ilmu komunikasi.***

Rejodani, 31 Desember 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.