usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Kamis, 07 Januari 2016



JAYAPURA—Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan Pemerintah Provinsi Papua berharap memperoleh 10 persen saham PT Freeport Indonesia, yang menjalankan bisnisnya di Kabupaten Mimika, Papua. Hanya, ia mengakui belum ada mekanisme yang pasti soal proses pembelian tersebut karena Papua belum dianggap mampu membayar nilai saham Freeport, yang diprediksi mencapai triliunan rupiah.
“Kami minta sebelum masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berakhir, 10 persen itu harus untuk Papua,” ujar dia, di Jayapura, seperti dikutip Antara, kemarin.
Menurut Lukas, mekanisme yang belum jelas itu mencakup apakah pembelian tersebut didasari tahun buku atau ada cara lain. Ia menegaskan pemerintah Papua tidak mau ada pihak ketiga, dalam hal ini pihak swasta yang terlibat dalam proses pembelian saham Freeport bagi Papua. “Kami memang tidak punya uang. Tapi kalau melibatkan pihak ketiga ini akan berdampak tidak bagus bagi kami. Pengalaman Newmont sudah ada,” ujar Lukas.
Lukas pihaknya telah membentuk tim yang mengkaji berbagai opsi agar Papua bisa memiliki saham Freeport. Ia mengatakan Papua harus mendapat saham perusahaan itu karena sangat berkaitan dengan segala aspek kehidupan di Papua. “Ini bukan persoalan ekonomi saja, ini juga persoalan politik,” ujarnya.
Divestasi saham Freeport McMoran, perusahaan tambang asal Amerika Serikat, atas Freeport harus menawarkannya kepada pemerintah. Opsi lain adalah divestasi dengan cara akuisisi oleh badan usaha milik negara, daerah, atau swasta. Saat ini, 90,64 persen saham Freeport Indonesia dipegang oleh Freeport-McMoran dan 9,36 persen oleh pemerintah Indonesia.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, divestasi 10,64 persen saham Freeport sedianya dilaksanakan paling lambat pada 14 Oktober lalu. Selanjutnya, 10 persen lagi akan didivestasikan pada Oktober 2019.
Lukas menilai proses pembicaraan soal perpanjangan kontrak karya Freeport harus segera dimulai meski dalam aturan dinyatakan bahwa hal tersebut baru bisa dilakukan pada 2019. “Sebenarnya tahapan tersebut harus sudah dimulai karena kita akan melakukan negosiasi yang prosesnya panjang,” katanya. (Mawardah Nur Hanifiyani).

Demikian berita yang disiarkan Koran Tempo, Senin, 28 Desember 2015. Dalam berita itu Gubernur Papua, Lukas Enembe, tanpa tedeng aling-aling, meminta saham PT. Freeport sebanyak 10%. Mungkin berita ini mengingatkan kita kasus “Papa minta saham”. Namun, permintaan Lukas Enembe ini berbeda dengan permintaan “Papa minta saham”. Soalnya, Lukas Enembe meminta saham PT Freeport untuk kepentingan masyarakat Papua. Sudah begitu, PT Freeport berencana mendivestasi sahamnya sebesar 20.64%. Dari jumlah ini, tidak ada salahnya bila pemerintah Papua memperoleh 10%.

Betapa banyaknya uang yang harus dikeluarkan oleh pemerintah Papua untuk memperoleh saham PT Freeport itu. Betapa susahnya mengumpulkan uang untuk membeli saham itu. Namun, pemerintah Papua tidak boleh mundur dengan niatnya itu. Ia harus gigih mencari jalan untuk memperoleh saham itu. Soalnya, dividen dari saham itu kelak akan bisa mensejahterakan rakyat Papua yang sekarang hanya jadi “pelengkap penderita” saja dari PT Freeport. 

Sebenarnya PT Freeport sudah memberikan uang kepada pemrintah Papua. Tahun 2012 misalnya, PT Freeport antara lain membayar pajak dan nonpajak lainnya sebanyak 904 miliar dolar AS. Dari pajak dan nonpajak ini, 20% di antaranya dikembalikan kepada masyarakat Papua. Namun, jumlah ini tidak cukup untuk mensejahterakan masyarakat Papua. Tetap saja Papua membutuhkan sumber dana yang lain. Kalau saja keinginan Lukas Enembe tersebut terwujud, agaknya Papua bisa mengejar ketertinggalannya dari provinsi-provinsi lain di Indonesia.***

Rejodani, 31 Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.