usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 22 Desember 2015



       Bill Kovach dan Tom Rosentstiel, dalam buku berjudul Blur: How To Know What’s True In The Age of Information Overload, memperkenalkan sebuah istilah unik, yakni prosecutorial journalism (jurnalisme penuntutan). Istilah ini berkaitan dengan usaha untuk menghadirkan bukti ketika media pers harus menjalankan fungsi watchdog (pengawasan). Dengan demikian, konsep yang terkandung dalam istilah ini sangat sederhana.

Kita tidak perlu berdebat tentang isitilah jurnalisme penuntutan. Soalnya, Kovach dan Rosenstiel, lewat istilah itu, hanya ingin mengaskan bahwa wartawan harus menyajikan semua bukti yang diperlukan untuk menggambarkan pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Adalah ibarat seorang jaksa yang melakukan penuntutan di sidang pengadilan. Ia harus menghadirkan semua bukti tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh terdakwa. Kalau bukti itu tidak lengkap, bukan mustahil hakim akan menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah. Kalau kejadian ini terjadi pada berita yang mengkritik pemerintah, tentu khalayak akan menilai media pers bersangkutan “ngarang”.

Agar tidak dicap “ngarang” wartawan harus berupaya mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya. Wartawan harus mengutamakan realitas empirik. Tidak mudah, memang. Tetapi, itulah yang harus dilakukan. Apalagi sejak dulu media pers selalu menjadikan realitas empirik sebagai “primadona”.  

Tatkala merencanakan liputan, wartawan tidak boleh lupa menyusun outline berita yang mencakup semua fakta yang merupakan bukti tentang pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Wartawan harus bisa mengidentifikasi narasumber sebagai pihak yang bisa memberikan konfirmasi terhadap realitas yang terjadi di lapangan. Mereka harus bisa mengidentifikasi akal-akalan narasumber yang memberikan “umpan” hanya untuk berkelit saja. Mereka juga harus waspada terhadap retorika narasumber. Lebih dari itu, mereka tidak boleh menanyakan grapefruit, pertanyaan yang seakan-akan sulit dijawab, tetapi sebenarnya menguntungkan narasumber.

Dalam konteks ini, khalayak perlu mengerti bahwa ada media pers yang menggaji wartawan secara politis, di samping tentu saja yang digaji secara profesional. Lepas dari jumlah wartawan yang digaji secara profesional dan secara politis, khalayak perlu berhati-hati dengan berita yang tergolong sebagai pengawasan (watchdog). Bisa saja berita itu hanya seakan-akan. Ia seakan-akan merupakan berita yang tergolong pengawasan. Tetapi, berita itu ditulis oleh wartawan yang digaji secara politis. Akibatnya, muatan pesannya hanya seakan-akan mengawasi. 
 
Begitulah, jurnalisme penuntutan menuntut wartawan untuk kreatif dalam mengumpulkan fakta. Jurnalisme penuntutan memberikan peran yang lebih besar kepada wartawan untuk mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa jurnalisme penuntutan merupakan jenis jurnalisme dari sisi mengumpulkan fakta.***
Birugo Puhun, 19 Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.