Bill Kovach dan Tom Rosentstiel, dalam
buku berjudul Blur: How To Know What’s
True In The Age of Information Overload, memperkenalkan sebuah istilah
unik, yakni prosecutorial journalism
(jurnalisme penuntutan). Istilah ini berkaitan dengan usaha untuk menghadirkan
bukti ketika media pers harus menjalankan fungsi watchdog (pengawasan). Dengan demikian, konsep yang terkandung
dalam istilah ini sangat sederhana.
Kita tidak perlu berdebat tentang isitilah
jurnalisme penuntutan. Soalnya, Kovach dan Rosenstiel, lewat istilah itu, hanya
ingin mengaskan bahwa wartawan harus menyajikan semua bukti yang diperlukan
untuk menggambarkan pelanggaran yang dilakukan pemerintah. Adalah ibarat seorang
jaksa yang melakukan penuntutan di sidang pengadilan. Ia harus menghadirkan
semua bukti tentang pelanggaran hukum yang dilakukan oleh terdakwa. Kalau bukti
itu tidak lengkap, bukan mustahil hakim akan menyatakan bahwa terdakwa tidak
bersalah. Kalau kejadian ini terjadi pada berita yang mengkritik pemerintah,
tentu khalayak akan menilai media pers bersangkutan “ngarang”.
Agar tidak dicap “ngarang” wartawan harus berupaya
mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya. Wartawan harus mengutamakan realitas
empirik. Tidak mudah, memang. Tetapi, itulah yang harus dilakukan. Apalagi
sejak dulu media pers selalu menjadikan realitas empirik sebagai
“primadona”.
Tatkala merencanakan liputan, wartawan tidak boleh
lupa menyusun outline berita yang
mencakup semua fakta yang merupakan bukti tentang pelanggaran yang dilakukan
pemerintah. Wartawan harus bisa mengidentifikasi narasumber sebagai pihak yang
bisa memberikan konfirmasi terhadap realitas yang terjadi di lapangan. Mereka
harus bisa mengidentifikasi akal-akalan narasumber yang memberikan “umpan”
hanya untuk berkelit saja. Mereka juga harus waspada terhadap retorika narasumber.
Lebih dari itu, mereka tidak boleh menanyakan grapefruit, pertanyaan yang seakan-akan sulit dijawab, tetapi
sebenarnya menguntungkan narasumber.
Dalam konteks ini, khalayak perlu mengerti bahwa ada
media pers yang menggaji wartawan secara politis, di samping tentu saja yang
digaji secara profesional. Lepas dari jumlah wartawan yang digaji secara profesional
dan secara politis, khalayak perlu berhati-hati dengan berita yang tergolong
sebagai pengawasan (watchdog). Bisa
saja berita itu hanya seakan-akan. Ia seakan-akan merupakan berita yang
tergolong pengawasan. Tetapi, berita itu ditulis oleh wartawan yang digaji
secara politis. Akibatnya, muatan pesannya hanya seakan-akan mengawasi.
Begitulah, jurnalisme penuntutan menuntut wartawan
untuk kreatif dalam mengumpulkan fakta. Jurnalisme penuntutan memberikan peran
yang lebih besar kepada wartawan untuk mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa jurnalisme penuntutan merupakan jenis jurnalisme
dari sisi mengumpulkan fakta.***
Birugo
Puhun, 19 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar