usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 22 Desember 2015


Riza Chalid yang membayar semua tagihan.

Istiqomatul Hayati


JAKARTA—Kejaksaan Agung meyakini ada dugaan tindakan pidana dalam pertemuan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, pengusaha minyak Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin pada 8 Juni 2015. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengatakan penyelidik sudah mengantongi sejumlah bukti yang dikonfirmasikan kepada sekretaris pribadi Setya, Dina, saat pemeriksaan, kemarin.
“Kami berusaha meyakinkan kebenaran dugaan perbuatan jahat tindak pidana korupsi,” kata Prasetyo saat dihubungi Tempo, kemarin.
Menurut dia, Dina atas permintaan Setya telah memesan ruang rapat di lantai 21 Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, untuk pertemuan pada 8 Juni tersebut. Dalam pertemuan itu, ada pembicaraan soal upaya meminta saham Freeport Indonesia dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sehingga kasus ini dikenal dengan sebuta “Papa Minta Saham”.
Berdasarkan bukti yang diminta dari Ritz-Carlton, kata Prasetyo, penyelidik juga menemukan bahwa pembayar tagihan sewa ruang pertemuan, makanan, dan minuman adalah Riza Chalid. “Ini yang dikonfirmasikan kepada Dina,” ujar dia. Prasetyo juga mengaku sempat mendengar Setya berkelit sebagai inisiator pertemuan ketika diperiksa di Mahkamah Kohormatan Dewan. “SN mengelak, tapi kami punya buktinya,” kata Prasetyo.
Meski sudah menemukan inisiator pertemuan, dia tidak mau buru-buru menaikkan kasus ini ke tingkat penyidikan. “Ada hal lain lagi, ini kan mosaik, seperti apa kaitannya, “ujar dia. Menurut dia, penyelidik masih perlu keterangan dari aktor lain yang hadir dalam pertemuan itu, di antaranya Riza Chalid, yang dikabarkan sudah ke luar negeri.
Prasetyo mengatakan, selain Riza, penyelidik akan meminta keterangan dari saksi lain. Mereka yang akan dipanggil adalah orang-orang yang namanya disebut dalam percakapan di hotel tersebut. Prasetyo mengatakan penyelidik mungkin akan meminta keterangan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Panjaitan serta Deputi 1 Kantor Staf Presiden Darmawan Prasodjo alias Darmo. “Semua pihak yang ada di pembicaraan, kami mintai keterangan,” ujar dia.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, mengatakan status kasus “Papa Minta Saham” sudah dapat dinaikkan ke tingkat penyidikan karena dua alat bukti yang sudah dikantongi. “Rekaman pembicaraan, CCTV, dan keterangan sejumlah narasumber sudah menjadi dua alat bukti,” kata dia, kemarin.
Kuasa hukum Setya Novanto, Razman Arif Nasution, mengimbau Kejaksaan Agung tidak menaikkan status ke penyidikan. Alasannya, proses sidang etik di MKD sedang berlangsung. “Tidak etis kalau Kejaksaan menaikkan ke penyidikan atau menetapkan tersangka,” kata dia saat dihubungi Tempo, kemarin.
Kemarin, melalui kuasa hukumnya, Setya melaporkan Metro TV ke Badan Reserse Kriminal Polri atas dugaan penghasutan. “Mereka telah membocorkan percakapan dalam sidang tertutup MKD terhadap Setya Novanto beberapa waktu yang lalu,” ujar Razman. Ia menilai Metro TV telah melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Razman juga mengadukan Metro TV ke Dewan Pers.
Pada Jumat pean lalu, Setya melalui kuasa hukumnya, Firman Wijaya, juga melaporkan Menteri Sudirman Said ke Bareskrim atas dugaan pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan, dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. (Linda Trianita/ Dewi Suci Rahayu).

Demikianlah berita yang disiarkan Koran Tempo, 15 Desember 2015. Berita ini menyebutkan keyakinan Jaksa Agung bahwa penguasa (Setya Novanto) dan pengusaha (Riza Chalid) berkolaborasi untuk minta saham dari PT Freeport. Berdasarkan keyakinan ini, sekarang Kejaksaan Agung punya peran besar mengungkapkan permufakatan jahat penguasa dan pengusaha itu untuk memeras PT Freeport.
Kalau kesempatan ini tidak dimanfaatkan Kejaksaan Agung, kita khawatir Setya Novanto tidak akan pernah dinilai bersalah. Soalnya, MKD DPR, pada 16 Desember 2015, tidak memutuskan apa-apa soal Setya Novanto. Ia hanya menerima surat pengunduran diri Setya Novanto. Berdasarkan surat pengunduran diri Setya Novanto itu, MKD DPR menutup sidangnya. Kita pun tak berdaya menghadapi keputusan ini.
Sebagai rakyat kita tidak mungkin memaksa Setya Novanto untuk mengaku bersalah. Namun, kita ingin aturan dan regulasi ditegakan. Kita juga ingin penegak hukum mendengar suara kita. Kalau selama ini kita mendengar hukum runcing ke atas dan tumpul ke bawah, tolong buktikan bahwa itu tidak benar.***
Birugo Puhun, 19 Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.