usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Senin, 18 Januari 2016



            Seorang wartawan akan terus menyajikan berita kepada khalayak. Dia akan tetap hadir di tengah-tengah khalayak pada masa yang akan datang. Namanya pun akan dikenal khalayak. Lebih dari itu, dia akan dinilai khalayak.
          Pada saat khalayak mengenal dan menilai seorang wartawan, sesungguhnya khalayak selalu mengingat wartawan bersangkutan. Bagi wartawan, tindakan khalayak ini merupakan usaha untuk membangun sejarah dirinya. Dari sana, kelak, akan terungkap kinerja dan prestasinya sebagai wartawan. Ungkapan ini akan menghadirkan posisi wartawan dalam horizon waktu. Tegasnya, ia akan menandakan cara berada wartawan dalam menghayati profesinya.
          Persoalannya sekarang, apakah wartawan akan menempuh cara berada yang bagus atau tidak? Kalau ya, berarti dia harus selalu menulis berita yang lengkap, yang tidak menyisakan pertanyaan dalam diri khalayak. Dia harus menulis berita yang bisa merekomendasikan khalayak untuk mengambil keputusan yang tepat dan rasional. Dia perlu menulis berita yang membukakan transformasi pengetahuan khalayak tentang sebuah topik berita. 
          Bisa saja wartawan memilih jawaban “tidak”. Bisa saja pilihan itu tidak menjadi persoalan bagi media pers tempat dia bekerja. Bisa saja pilihan itu tidak berdampak apa-apa buat kelangsungan karirnya sebagai wartawan. Namun, dia, suatu saat akan meninggal dunia. Kalau dia sudah wafat, media pers bersangkutan akan tetap hidup, mungkin untuk puluhan tahun lagi. Lalu, bagaimana dengan namanya?
          Namanya akan segera dilupakan khalayak. Bersamaan dengan tidak ada lagi berita yang ditulisnya muncul di media pers tersebut, namanya akan tenggelam. Lama-kelamaan namanya sama sekali hilang dari ingatan khalayak.
          Kalau seorang wartawan membuka transformasi pengetahuan khalayak tentang, misalnya bisnis, dirinya akan diingat khalayak. Namanya akan terpatri dalam hati khalayak sebagai orang yang berbuat baik kepada mereka. Namanya akan dikenang dalam waktu yang relatif lama. Sekalipun dia kelak meninggal dunia, jasanya akan tetap terkenang jua.
          Pada titik inilah seorang wartawan menjadikan jurnalisme sebagai sesuatu yang “istimewa”, yang bisa membantu cara berada mereka. Yang membukakan jalan kepada mereka untuk hidup lebih lama daripada usia biologis mereka. Yang menonjolkan secara gamblang kemuliaan profesi mereka.
          Kalau sudah begini, jurnalisme akan menjadi landasan dari seluruh kegiatan wartawan mengumpulkan fakta dan menulis berita. Pemaknaan hasil jurnalisme itu kelak ditempatkan dalam manfaat yang dirasakan khalayak. Secara teknis, wartawan yang mempraktikkan jurnalisme itu tidak perlu disuruh-suruh untuk melakukan sesuatu. Mereka akan melakukan yang terbaik dengan senang hati. Mereka juga akan “mengawasi” dirinya dengan ketat terhadap kepatuhan pada batas-batas pemberitaan yang universal.
          Bertolak dari penjelasan singkat ini, agaknya kita bisa mengatakan bahwa menjadikan jurnalisme sebagai cara keberadaan wartawan tidak hanya menguntungkan wartawan, tetapi juga khalayak. Wartawan akan dikenang khalayak dalam waktu yang relatif lama, sedangkan khalayak mengalami transformasi pengetahuan tentang berbagi. Tegasnya, tidak ada pihak yang dirugikan! Bukankah ini menarik?  
          Namun, tidak berarti usaha wartawan untuk menjadikan jurnalisme sebagai cara berada wartawan akan berjalan lancar. Soalnya, hasil jurnalisme itu akan disiarkan oleh sebuah media pers. Belum tentu semua media pers akan selalu menyiarkan berita yang dihasilkan oleh wartawannya dengan senang hati. 
          Sampai di sini muncul pertanyaan, mengapa begitu?  Sebab, pemilik beberapa media pers adalah pemiliki bisnis yang lain juga. Sebutlah misalnya Koran Sindo. Pemiliknya adalah Hary Tanoesoedibjo yang memiliki bisnis lain, di samping menjadi Direktur PT MNC Investama. Koran Sindo tidak akan menyiarkan berita bisnis yang mengkritisi perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo. Adalagi koran Media Indonesia, yang dimiliki oleh Surya Paloh. Surya Paloh juga menjadi pemilik beberapa perusahaan dan Metro TV. Media Indonesia tidak akan menyiarkan berita bisnis yang juga mengkritisi perusahaan milik Surya Paloh.
          Lebih dari itu, dalam posisinya sebagai ketua partai, Hary Tanoesoedibjo dan Suryo Paloh bukan mustahil menjadikan media pers miliknya sebagai “pelindung” perusahaan mereka. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin seorang wartawan bisa menjadikan jurnalisme bisnis di Koran Sindo dan Media Indonesia sebagai cara berada dirinya?  Mereka bisa dipecat kalau mengkritisi perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo dan Surya Paloh!
          Kenyataan seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, yang memperoleh julukan kampiun demokrasi, kata Mohammad Amien Rais, dalam buku Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia, terdapat empat filter untuk menyaring berita yang disiarkan media massa, yakni: (i) ukuran kepemilikan dan orientasi profit media massa, (ii) kekuatan korporasi yang menentukan memasang iklan atau tidak, (iii) sumber berita yang tetap mempertahankan keamanan penguasa politik dan ekonomi, dan (iv) kritik dan ancaman kekuasaan politik dan ekonomi yang bisa menghabisi nyali media pers (hal. 117-121). Penjelasan ini menunjukkan besarnya kekuatan ekonomi politik yang mempengaruhi kehidupan media massa di AS. Kekuatan itu mampu meluluh lantakkan nilai-nilai jurnalisme yang dianut oleh media pers di sana.
          Agaknya kenyataan ini menjalar ke Indonesia. Soalnya, pemasang iklan besar pada media pers Indonesia adalah perusahaan yang menjadi perpanjangan korporasi yang memasang iklan di media massa AS. Di samping itu, kritik dan ancaman kekuasaan politik dan ekonomi terhadap media pers tetap berlaku sampai sekarang, sekalipun Indonesia secara resmi sudah memiliki kemerdekaan pers sejak tahun 23 September 1999, saat diundangkannya UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers.
          Menyadari kenyataan ini, setiap wartawan perlu berhati-hati menulis berita tentang perusahaan yang dimiliki pemilik media pers tempatnya bekerja. Lalu, apa pegangannya dalam berhati-hati itu? Pertama, dia harus tetap menjadi wartawan di media pers bersangkutan. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia bisa menjadikan jurnalisme sebagai cara beradanya. Dalam konteks ini, agaknya dia perlu “berguru” kepada harian Kompas, yakni saat Kompas minta maaf kepada pemerintah asal ia bisa terbit lagi. Kenyataan ini ditulis oleh Mamak Sutamat dalam buku berjudul Kompas Menjadi Perkasa Karena Kata: Sebuah Sharing 35 Tahun Bersama Kompas seperti berikut:
Kompas yang berpihak kepada mahasiswa boleh terbit dengan minta maaf kepada pemerintah dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Pak Jakob menandatanganinya dengan berat hati semata demi kelangsungan Kompas.

Keputusan Kompas tersebut diambil melalui diskusi panjang antara Pak Jakob dan Pak Ojong. Almarhum Pak Ojong sulit menerima syarat tersebut namun Pak Jakob mengingatkan, daripada Kompas digantikan media lain yang belum tentu bisa memperbaiki pers Indonesia, sebaiknya syarat tersebut dipenuhi. Akhirnya keputusan diambil dan sejak itu Pak Ojong tidak lagi aktif di redaksi (hal. 118).

          Kutipan ini memperlihatkan PK Ojong dan Jakob Oetama berbeda sikap dalam merespons permintaan pemerintah agar Kompas meminta maaf kepada pemerintah agar Kompas bisa terbit lagi. PK Ojong menolak minta maaf. Tetapi, Jakob Oetama tidak keberatan. Akhirnya, Kompas bisa terbit lagi. Untuk itu, Kompas harus membayarnya dengan “harga” yang sangat mahal. Seorang pendiri Kompas, PK Ojong, tidak bersedia lagi terlibat dalam newsroom Kompas.
          Lepas dari siapa yang paling benar, sampai sekarang Kompas masih hidup. Ia bisa bertahan dalam masa pemerintahan orde baru yang sangat otoriter. Dengan demikian, Kompas tetap bisa menyiarkan berita kepada pembaca setianya. Ia bisa pula menyampaikan berbagai wacana yang diharapkan bisa ditangkap khalayak.
          Kedua, tidak mengkhianati dimensi etis sebagai wartawan. Soalnya, dimensi etis ini, kata Kasdin Sihotang dalam buku Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme, menandakan pekerjaan itu berkaitan dengan nilai moral (hal. 154). Nilai moral ini sangat perlu diamalkan dalam mewujudkan jurnalisme sebagai cara berada wartawan bisnis. Tanpa pengamalan nilai moral tersebut, seorang wartawan tidak akan bisa menjadikan jurnalisme sebagai cara beradanya.***
Rejodani, 15 Januari 2016

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.