Seorang wartawan akan terus menyajikan
berita kepada khalayak. Dia akan tetap hadir di tengah-tengah khalayak pada
masa yang akan datang. Namanya pun akan dikenal khalayak. Lebih dari itu, dia
akan dinilai khalayak.
Pada
saat khalayak mengenal dan menilai seorang wartawan, sesungguhnya khalayak
selalu mengingat wartawan bersangkutan. Bagi wartawan, tindakan khalayak ini
merupakan usaha untuk membangun sejarah dirinya. Dari sana, kelak, akan
terungkap kinerja dan prestasinya sebagai wartawan. Ungkapan ini akan
menghadirkan posisi wartawan dalam horizon waktu. Tegasnya, ia akan menandakan
cara berada wartawan dalam menghayati profesinya.
Persoalannya
sekarang, apakah wartawan akan menempuh cara berada yang bagus atau tidak?
Kalau ya, berarti dia harus selalu menulis berita yang lengkap, yang tidak
menyisakan pertanyaan dalam diri khalayak. Dia harus menulis berita yang bisa
merekomendasikan khalayak untuk mengambil keputusan yang tepat dan rasional.
Dia perlu menulis berita yang membukakan transformasi pengetahuan khalayak tentang
sebuah topik berita.
Bisa
saja wartawan memilih jawaban “tidak”. Bisa saja pilihan itu tidak menjadi
persoalan bagi media pers tempat dia bekerja. Bisa saja pilihan itu tidak
berdampak apa-apa buat kelangsungan karirnya sebagai wartawan. Namun, dia,
suatu saat akan meninggal dunia. Kalau dia sudah wafat, media pers bersangkutan
akan tetap hidup, mungkin untuk puluhan tahun lagi. Lalu, bagaimana dengan
namanya?
Namanya
akan segera dilupakan khalayak. Bersamaan dengan tidak ada lagi berita yang
ditulisnya muncul di media pers tersebut, namanya akan tenggelam. Lama-kelamaan
namanya sama sekali hilang dari ingatan khalayak.
Kalau
seorang wartawan membuka transformasi pengetahuan khalayak tentang, misalnya
bisnis, dirinya akan diingat khalayak. Namanya akan terpatri dalam hati
khalayak sebagai orang yang berbuat baik kepada mereka. Namanya akan dikenang
dalam waktu yang relatif lama. Sekalipun dia kelak meninggal dunia, jasanya
akan tetap terkenang jua.
Pada
titik inilah seorang wartawan menjadikan jurnalisme sebagai sesuatu yang
“istimewa”, yang bisa membantu cara berada mereka. Yang membukakan jalan kepada
mereka untuk hidup lebih lama daripada usia biologis mereka. Yang menonjolkan
secara gamblang kemuliaan profesi mereka.
Kalau
sudah begini, jurnalisme akan menjadi landasan dari seluruh kegiatan wartawan mengumpulkan
fakta dan menulis berita. Pemaknaan hasil jurnalisme itu kelak ditempatkan
dalam manfaat yang dirasakan khalayak. Secara teknis, wartawan yang
mempraktikkan jurnalisme itu tidak perlu disuruh-suruh untuk melakukan sesuatu.
Mereka akan melakukan yang terbaik dengan senang hati. Mereka juga akan
“mengawasi” dirinya dengan ketat terhadap kepatuhan pada batas-batas
pemberitaan yang universal.
Bertolak
dari penjelasan singkat ini, agaknya kita bisa mengatakan bahwa menjadikan
jurnalisme sebagai cara keberadaan wartawan tidak hanya menguntungkan wartawan,
tetapi juga khalayak. Wartawan akan dikenang khalayak dalam waktu yang relatif
lama, sedangkan khalayak mengalami transformasi pengetahuan tentang berbagi.
Tegasnya, tidak ada pihak yang dirugikan! Bukankah ini menarik?
Namun,
tidak berarti usaha wartawan untuk menjadikan jurnalisme sebagai cara berada
wartawan akan berjalan lancar. Soalnya, hasil jurnalisme itu akan disiarkan
oleh sebuah media pers. Belum tentu semua media pers akan selalu menyiarkan
berita yang dihasilkan oleh wartawannya dengan senang hati.
Sampai
di sini muncul pertanyaan, mengapa begitu?
Sebab, pemilik beberapa media pers adalah pemiliki bisnis yang lain
juga. Sebutlah misalnya Koran Sindo.
Pemiliknya adalah Hary Tanoesoedibjo yang memiliki bisnis lain, di samping
menjadi Direktur PT MNC Investama. Koran
Sindo tidak akan menyiarkan berita bisnis yang mengkritisi perusahaan milik
Hary Tanoesoedibjo. Adalagi koran Media
Indonesia, yang dimiliki oleh Surya Paloh. Surya Paloh juga menjadi pemilik
beberapa perusahaan dan Metro TV.
Media Indonesia tidak akan menyiarkan berita bisnis yang juga mengkritisi
perusahaan milik Surya Paloh.
Lebih
dari itu, dalam posisinya sebagai ketua partai, Hary Tanoesoedibjo dan Suryo
Paloh bukan mustahil menjadikan media pers miliknya sebagai “pelindung”
perusahaan mereka. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin seorang wartawan bisa
menjadikan jurnalisme bisnis di Koran
Sindo dan Media Indonesia sebagai
cara berada dirinya? Mereka bisa dipecat
kalau mengkritisi perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo dan Surya Paloh!
Kenyataan
seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Amerika Serikat, yang
memperoleh julukan kampiun demokrasi, kata Mohammad Amien Rais, dalam buku Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia,
terdapat empat filter untuk menyaring berita yang disiarkan media massa, yakni:
(i) ukuran kepemilikan dan orientasi profit media massa, (ii) kekuatan korporasi
yang menentukan memasang iklan atau tidak, (iii) sumber berita yang tetap
mempertahankan keamanan penguasa politik dan ekonomi, dan (iv) kritik dan
ancaman kekuasaan politik dan ekonomi yang bisa menghabisi nyali media pers
(hal. 117-121). Penjelasan ini menunjukkan besarnya kekuatan ekonomi politik
yang mempengaruhi kehidupan media massa di AS. Kekuatan itu mampu meluluh
lantakkan nilai-nilai jurnalisme yang dianut oleh media pers di sana.
Agaknya
kenyataan ini menjalar ke Indonesia. Soalnya, pemasang iklan besar pada media
pers Indonesia adalah perusahaan yang menjadi perpanjangan korporasi yang
memasang iklan di media massa AS. Di samping itu, kritik dan ancaman kekuasaan
politik dan ekonomi terhadap media pers tetap berlaku sampai sekarang, sekalipun
Indonesia secara resmi sudah memiliki kemerdekaan pers sejak tahun 23 September
1999, saat diundangkannya UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers.
Menyadari
kenyataan ini, setiap wartawan perlu berhati-hati menulis berita tentang
perusahaan yang dimiliki pemilik media pers tempatnya bekerja. Lalu, apa
pegangannya dalam berhati-hati itu? Pertama,
dia harus tetap menjadi wartawan di media pers bersangkutan. Kalau tidak,
bagaimana mungkin dia bisa menjadikan jurnalisme sebagai cara beradanya. Dalam
konteks ini, agaknya dia perlu “berguru” kepada harian Kompas, yakni saat Kompas
minta maaf kepada pemerintah asal ia bisa terbit lagi. Kenyataan ini ditulis
oleh Mamak Sutamat dalam buku berjudul Kompas
Menjadi Perkasa Karena Kata: Sebuah Sharing 35 Tahun Bersama Kompas seperti
berikut:
Kompas yang berpihak kepada mahasiswa boleh terbit dengan minta maaf kepada pemerintah dan berjanji untuk tidak mengulanginya. Pak Jakob menandatanganinya dengan berat hati semata demi kelangsungan Kompas.Keputusan Kompas tersebut diambil melalui diskusi panjang antara Pak Jakob dan Pak Ojong. Almarhum Pak Ojong sulit menerima syarat tersebut namun Pak Jakob mengingatkan, daripada Kompas digantikan media lain yang belum tentu bisa memperbaiki pers Indonesia, sebaiknya syarat tersebut dipenuhi. Akhirnya keputusan diambil dan sejak itu Pak Ojong tidak lagi aktif di redaksi (hal. 118).
Kutipan
ini memperlihatkan PK Ojong dan Jakob Oetama berbeda sikap dalam merespons
permintaan pemerintah agar Kompas
meminta maaf kepada pemerintah agar Kompas
bisa terbit lagi. PK Ojong menolak minta maaf. Tetapi, Jakob Oetama tidak
keberatan. Akhirnya, Kompas bisa
terbit lagi. Untuk itu, Kompas harus membayarnya dengan “harga” yang sangat
mahal. Seorang pendiri Kompas, PK Ojong,
tidak bersedia lagi terlibat dalam newsroom
Kompas.
Lepas
dari siapa yang paling benar, sampai sekarang Kompas masih hidup. Ia bisa bertahan dalam masa pemerintahan orde
baru yang sangat otoriter. Dengan demikian, Kompas
tetap bisa menyiarkan berita kepada pembaca setianya. Ia bisa pula menyampaikan
berbagai wacana yang diharapkan bisa ditangkap khalayak.
Kedua, tidak mengkhianati dimensi etis
sebagai wartawan. Soalnya, dimensi etis ini, kata Kasdin Sihotang dalam buku Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan
Humanisme, menandakan pekerjaan itu berkaitan dengan nilai moral (hal.
154). Nilai moral ini sangat perlu diamalkan dalam mewujudkan jurnalisme
sebagai cara berada wartawan bisnis. Tanpa pengamalan nilai moral tersebut,
seorang wartawan tidak akan bisa menjadikan jurnalisme sebagai cara
beradanya.***
Rejodani,
15 Januari 2016
0 komentar:
Posting Komentar