Istilah jurnalisme permusuhan itu, awalnya berasal dari skandal
Watergate. Dari investigasi terhadap skandal tersebut, muncul kesan bahwa
kelompok pendukung Presiden Richard Nixon sudah berbuat curang. Mereka membobol
masuk ke kompleks perkantoran komite nasional partai demokrat untuk memasang
alat penyadap. Richard Nixon pun dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung
jawab.
Singkat cerita Presiden Richard Nixon memang mundur sebagai Presiden AS.
Namun, tidak berarti bahwa semua investigasi yang dilakukan untuk media pers demi
mengungkapkan kebobrokan pendukung
Presiden Richard Nixon boleh menghalalkan dianggap. Ada serangkaian aturan dan
etika yang harus dipatuhi media pers.
Salah satu etika yang harus
dipenuhi adalah, menahan diri untuk tidak menyiarkan lebih dulu berita hangat
yang belum dikonfirmasikan. Sikap ini, sering kali, terabaikan demi menyiarkan
berita yang hangat. Dengan alasan berita itu harus segera disiarkan, wartawan
melanggarnya. Apalagi kalau berita itu dianggap sebagai berita yang memusuhi
perbuatan jahat. Tanpa terasa, wartawan yang menulis berita sudah terjerumus
kepada praktik jurnalisme permusuhan.
Kalau media pers terlalu bernafsu mempraktikkan jurnalisme permusuhan, khalayak
akan menilai bahwa media bersangkutan cenderung menandaskan hal-hal yang
negatif. Padahal belum tentu khalayak media tersebut menginginkan
ditandaskannya berita negatif. Bukan mustahil mereka malah lebih suka berita
positif sekalipun bahan dasar beritanya adalah kejadian buruk.
Dalam praktiknya, jurnalisme permusuhan, kata Mark Hanna, dalam buku Key Concepts in Journalism Studies
sering juga dialamatkan kepada teknik wawancara yang agresif dan dramatis untuk
menyudutkan nara sumber (hal. 7). Tidak jarang pula jurnalisme permusuhan
dipertentangkan dengan jurnalisme publik.
Lepas dari perdebatan baik-buruknya jurnalisme permusuhan, jurnalisme itu
sah. Tantangannya sekarang, di era perubahan yang sangat cepat, masih banyak
yang berminat mempraktikkan juralisme permusuhan. Tentu saja tidak mudah
menghadapi tantangan ini. Soalnya, banyak cara yang bisa dipakai orang untuk
mengelola kejahatan dan keburukan sehingga terkesan bahwa kejahatan dan
keburuhan itu bisa ditolerir.***
Rejodani,
3 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar