usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 08 Desember 2015

Judulnya seram. Namun, hakekatnya tidak seseram yang dibayangkan. Soalnya, yang dimusuhi itu adalah pihak si angkara murka. Yang dimusuhi itu adalah mereka yang menjadi trouble maker. Lalu, untuk mengingatkan bahwa wartawan tidak boleh menyerah pada mereka yang menjadi biang kerok itu, diciptakanlah istilah itu.
Istilah jurnalisme permusuhan itu, awalnya berasal dari skandal Watergate. Dari investigasi terhadap skandal tersebut, muncul kesan bahwa kelompok pendukung Presiden Richard Nixon sudah berbuat curang. Mereka membobol masuk ke kompleks perkantoran komite nasional partai demokrat untuk memasang alat penyadap. Richard Nixon pun dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Singkat cerita Presiden Richard Nixon memang mundur sebagai Presiden AS. Namun, tidak berarti bahwa semua investigasi yang dilakukan untuk media pers demi  mengungkapkan kebobrokan pendukung Presiden Richard Nixon boleh menghalalkan dianggap. Ada serangkaian aturan dan etika yang harus dipatuhi media pers.
 Salah satu etika yang harus dipenuhi adalah, menahan diri untuk tidak menyiarkan lebih dulu berita hangat yang belum dikonfirmasikan. Sikap ini, sering kali, terabaikan demi menyiarkan berita yang hangat. Dengan alasan berita itu harus segera disiarkan, wartawan melanggarnya. Apalagi kalau berita itu dianggap sebagai berita yang memusuhi perbuatan jahat. Tanpa terasa, wartawan yang menulis berita sudah terjerumus kepada praktik jurnalisme permusuhan.
Kalau media pers terlalu bernafsu mempraktikkan jurnalisme permusuhan, khalayak akan menilai bahwa media bersangkutan cenderung menandaskan hal-hal yang negatif. Padahal belum tentu khalayak media tersebut menginginkan ditandaskannya berita negatif. Bukan mustahil mereka malah lebih suka berita positif sekalipun bahan dasar beritanya adalah kejadian buruk.
Dalam praktiknya, jurnalisme permusuhan, kata Mark Hanna, dalam buku Key Concepts in Journalism Studies sering juga dialamatkan kepada teknik wawancara yang agresif dan dramatis untuk menyudutkan nara sumber (hal. 7). Tidak jarang pula jurnalisme permusuhan dipertentangkan dengan jurnalisme publik. 
Lepas dari perdebatan baik-buruknya jurnalisme permusuhan, jurnalisme itu sah. Tantangannya sekarang, di era perubahan yang sangat cepat, masih banyak yang berminat mempraktikkan juralisme permusuhan. Tentu saja tidak mudah menghadapi tantangan ini. Soalnya, banyak cara yang bisa dipakai orang untuk mengelola kejahatan dan keburukan  sehingga terkesan bahwa kejahatan dan keburuhan itu bisa ditolerir.***
Rejodani, 3 Desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.