usaha mendekatkan jurnalisme kepada masyarakat

Selasa, 17 November 2015

 
       Dalam bahasa aslinya disebut drone journalism, yakni penggunaan pesawat nir awak untuk kepentingan jurnalisme. Pesawat ini akan merekam semua peristiwa yang terjadi dan menangkap fakta tentang siapa saja yang terlibat dalam peristiwa itu. Di samping itu, ia akan punya kesempatan yang besar untuk memata-matai tokoh yang terlibat dalam peristiwa bersangkutan. Ia, bahkan, bisa mengungkapkan rahasia tentang keberadaan seorang tokoh. Tegasnya, pesawat itu punya kemampuan yang luar biasa dalam mengumpulkan fakta.

          Bertolak dari penjelasan singkat ini, kita tentu mengerti jurnalisme gemuruh merupakan jenis jurnalisme menurut teknik mengumpulkan fakta. Keberadaannya sah. Namun, apakah ia pantas dipraktikkan di Indonesia? Di luar negeri, orang masih memperdebatkan jurnalisme ini. Satu hal yang mengganjal adalah soal etika. Soalnya, jurnalisme ini dianggap akan melanggar privacy orang lain. Dengan kemampuan yang dimilikinya drone bisa mengintip kehidupan pribadi orang lain. Padahal belum tentu kehidupan pribadi orang lain itu bermanfaat untuk kepentingan orang banyak.

          Jurnalisme gemuruh—temuan Matt Waite, profesor jurnalisme di Univeritas Nebraska-Lincoln pada November 2011—memang merupakan sebuah terobosan untuk memecah kebuntuan dalam mengumpulkan fakta. Namun, praktiknya perlu diikuti oleh kepekaan terhadap narasumber atau orang yang terlibat dalam sebuah peristiwa. Wartawan perlu membayangkan apa yang akan terjadi pada narasumber atau orang itu. Tegasnya, wartawan perlu mempertimbangkan ekses dari informasi yang dihasilkan jurnalisme gemuruh.

          Dalam konteks ini, agaknya perlu digarisbawahi pendapat William L. Rivers dan Cleve Mathews dalam buku Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya berikut:


Yang lebih perlu mendapat perhatian etis adalah bawa hak orang-orang yang menjadi topik pemberitaan karena liputan yang berprasangka. Pertanyaan mengenai seberapa jauh ekses sebuah liputan bisa diterima, dapat diperdebatkan, tetapi kebutuhan akan kepekaan tidak bisa ditawar (hal. 59-60).


          Kutipan ini menegaskan bahwa ekses dari sebuah berita terhadap tokoh yang diberitakan tidak bisa dihindari. Namun, tentu ada tingkatan ekses yang bisa diterima. Nah, wartawan perlu membuat penilaian moral yang pas tentang tingkatan ekses yang bisa diterima ketika mempraktikkan jurnalisme gemuruh.***
Rejodani, 17 November 2015


0 komentar:

Posting Komentar

Ana Nadhya Abrar


Namaku Abrar. Konon, aku lahir di Bukittinggi pada 20 Februari 1959. Maka,
pada saat tulisan ini kubuat, aku sudah berumur 55 tahun lebih. Dalam
usia sekian, aku tidak bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Apakah aku
sudah menjadi intelektual di bidang jurnalisme? Namun, aku teringat
indikator intelektualitas yang pernah disampaikan Ashadi Siregar
dalam majalah Balairung, No.3-4, 1987, hal. 10, yakni
memiliki: (i) kesadaran eksistensial tentang diri, (ii) kesadaran
eksistensial tentang profesi, dan (iii) orientasi kemasyarakatan.



Museum Orang Pinggiran

Museum ini menyimpan barang-barang yang pernah dipakai orang pinggiran, karya orang
pinggiran, koleksi orang pinggiran, kisah tentang orang pinggiran, dan ide-ide
orang pinggiran. Melalui museum ini saya ingin mengapresiasi orang-orang
pinggiran dan orang-orang yang terpinggirkan
Diberdayakan oleh Blogger.